5. GALAUNYA YUSUF

748 85 12
                                    

[Sialan kamu Yusuf! Pulsaku tertarik banyak, cuma untuk memastikan orang di undangan ini bukan kamu!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[Sialan kamu Yusuf! Pulsaku tertarik banyak, cuma untuk memastikan orang di undangan ini bukan kamu!

Aku mengklik gambar multimedia yang dikirim melalui SMS oleh Ramlah.

Habislah aku!

Fotoku bersama Mey terpampang besar memenuhi bagian depan undangan lengkap dengan nama panjangku.

[Itu kamu, kan? Kurang ajar kamu! Tega kamu! Awas kamu Yusuf! Babak belur kamu kuhantam ketemu nanti. Jangan panggil aku Ramlah kalau ndak kubikin mimisan hidungmu!!

Lagi Ramlah mengirim pesan. Kali ini dia mengatai dan mengancam.

[Ramlah tolong jangan beritahukan Aling. Tolong biarkan aku yang menjelaskan semuanya. Tolong aku Ramlah...

Gemetar jari-jariku menekan tombol HP. 

[Kukira sahabatku kejatuhan Lailatul Qadar bisa nikah sama kamu. Sekalinya Parakang yang dia dapat!!!

Astagfirullah Aladzim. Teganya Ramlah menyamakan aku dengan hantu pemakan manusia asal Negeri Angin Mamiri yang bisa berubah-ubah menjadi hewan, tumbuhan, atau benda apa saja.

Tapi aku tidak akan membahas perkara Parakang. Biarkan saja Ramlah menumpahkan kekecewaannya.

Menyakiti Aling sama dengan memukul kepala Ramlah, aku sangat tahu hal tersebut. Kupikir itu wajar, mereka kan memang sahabat kental.

[Ramlah! Demi Tuhan, aku punya alasan. Tolong, bantu aku.

Kembali aku membalas pesan dari Ramlah.

[Tai!!!

Ramlah hanya membalas satu kata. Itu pun kata yang kasar.

Feedback dari sahabat karib istriku membuat jantung berlari kencang, aku bahkan bisa mendengar ritme tak beraturan yang berdentam-dentam dari sana.

Aku tidak membalas pesan wanita berjilbab itu lagi karena sekarang tanganku keringatan sehingga ponselku menjadi licin dan aku kesulitan menekan tuts.

Ramlah tahu, artinya sebentar lagi Aling akan tahu.

Bagaimana ini?

Hatiku tak karuan. Seketika asam lambungku kembali naik, padahal sehabis makan sore tadi perih itu sempat meredam. Rasa penuh di bagian tengah badanku membuat aku lagi-lagi mual, kupikir perlu sekali mengeluarkan isi perut untuk mengenakkan perasaan.

Aku meninggalkan kamar yang kuerami beberapa jam sejak kedatanganku di kediaman Indo. Menyeret langkah menuju pelataran rumah. Di sana aku bisa memuntahkan apapun semauku tanpa mengotori lantai dan tidak merepotkan Indo.

"Ada apa, Nak." Mamak yang berada di kamarnya keluar. Tampaknya beliau mendengar  suara muntahku yang hanya berisi cairan bening. Ia memijit leher belakangku pelan. "Masuk angin?"

Sentuhan tangan istri ayahku menyentuh relung jiwa yang memang dilanda cemas parah. Aku terharu, cairan dari mataku yang kusembunyikan selama ini jatuh tak tertakar.

"Tidak tahu, Indo ...."

Aku membungkuk di palang pembatas rumah. Kepalaku mengarah ke tanah, jaga-jaga kalau ada makanan yang aku muntahkan.

Indo masih setia memijit leherku. Wanita yang melahirkanku itu mengusapkan cairan berbau akar-akaran sambil memberi tekanan pelan.

"Kamu tertekan memikirkan besok, Nak?"

Kepalaku menoleh ke Indo. Air mataku semakin deras meski tak diiringin suara isak. Manik senja Indo ikut berkabut.. bibirnya bergetar menahan sedu melihat keadaan buah hati yang memperihatinkan.

"Maaf, Indo ...." Hanya itu yang mampu kuucapkan.

Indo mengangguk dalam diam. Tangan beliau bergerak turun mengelus punggungku. "Tidak apa-apa, Nak. Kita hadapi sama-sama, yah. Meski kamu belum menjadi suami yang baik, selaku anak, kamu sudah cukup baik, Nak. Indo bersamamu, apapun yang terjadi." Indokku menguatkan.

"Terimakasih Indo ...."

Aku bersimpuh di hadapan wanita pembuka jalanku melihat dunia. Kedua lutut beliau aku peluk, menangis menumpahkan segala campur rasa yang mendera hati.

"Kalau Aling tidak memaafkanku, bagaimana, Ndok?"

"Sabarlah, Nak. Allah akan beri jalan terbaik. Terima saja sebagai suratan takdir. Kita makhluk Allah sudah ditentukan jalan hidupnya. Tugas kita adalah menjalaninya. Yang telah berlalu tak dapat kita ulang, yang belum terjadi tidak bisa kita terka-terka. Kita hanya bisa memperbaiki yang terlanjur rusak dan tak mengulangnya. Sementara yang belum terjadi, kewajiban kita adalah berjalan sesuai dengan norma agama, maka Insyallah tak sesat langkah kita. Kalling wanita baik, dia akan memahami posisimu."

Akankah wanita itu memaafkanku?

Lama aku terdiam dalam elusan tangan tua Indo. Pikiranku berkelana mencari solusi terbaik untuk masalahku.

Tidak bisa begini!

Menangis dan stress tak menyelesaikan masalahku.

Aku harus segera menemui sahabat istriku.

Kulepas dekapan tangan pada kaki Indo. Lalu menatap manik pudar di depan.

"Ndok, Yusuf, keluar sebentar," izinku.

"Kemana lagi, Nak?"

"Memperjuangkan rumah tanggaku, Ndok."

Indo menghela napas berat, "Pergilah, dan kembali dengan kabar baik."

Aku tak menjawab lagi, melainkan langsung mencium tangan beliau dan segera berpamitan.

Sebelum menaiki sepeda motor Satria F milikku, aku bergegas menelepon Ramlah.

Tak dia angkat, justru dimatikan.

Baiklah, mari kita berjuang!

Bismillah!

***

YUSUFWhere stories live. Discover now