24

1.3K 183 18
                                    

Kembali seperti semula di mana hanya ada anak-anak dan pembantu di rumah. Keseharian Ardi bersama anak-anak, pekerjaan dan kesendiriannya di malam hari. Tepat enam bulan setelah Ariana pergi sekalipun laki-laki itu tidak bisa menghubunginya karena Ariana menonaktifkan semua kontak. Sepertinya wanita itu benar-benar pergi untuk menjauh darinya bukan hanya berobat saja. Pernah ingin bertanya pada ibunya, tapi mengurungkan niat. Sambutan ibunya pasti tidak akan baik. 

Rindu? Entahlah, Ardi tidak tahu, masih setiakah rasa itu mengingat Ariana tidak membuka hati untuknya, atau semakin menggila rasa itu karena Arina pergi tanpa pamit namun menyisakan jejak diri selama wanita itu berada di rumahnya.

Setiap sore, laki-laki itu pulang melihat anak-anak dan keadaan rumah yang sepi, menurutnya. Pertengkaran Mona dan Uki tidak mengganggu, itu sudah biasa selama enam bulan ini.

Malam hari, sebelum tidur Ardi akan menelepon Saira berbicara dengan anak gadisnya kadang bisa membuat malamnya baik-baik saja setidaknya bisa terlelap beberapa jam walaupun tengah malam kembali terbangun dan matanya akan terbuka sampai pagi menyambut.

Perasaan hambar juga aneh itu bukan karena Bella tak lagi berada di sampingnya. Dua puluh empat jam setelah Ariana pergi enam bulan yang lalu, ayah empat orang anak itu seperti kehilangan sandaran. sesuatu yang tidak pernah dilihat dengan hati mengusik hingga mengambil ketenangan malamnya. 

Adalah Jun, yang sering melihat papanya melamun. Dia melihat papanya sering masuk ke kamar Ariana, tak perlu bertanya karena ia juga telah dewasa tanpa perlu mengerti apa yang dirasakan Ardi sekarang.

Jika terbangun di malam hari Ardi masuk ke kamar Ariana. Di kamar itu, barang Ariana masih tersimpan dengan rapi. Melihat barang milik wanita itu seperti ada harapan. Sangkanya sempat meragu, tapi kata-kata ibu seperti menegaskan kebenaran alasan Ariana pergi adalah untuk berobat. Tidak ada jaminan untuk bahagianya, wanita itu telah datang dan masuk dalam kehidupan papa Jun artinya Ariana adalah penawar untuk kerinduan ini.

Pagi ini, Mona diantar oleh seorang guru. Anaknya demam tiba-tiba, syukur Ardi belum berangkat ke kantor. 

"Akhir-akhir ini Mona tidak fokus belajar." guru itu memberitahu Ardi. Ardi tidak mengenal guru Mona, ia jarang datang ke sekolah anak-anak lagi pula selama ini Ariana yang mengurus semuanya.

"Saya minta maaf."

Salsabila, nama guru Mona. Wanita itu tersenyum ramah. "Masalah keluarga bisa menjadi penyebab, ini kedua kali Mona bersikap aneh." ya sejak bunda anak itu meninggal, dan ini kali kedua artinya kepergian Arina.

"Maaf, jika saya lancang. Saya dengar anda berpisah dengan ibu tiri Mona, apakah itu benar?"

Apa? Pantaskah guru Mona bertanya hal pribadi seperti itu?

"Jauh sebelum ini, Mona sangat aktif. Anak Bapak juga mudah menerima pelajaran. Bukankah itu pertanda Mona butuh seorang ibu?"

"Ibunya sedang berobat. Mungkin akhir bulan ini akan kembali."

"Kabar bagus. Semoga Mona cepat sembuh dan kembali ceria dan aktif." guru itu pamit setelah membuat Ardi kenyang dengan kekesalannya.

Ardi tidak mengantar, ia terlalu kesal dengan guru putrinya. Berpisah? Siapa yang mengatakan pada guru Mona tentang kebohongan itu?

******

Ardi mengajak anak-anak pergi di hari minggu, tapi Uki dan Mona menolak tanpa mengatakan alasan alhasil Ardi pergi sendiri karena Jun juga ada janji dengan teman-temanya. Ardi pergi memancing, sudah lama ia tidak melakukan hobinya ini.

Memancing sama dengan melatih kesabaran. Ardi ingin mengukur kesabarannya selama menunggu seseorang pulang walaupun ia tidak tahu kapan waktu itu. Hampir satu tahun, sepertinya wanita itu betah di sana.

Memancing di air yang tenang sambil merenung lagi tentang seseorang yang selama enam bulan ini menghilang. Bukan menjanjikan kebahagiaan tapi sebuah kepastian sikap, Ardi berusaha untuk itu.

Bukan menikmati tapi keadaan yang membuatnya mau tidak mau harus menjalani keadaan ini. Saat rindu, maka seketika itu juga matanya tak akan mau terpejam dan itu sungguh menyiksa.

Laki-laki itu kembali pukul tiga sore, membawa hasil pancingan. Saat masuk ke rumah ia mendengar anak-anak heboh. Sebuah kata disebut, Ibu. Ardi mendekat, untuk mendengar lebih lanjut. Jantung Ardi berdetak keras.

"Berarti kalau Ibu bawa tas, itu punyaku. Aku yang minta hadiah itu. Kamu minta apa tadi?"

"Boneka."

"Gede kamu minta, kasihan Ibu bawanya. Sudah gendong dedek, harus gendong boneka lagi."

Dedek?

Mona terlihat bingung. Ia melihat mba Fitri memohon wanita itu menelepon ibunya lagi. "Enggak usah boneka, Mba. Coklat saja," kata Mona pada mba Fitri. 

"Mana bisa Mba telepon, lupa apa kata ibu?" mba Fitri menegur Mona.

"Yah..gimana dong. Nanti kalau Ibu capek kan kasihan." Mona menekuk wajahnya.

"Untuk kalian, ibu enggak akan capek. Ibu baik, makanya harus jadi anak yang nurut."

"Kami anak-anak baik. Ibu yang bilang," kata Uki. "Buktinya Ibu akan pulang bareng dedek."

Apa ini? Ardi membuka topinya. Apakah Ariana tidak keguguran? Apa maksud dedek yang dikatakan anak-anaknya? Di mana sebenarnya wanita itu? 

Malam hari, Ardi menunggu Fitri keluar dari kamar anak-anak.

"Bisa kita bicara?"

Fitri mengangguk.

"Apakah ibu anak-anak akan pulang?"

"Benar," jawab Fitri.

"Jawab dengan jujur," titah Ardi. "Dia pergi bukan untuk berobat kan?"

Fitri menunduk, apakah harus dari mulutnya informasi itu keluar? "Tanyakan bi Tinah, Bapak."

"Katakan saja. Dia akan pulang bersama seorang bayi? Saya mendengar anak-anak menyebut ibu dan dedek."

Diamnya Fitri adalah jawaban. Ardi merasa jadi laki-laki bodoh. Mungkin hanya dia yang tidak tahu apa-apa.

"Kamu, juga bicara dengan ibumu?" tanya Ardi saat Jun melewatinya.

"Eum," sahut Jun. 

"Papa tidak tahu apa-apa." Ardi ingin tertawa. Ia tersiksa memendam sendiri sedangkan anak-anaknya tahu apa yang tidak diketahui olehnya.

The Stepmother (Tamat-Cerita Lengkap Ada Di PDF)Where stories live. Discover now