PROLOG

82 15 20
                                    

Aku menendang kerikil yang tak sengaja mengenai ujung sepatuku. Perasaanku kacau, sangat kacau. Bahkan, tamparan yang kulayangkan kepadanya masih belum bisa menebus sakit hatiku. Aku bersumpah, jika Amanda kembali mengatakan hal buruk, maka aku akan membunuhnya. Sampai kapan pun, kalimat itu akan selalu hidup dalam jiwaku. Aku ini gadis yang tak mudah mengikhlaskan. Melupakan saja sulit, apalagi memaafkan?

Rabu itu, setelah berperang hebat dengan Amanda, aku memutuskan untuk bertemu Abhi di kantin. Aku berharap Abhi bisa menenangkan amarahku, tetapi dia malah membuatku semakin berkobar. Laki-laki ini mengatakan suatu hal menyakitkan, sebuah kalimat yang tak pernah ingin kudengar dari mulutnya. Namun, siapa sangka orang yang kusayang tersebut tega menyakitiku hingga sedalam ini?

Dia menunduk dalam, seolah-olah tengah memikirkan sebuah alasan yang pantas diutarakan. Namun, tetap saja, mau semanis apa pun dia merangkai kata, hatiku terlampau sakit dibuatnya. Tak ingin memandang wajah berdosanya lebih lama, aku segera pergi usai memukul meja cukup keras. Aku tak tahu pemikiran seisi kantin saat melihat kelakuanku. Biarlah. Biarkan mereka tahu siapa aku.

Aku Arini, gadis paling nekat yang sebentar lagi akan kalian selami kehidupannya. Selain hari Rabu sialan itu, aku juga membenci apa saja yang menyakitiku, membuatku mengalami banyak kesulitan, atau yang dengan sengaja merendahkanku tanpa alasan.

Aku Arini, yang saat ini sedang menuju rooftop sekolah dengan langkah tak gentar. Aku berdiri tepat di tepi lantai, menatap ke bawah dengan raut marah. Aku sudah memikirkannya tadi, bahwa mengakhiri penderitaan adalah sebuah keputusan yang benar. Untuk itu, sebelum maju selangkah lagi, aku lebih dahulu mencoba mengingat wajah Mama. Entah apa yang sedang wanita itu lakukan sekarang. Apakah dia tengah menangis, atau malah ke pemakaman untuk meraung kepergian Papa?

Aku tak berpikir bahwa ini salah. Aku hanya cemas, jika nanti Mama mendapat kabar bahwa aku sudah meninggal, wanita itu akan semakin merasa kehilangan. Namun, sama halnya dengan Mama, aku juga takut kehilangan apa saja yang selama ini aku miliki. Sejauh ini, aku sudah kehilangan teman terbaik, pacar tersayang, dan tatapan hangat dari seluruh penghuni kelas. Aku tak ingin dijauhi, dibuang, dan direndahkan hingga titik paling bawah. Jadi, sebelum hal-hal mengerikan itu terjadi, biarkan aku saja yang menghilang, pergi jauh dari yang namanya kehidupan.

©2023 | NUR AZIZAH

LostWhere stories live. Discover now