8. KADO PERNIKAHAN DARI ALING

1.2K 157 82
                                    

Kau teriakan pada langit
Kau sombongkan pada bumi
Katanya cinta milikmu lebih indah dari andalusit
Dusta...

Kenyataanya kerusakan sebab rasa palsumu itu lebih hebat dari tsunami

______________________________________

Jika waktu bisa diputar aku tidak mau mengenal Mey. Andai waktu dapat diulang, aku tak ingin menikahi Aling.

Hidup ini mungkin jauh lebih mudah jika tak mengenal dua wanita itu. Aku tak perlu menjadi anak dzolim, tak harus juga menjadi suami kejam, dan tak akan menempel seumur hidupku cap laki-laki bajingan.

Aku pernah ... tidak, aku bahkan berkali-kali menonton bioskop, menyaksikan film paling mengerikan, akan tetapi tidak satu pun dari gambar hidup itu mampu membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian menit seperti saat ini.

Tubuhku gemetar, jiwaku entah pergi ke mana, pemandangan di depan bahkan tak pernah aku temui dalam adegan film manapun.

Darah, jeritan, air mata, raut panik, dan hawa duka yang mulai menguar tumpang tindih bercampur jadi satu membungkus pelaminan megah yang tak lagi menampilkan keindahan. Doa penuh kebaikan yang tercurah untukku dan Mey beberapa waktu lalu tak mampu mengusir mendung yang diciptakan wanita pertamaku.

Abang tahu kan aku tak bisa lagi hidup tanpa Abang sejak mengenal Abang.

Bang, seandainya Tuhan memberi manusia dua kali kesempatan hidup. Aku akan tetap meminta dipersatukan sama Abang di kehidupan berikutnya.

Bang ... andai Abang ingin hidup bersamaku hanya karena wajahku, aku tidak apa-apa. Aku tidak perlu cinta Abang, aku hanya perlu Abang di sisiku dan mencintai Abang sepanjang napasku.

Bagaimana ini? Orang yang mengaku ingin bersamaku lagi di kehidupan selanjutnya terkapar tak berdaya. Bukan hanya dia, bahkan ayah mertuaku yang beberapa waktu lalu menjadi salah satu saksi nikahku juga terjatuh tak sadarkan diri.

Bagaimana cara aku menghadapi dunia? Bukan ini harapan dari kenekatanku memperistri Mey. Demi apapun bukan akhir macam ini yang kuharapkan.

Aling ....

Hanya beginikah rasa sukanya?
Cuma sebatas ini kah cinta yang selama ini ia dengungkan di telingaku?

Kenapa?

Kenapa dia keras kepala?

Kenapa kesabarannya hanya seujung kuku?

Kenapa ...?

Dia menatapku penuh dendam, bahkan dalam keadaan menunggu ajal, mata hitam pekat yang menahan kesakitan itu menghakimiku, menumpahkan semua kesalahan padaku, seolah aku yang membuat hari ini menjadi sabtu paling berdarah. Aling lupa kebenaranya, justru dialah pemberi kado teramat keramat ini.

"Mau sampai kapan kamu mematung!?" Seseorang meneriakiku, aku tak mengenalnya. Orang itu juga mengguncang-guncang tubuhku. "Lakukan sesuatu, jangan hanya berdiri. Dia istrimu, tolong dia, kesadarannya hampir hilang, dia kehilangan banyak darah!" Aku menatap sang empunya suara dengan bingung. "YUSUFFF! Sadar!" Kembali dia berteriak sembari memukul-mukul pipiku keras.

Aku tersentak, jiwaku seperti dikembalikan Malaikat Izrail setelah meminjamnya sesaat. Kakiku selemah jeli, tersoek-soek membelah kerumunan yang mengelilingi Aling. Aku berpengangan dari bahu ke bahu para tamu agar tak tersungkur hingga sampai di tempat Aling terkapar menggenaskan. Aku berlutut dengan gemetaran.

"Pelan-pelan, Nak, buat dia tetap sadar." Tamu perempuan yang sedari tadi memangku kepala istriku berusaha menyerahkan Aling dalam pelukanku.

Aku bersiap menyambut, namun betapa remuk hati ini, wanita hamil itu menggeleng pelan, air matanya jatuh di dua sisi pipi, dia menolak untuk aku sentuh.

Bahkan yang membuat jantungku ngilu, dengan gerakan lemah Aling mencoba melepaskan tanganku di pipinya. Aku tak tahan lagi, pria pengecut ini menangis, terisak seperti anak kecil, Aling menolakku dan itu meremukkan dada, air mataku rasanya sangat banyak hari ini. Padahal Aling si malang yang sedang berdarah dan meregang nyawa, tapi entah kenapa seperti aku yang sebentar lagi akan mati karena penolakannya.

