25. Are You Okay?

3 4 0
                                    

Tanpamu aku bisa dan akan selalu baik-baik saja.

Adalah kebohongan nyata yang selalu kukatakan padamu.

* * *

"Hai, Rin. Abis dari perpustakaan, ya?"

Aku berdecak, sengaja memalingkan muka dan tidak membalas sapaannya.

"Gapapa kalau kamu gak mau jawab. Aku tau kamu marah. Jadi aku minta maaf, ya?"

"Enggak! Gak ada maaf buat kamu," jawabku tegas.

Dikata begitu Abhi hanya diam dan melemparkan seulas senyuman tipis yang sialnya masih terlihat manis. Dia tidak membantah ataupun melangkah. Karena terlalu muak melihatnya, aku pun berinisiatif untuk pergi lebih dulu. Akan tetapi, ingatanku kembali pada sebuah benda yang masih di tangan. Dengan cepat, aku melemparkan milo kotak itu ke arahnya, membuat Abhi sedikit kesulitan menangkap karena gerakan yang tiba-tiba. "Tong sampah di sebelah sana kayanya lebih butuh itu daripada aku. Atau enggak kasi aja ke Amanda. Dia pasti bakalan senang banget."

Mulut Abhi setengah terbuka, tidak percaya kalau aku mengembalikan minuman pemberiannya. Tapi sungguh, aku tidak butuh. Mulutku masih terlalu suci untuk menikmati minuman darinya. Baru lima langkah berjalan, Abhi kembali menghadang, membuatku spontan memelototkan mata.

"Apalagi, sih? Udah dibilangin aku gak mau, ya, berarti jangan maksa! Aku--"

Protesku tertahan karena Abhi mendadak merendahkan badan. Berusaha melihat melalui tumpukan buku, aku menemukan dia yang tengah mengikat tali sepatuku yang terlepas.

Sial. Apa-apaan dia?

"Kamu bisa jatuh kalau sampai talinya keinjak, Arin. Aku iketin aja, gapapa, ya?"

Abhi masih dan mungkin akan selalu seperti itu. Dia tidak akan balas marah jika emosiku berada di atas. Sikap baik dan perhatiannya akan selalu ada bersama ucapan lembutnya. Aku bahagia, jika saja dia masih menjadi pacarku.

Usai memastikan tali sepatuku siap disimpulkan, aku mundur dua langkah dan Abhi kembali berdiri tegak. Tanpa mengubah ekspresi wajah aku bertanya, "Sebenarnya mau kamu apa, sih, Bhi? Kamu yang putusin aku, tapi kenapa bukannya kamu yang menjauh? Aku ingin melupakanmu, Abhi. Aku mau jarak yang luas di antara kita. Karena sekali kamu ingin pergi, maka pergilah sejauhnya. Perhatian ini bikin aku sakit tau gak? Bikin aku tambah sadar kalau gak ada apa-apa lagi di antara kita."

* * *

Seminggu terakhir ini, aku menghindari menetap dalam keramaian untuk waktu yang lama. Aku sudah bisa mengabaikan mulut-mulut penuh dosa, memutuskan pergi bila perkataan itu terlalu menyakiti. Aku lelah bertengkar dan dipanggil ke ruang BK hanya untuk membicarakan hal yang sama. Beruntung guru BK belum memanggil mama. Karena jika iya, aku tak tahu akan sehancur apa hati wanita itu nantinya.

Sejauh ini Amanda telah berhenti mencari perkara. Entah karena gertakan itu, atau ada hal lain yang membuatnya diam, aku tidak tahu. Karena itu pula, Sisil juga lebih banyak diam sewaktu bersitatap denganku. Gadis itu terlihat sedikit ketakutan. Mungkin mengingat bahwa aku bukan tipe perempuan yang bisa dijadikan mainan.

