11

3.3K 445 64
                                    

"Udah nangisnya?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Junghwan, mengusap wajah dengan kasar menggunakan dua tangan.

"Ingusnya tuh kak nih bersihin dulu." Ucap Junghwan lagi sambil menyorkan tisu, aku berdecak pelan lalu memukul tangannya yang ada di depan wajah.

Junghwan tertawa lalu menyandarkan tubuhnya ke bagian belakang kursi panjang yang kami tempati, sebelah tangannya bergerak untuk merangkul tubuhku lalu mengusap bahuku pelan. Aku diam, tidak protes atas semua tindakannya.

"Pacaran yuk, kak?"

Mataku mengerjap beberapa kali sebelum mengalihkan pandangan ke arahnya, menatap Junghwan yang masih terlihat santai dengan raut tidak percaya.

"Hah?" Tanyaku, berusaha memastikan kalau telingaku tidak salah dengar.

"Pacaran, lo jadi pacar gue, mau gak?"

"Ini lo lagi nembak?"

"Ya... iya."

Junghwan berbalik, manik cokelatnya yang terlihat makin terang karena disinari cahaya matahari sore itu menatap lurus ke arahku, membuat jantungku berdebar tidak karuan karena demi Tuhan, tatapannya sangat mengintimidasi.

"Mau gak?" Tanya Junghwan lagi.

Dengan cepat aku menggeleng, mengalihkan fokus ke pasar yang mulai sepi di seberang jalan. "Gak mau, gak suka sama berondong." Jawabku asal.

Junghwan diam tapi aku tahu kalau dia masih belum beranjak dari tempatnya, tidak lama ia berdecak pelan lalu menyandarkan kepalanya di atas bahu kiriku.

"Gue suka sama lo kak, suka banget." Ucap Junghwan dengan suara pelan, lebih mirip seperti bisikan karena aku yakin hanya aku yang dapat mendengarnya.

Dengan jarak sedekat ini aku harap Junghwan tidak dapat mendengar detak jantungku yang debarannya makin keras. Aku diam, tidak menjawab kalimat Junghwan juga tidak beranjak dari tempat dudukku, berusaha memberi Junghwan kenyamanan karena mulai menumpu sebagian berat tubuhnya ke tubuhku.

"Banyak banget yang lo gak tau soal gue, Hwan." Ucapku pada akhirnya. "Dan gue gak yakin apa perasaan lo masih bertahan kalo misalnya lo tau yang sebenarnya." Lanjutku lagi.

Kedua tangan Junghwan kini melingkar di lenganku. "Makanya, kasih tau dong."

Aku tertawa kecil mendengar permintaan yang lebih seperti rengekan yang barusan keluar dari mulut Junghwan, pegangannya di lenganku makin erat, begitu juga kepalanya yang masih belum beranjak dari atas bahu.

"Gue siap banget denger semua keluh kesah lo, kak. Ya meskipun gak tau bakal bisa bantu atau nggak, tapi gue siap jadi pendengar. Seenggaknya lo bisa bagi luka yang selama ini lo pendam ke gue, dikit juga gapapa asal gak terus-terusan numpuk di sini." Lanjutnya lagi sambil mengetuk dadaku pelan menggunakan telunjuknya.

"Tau gak pas pertama kali gue liat lo di tangga sekolah, gue mikir apa?"

"Apa?"

Junghwan mulai bangkit dari posisinya, tangan yang sebelumnya melingkar di lenganku itu ia bawa untuk menangkup wajahku agar menghadap ke arahnya.

"Lo kecil banget, makanya gue pegang pinggangnya supaya lo gak kebawa angin. Dan pas gue pegang, gue juga takut buat megang lo terlalu erat."

"Kok takut?"

"Takut lo hancur, soalnya gue sadar kalo ternyata lo serapuh itu, gak ada bedanya sama barang yang mudah pecah."

Seharusnya aku marah, tapi kalimat yang Junghwan ucapkan terlalu indah sampai rasanya aku tidak lagi mampu menahan air mata yang kini menumpuk di pelupuk mata,

Ethereal [Hwanbby]✔Where stories live. Discover now