"Astagfirullah, Ya Allah, ampuni aku ... ampuni aku ya Allah." Air mataku tumpah, aku tergugu. "Ya Allah, hamba salah, hamba salah ... mengapa harus begini, ya Allah ...." Aku menangkup sebelah tangan istriku, membawa wajahku menangis di sana, "takdir apa ini ya Allah? Aling ... apa, a-apa yang kamu lakukan?" Aku tak malu untuk tersedan-sedan. "Kamu bilang kita akan menghabiskan waktu bersama, sampai rambut kita memutih ... kenapa sekarang kamu berubah? Kenapa ingin meninggalkan aku? Kamu pembohong, Ling ... kamu mengingkari janjimu. A-aku ti-tidak ridho, Ling, tidak akan pernah! Kamu harus hidup, ha-harus hidup ... kamu harus memperbaiki semua kerusakan ini bersamaku ...." Ya Tuhan kenapa sesak sekali. Aku memberanikan diri membuka mata dan melihat wajah istriku semakin memucat, "tolong bertahan Sayang, to-tolong aku ...," mohonku meski dia tidak sudi memandang suami dzolimnya.

Seorang wanita tiba-riba menubruk sisi tubuhku. Aku menoleh, pria ini sangat malu, rasanya ingin menenggelamkan diri ke perut bumi. Ibu mertuaku sekaligus mamaknya Aling berlinang air mata di samping. Air mata kedua dari wanita itu yang aku lihat hari ini.

Tadi beliau turut hadir dalam ijab qobulku. Setelah kata sah terucap, aku tak langsung melihat pengantinku, melainkan membawa mata memandang kedua orang tua Aling.

Aku ingin mengetahui sebesar apa dosa yang aku lakukan. Dan terjawab dari mata berkaca mertua laki-lakiku dan bulir bening yang mengalir dari mata tua mertua perempuanku. Demi Tuhan, ngilu seluruh badan melihat pemandangan itu.

Sesudah resmi menjadi suami Mey, aku tak tahu kemana Mak Pessa pergi menyembunyikan kesedihannya. Hanya suami beliau yang tetap bertahan seperti janjinya pada pak kades.

"Kalling ... Nak bertahanlah. Pak, sadar, Pak. Ya Tuhan tolong suami dan anakku," ratapnya. Mertuaku mengusap-usap wajah anaknya. Aku sempat menangkap keterkejutan pada Aling. Pada akhirnya, istri malangku itu menoleh padaku, dia memicing penuh kebencian.

"Sa-sa-yang ... ma-ma-af," mohonku terbata saat Aling berusaha melepas tangannya dalam genggamanku. Dia kembali memandang mertuaku, kesadaran Aling semakin menipis, bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, istriku nampak kesakitan.

Aku tidak berani memandang betisnya, bau anyir dan amis sudah memperjelas apa yang terjadi di sana. Aku ingin terus bersama istriku, jika nekat melihat bagian pinggang ke bawah, khawatir aku mendahuluinya menjemput kegelapan.

"Sayang, tahan sedikit lagi ya, sebentar lagi pertolongan datang. Kamu istriku yang kuat, kamu pasti bisa melewati ini. Kamu tak sabar melihat anak kita kan? Aku juga. Berjuang ya, Sayang, plis, tolong suamimu ini sekali lagi, tolong kasih kesempatan aku menebus kesalahanku. Tolong selamatlah dan lahirkan anak kita dengan sehat." Air mataku kembali menganak sungai. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku berjalan di muka bumi ini jika Aling dan anak kami diambil Tuhan.

Atmosfer kematian sangat kuat, tulang belulangku sampai mengigil mencium amis darah yang keluar dari tubuh istri pertamaku.

Pada akhirnya Aling menyerah, matanya berlahan tertutup, dan aku hanya melihatnya dengan tatapan kosong. Aku terduduk tak berdaya, semua tulangku patah, duniaku runtuh. Orang-orang berlarian seperti gambar film yang dipercepat. Aku benar-benar tak memiliki kemampuan untuk berdiri, jangankan membantu menggotong bapak mertua atau istriku saat ambulan datang. Sedangkan mengedipkan bulu mata saja aku sudah tak mampu. Aku sama sekaratnya dengan Aling.

Aling sayang .... Kado pernikahan darimu membuatku ingin mati saja.

****

🏞Sendawar kota berAdat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🏞Sendawar kota berAdat. 21 Maret 2023

YUSUFWhere stories live. Discover now