4. AYO KABUR

816 112 18
                                    

Baru saja aku membaringkan diri di kamar bujangku setelah mengobrol bersama keluarga inti tentang proses acara lusa ketika telepon dari nomor sahabat istriku masuk.

Suara riang lengkap dengan rengekan menyambut telinga. "Bang, aku pinjam HP Ramlah. Aku rindu Abang, bagaimana ini?" Manja suara di seberang sana. "Coba punya sayap, aku mau terbang datangin Abang. Ciumin Abang sampai Abang sesak napas."

"Baru 2 jam kita pisah, Sayang." Aku batal memejamkan mata.

Hari ini tumpukan pikiranku berada dipuncaknya. Ternyata bukan hanya korban perasaan, aku juga rupanya harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk pesta besok.

Mey suku bugis, jujurannya tidak sedikit. Uang yang sengaja aku tabung untuk membangun rumah untuk kutempati bersama Aling dan anak kami habis sudah, bahkan kurang. Dan karena hal tersebut Indo serta Ambo terpaksa ikut mengeluarkan tabungan haji mereka untuk mencukupi permintaan pihak Mey.

Jika perasaan bersalah dalam hatiku dapat di lukiskan. Entah gambar macam apa yang bakalan tertuang dalam kanvas untuk mengilustrasikan ketidak berdayaan ini.

"Tapi sudah rindu! Abang kapan pulang?" Dadaku semakin sesak. Pertanyaan istriku meninju jantung.  Menghantarkan ngilu merembes hingga sumsum tulang belakang. Aku menarik napas panjang berharap ada sedikit kekuatan kudapatkan.

Belum pernah sebelumnya pria ini dibutuhkan seorang wanita seperti Aling membutuhkanku. Lalu aku si pecundang tak tahu diri, bukannya berterima kasih atas penghormatan maha tinggi yang kudapatkan dari istriku, malahan tega hati mengkhianati dia diam-diam.

Ternyata dosa masa laluku sungguh mengerikan, banyak sekali orang yang terseret dampak sialnya. Aling yang cinta mati padaku kuduakan. Indo dan Ambo kukeruk tabungannya untuk menomboki kekurangan biaya pesta. Belum lagi bapak mertua kutumbalkan sebagai jaminan pada Pak Kades agar menutup mulut-mulut orang yang gemar menggunjing pada saat pesta berlangsung nanti.

"Satu hari bahkan belum habis, Dek." Kerongkonganku sakit saat mengatakannya. Baru beberapa ratus menit dan istri cerewetku sudah menelepon karena kangen. Bukankah aku terlampau beruntung menikahi dia?

Dia yang perhatian, manja, selalu membutuhkanku, dan tak bisa jauh dariku.

Dia yang cerewet dan mencintai aku tanpa berkurang sedikitpun meski ratusan hari telah kami habiskan bersama.

Pedih sekali rasanya jiwa ini jikalau mengenang sang Rambut Gelombang nan jauh di desa sebelah.

Aku ingin menangis tapi takut ketahuan Aling.

Ingin menghajar sesuatu tapi aku sudah diwanti-wanti agar jangan melukai diri sendiri. 

Jadi untuk segala gundah gulana, cemas dan ketidakberdayaan, aku hanya bisa menaruh lengan kiri menutupi kedua mata, menghalau rasa sedih yang memaksa ingin eksis dengan menumpahkan bulir bening sederas air terjun.

Sejujurnya aku merasa kebingungan dengan sikapku sendiri. Satu sisi aku ingin bertanggung jawab terhadap Mey. Desir aneh saat berada di dekatnya bebebapa hari lalu kutafsirkan sebagai sisa cinta lama yang masih tertinggal.

Kemudian, jika ada secuil bagian ingin bersama Mey. Maka ada juga bagian di mana aku sangat ingin mempertahankan Aling sebagai satu-satunya ratu yang bertahta di hidupku.

Porsi ini tentu lebih besar. Selain karena istriku sebentar lagi memberikanku penerus, aku juga merasa cinta sedikit demi sedikit mulai tumbuh untuknya.

"Tapi rasanya kayak sudah 1 bulan. Rindu sekali aku, Banggg." Istriku sengaja memanja-manjakan nadanya. "Tadi aku lupa, minta Abang gigit bibirku. Kan aku jadi tidak punya luka gigitan sayang dari Abang sebagai kenang-kenangan."

YUSUFWhere stories live. Discover now