Akan tetapi, hari Rabu ini kesialan itu kembali menghampiri. Karena lupa mengerjakan PR yang diberikan Bu Dini, aku dilarang mengikuti pelajarannya hingga kelas berakhir. Aku sempat melihat tatapan cemas Saras sebelum keluar kelas. Akan tetapi, kali ini aku sudah berhenti berharap. Seperti katanya, hal se-simple itu tidak bisa dijadikan ukuran apakah ia peduli atau tidak. Aku ini hanyalah manusia tanpa sayap. Tidak boleh terbang, karena jatuh adalah hal pertama yang kuterima.

Tenang saja, Saras. Selagi aku tahu bahwa ada orang lain yang bisa menjagamu, maka jarak itu akan selalu ada di antara kita.

Pada sebuah koridor yang terletak di antara laboratorium Fisika dan Kimia, aku berpapasan dengan Gilang dan Fahmi. Dari seragam olahraga yang dikenakan, tampaknya mereka hendak menuju lapangan.

"Habis lo, Rin. Pasti setelah ini Bu Dini bakalan gandain PR lo," sebut Gilang sewaktu aku selesai bercerita.

"Kok lo tau?"

"Dia udah pernah jadi korban soalnya," papar Fahmi yang disambut tawa oleh Gilang.

Sepeninggal mereka, aku kembali melangkah. Namun, munculnya Nawan dan Abhi pada ujung koridor membuat seluruh gerakanku mati.

"Hai, Rin. Mau ke mana? Kok lo di luar, sih?" sapa Nawan sekaligus bertanya.

"Oh, gue dihukum Bu Dini gara-gara lupa ngerjain PR. Jadi kayanya gue mau habisin waktu di pustaka aja." Aku tak sudi membalas tatapan Abhi. Walau aku tau, selama berbicara dengan Nawan, pandangannya tertuju ke arahku. Aku sudah terlalu muak untuk menghadapi segala sikap anehnya. Sewaktu dia memutuskanku, seharusnya dia langsung menciptakan jarak. Tapi ini tidak. Abhi bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Dia masih suka tersenyum, menyapa, bahkan terkadang sengaja memberikan milo kotak untukku. Sebenarnya maksud dan tujuan Abhi apa, sih? Apa yang dia rencanakan? Kenapa dia tega menyiksaku seperti ini?

"Kamu lagi kurang sehat, Rin? Muka kamu pucat gitu." Abhi tiba-tiba bersuara yang langsung disetujui oleh sahabatnya.

"Apaan? Aku gak sakit kok," bantahku yang tanpa sadar membalas tatapan Abhi.

"Tapi serius muka kamu pucat. Apa tadi kamu gak sarapan? Aku bisa anterin ke UKS atau sekalian beliin kamu sarapan. Gimana? Kalau kamu mau, aku bisa izin bentar ke Pak Bondan."

"Eh, gak-gak, gausah. Aku bisa sendiri. Lagian aku baik-baik aja. Mendingan kamu simpan perhatian itu buat orang lain. Aku gak butuh."

"Tapi, Arin--"

"Aku buru-buru. Bye, Nawan."

"Bye ...." Nawan yang semula melongo menatap kami secara bergantian seketika kaget saat aku berpamitan hanya padanya.


Mengesampingkan ekspresi bodoh Nawan, aku berdecak tanpa suara karena tebakan Abhi tepat sasaran. Pagi tadi aku memang melewatkan sarapan. Karena menangis semalaman akibat merindukan papa, aku terlambat bangun keesokan harinya. Semua serba buru-buru. Dimulai dari mandi, menyiapkan buku, menata rambut hingga memakai seragam.

Sebuah lorong panjang dan besar dengan deretan piala terpajang pada kedua sisi dinding menjadi tempat berpijakku sekarang. Aku berdiri menghadap ke arah rak berbahan kaca. Ternyata perkataan Abhi benar. Wajahku memang sepucat itu. Namun, aku baik-baik saja, dan semoga akan selalu begitu.

* * *

LostWhere stories live. Discover now