AKSEN 41 | THE TRUTH

465 54 4
                                    

Kalau kalian udah baca sampai chapter ini, artinya kalian udah bakal tahu kenapa Mira senekat itu dulu buat dekati aksen karena om Herman.

Soo, its almost here! Happy reading, kebenaran diungkap di chapter ini...

JANGAN LUPA SUMBANGAN VOTE KOMENNYAA <3

Suara pintu yang berderit, membuat Herman yang sibuk memandangi sebuah kotak berwarna merah terang dengan ukuran tidak terlalu besar itu, langsung menutupnya dan berbalik badan untuk menatap sang anak dengan tatapan sedikit terkejut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara pintu yang berderit, membuat Herman yang sibuk memandangi sebuah kotak berwarna merah terang dengan ukuran tidak terlalu besar itu, langsung menutupnya dan berbalik badan untuk menatap sang anak dengan tatapan sedikit terkejut.

"Papa? Papa lagi ngapain?"

Aksen kecil berjalan mendekati Papanya yang sedang berdiam diri di ruang kerja berukuran tiga kali lima meter. Seharian ini Aksen tidak pernah melihat Papanya berkumpul di ruang keluarga.

"Papa lagi ngerjain project untuk praktik mahasiswa Papa di kampus. Kamu mau ikut berlatih membuat sastra pidato?" tanya Herman sembari mengulurkan sebuah kertas kusam dengan bercak kuning di mana-mana.

"Kenapa Papa buat harus sekarang? Kenapa enggak besok aja?" tanya Aksen kecil balik pada Herman membuat Herman bangkit dan mengelus puncak kepala anaknya dengan lembut.

Herman mengulas senyum. "Project ini adalah salah satu project besar Papa, Aksen. Papa akan menggantikan Dosen di Yogyakarta minggu depan. Kamu harus bisa untuk jadi seperti Papa dan buat Mama juga ikut bangga, nantinya."

"Iya, Pa." Herman mengulas senyum, mengajak Aksen kecil untuk duduk di sampingnya. Meski begitu, pandangan Aksen tidak luput dari sebuah kotak berwarna merah yang disembunyikan di balik tubuh Papanya.

Sesekali, Herman juga merenggangkan otot-ototnya karena merasa pegal sudah di ruangan ini sejak dua jam yang lalu. Menghabiskan waktu untuk menyusun kalimat apik agar pidatonya di Yoyakarta minggu depan berjalan lancar.

"Papa harusnya istirahat aja. Ini hari Minggu, tapi Papa selalu di ruangan ini."

Aksen kecil cemberut menatap wajah tua renta Papanya yang makin hari makin berbeda saja. Seperti kerangka hidup yang sudah hanya nampak tulang di sebalik kulit nan daging. Aksen merasa kasihan melihat Papa seperti ini.

"Papa sebenarnya sedang-ukhuk...."

Herman tiba-tiba terbatuk kecil membuat Aksen panik dan meraih segelas air minum di bawah meja kerja Papanya. Karena sebagian besar meja Papa berisikan kertas kerjanya, sehingga gelas air minum diletakkan di bawah meja kerjanya.

"Papa harus banyak minum. Aksen gak mau papa ngerokok lagi, ya."

Herman meraih gelas itu, dengan seutas senyum yang menghiasi wajah keriputnya. Ia meletakkan gelas ke tempatnya semula sambil menatap anak putranya.

"Papa sudah tidak merokok lagi, Aksen. Kamu tenang saja."

"Papa jangan diet-diet lagi, dong. Udah makan belum sekarang?" Aksen masih khawatir dengan kondisi Herman yang makin hari terlihat makin tidak baik-baik saja.

AKSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang