10. Rabu yang Mengecewakan

7 6 4
                                    

Aku membawa luka besar di punggungku. Jika kamu terlalu dekat, aku takut kamu ikut merasakannya.

* * *

Gadis itu berbisik dengan suara paling tenang. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya. Karena jika aku berpaling sedetik saja, maka Amanda akan lepas dalam keadaan tidak terluka. Aku tak mau. Setidaknya Amanda harus merasakan bagiannya.

"Arin, Amanda bisa terluka kalau kamu giniin. Udah, please ...."

Sialnya, seberapa keras pun aku berusaha, lirihan Saras tetap menjadi kelemahanku yang sesungguhnya. Aku berdecak, lalu menghempaskan wajah Amanda dengan kasar.

"Dasar cewek gila! Bisanya cuma──akh!"

"Amanda!" Sisil spontan berteriak, kemudian memeriksa pipi Amanda apakah terluka atau tidak akibat tamparanku barusan.

Biar saja. Biar gadis memuakkan itu merasakan sedikit sakitnya.

* * *

"Nih, minum. Biar marahnya cepat reda."

Aku mendengkus seraya menerima uluran minuman milo kotak yang Abhi bawakan. Laki-laki ini tampak mengambil tempat di seberang meja selagi aku menghabiskan minuman pemberiannya. Abhi tersenyum tipis, menahan dagunya dengan telapak tangan kanan. Aku yang merasa risih karena terlalu dipandang pun akhirnya bertanya, "Kenapa, sih?"

"Gapapa," jawab Abhi sambil menggelengkan kepala, "cuma lagi pengen liatin kamu aja."

"Dasar cowok aneh," desisku memilih mengabaikan.

Saat ini, aku sedang melewati jam istirahat berdua dengan Abhi. Pada ruang kantin yang ramai, kita duduk berhadapan dengan dua milo kotak dan sebotol kopi dingin milik Ahhi. Setiap sudut dipenuhi oleh segerombolan siswa. Ada yang mengobrol, bercanda, atau bahkan hanya melewati makan siang dengan tenang. Pada deretan sebelah kanan, aku menemukan Gilang, Fahmi, dan Nawan yang tampak serius memainkan game di ponsel mereka. Sedangkan pada deretan sebelah kiri, mataku mendapati Sisil, Amanda, dan ... kenapa Saras tidak ada?

Refleks aku memanjangkan leher, berusaha mencari Saras di antara banyaknya kepala siswa. Hingga akhirnya, sosok yang aku cari terlihat juga. Saras yang baru saja keluar dari salah satu stand makanan, tampak membawa satu nampan pesanan. Mataku spontan mengikutinya, lalu mengumpat pelan begitu tahu itu adalah makanan Sisil dan Amanda.

"Berengsek!"

"Arin, gak baik ngomong kasar." Abhi memperingatkan, menatapku dengan tegas.

"Aku benci sama Sisil dan Amanda, Bhi. Mereka jahat!" aduku kemudian.

Abhi lalu menarik napas dan mengembuskannya dengan tenang. Dia akhirnya diam, mungkin sedang memilih kata yang pantas diutarakan. Tentang masalah pagi tadi, aku sudah menceritakannya kepada Abhi. Laki-laki ini tidak memberikan respon banyak. Selain mengusap kepalaku, Abhi hanya tersenyum dan menarik ujung hidungku. Aku sekesal ini menghadapi masalah, sementara Abhi malah santai saja ketika ada yang berkata buruk tentang hubungan kami.

"Hari ini jalan, yuk, Rin. Gak jauh dari SMP 2, ada kafe yang baru buka. Gue dan Angkasa Band udah sempat mampir kemarin. Makanan di sana enak. Gimana, mau gak?"

"Ini hari apa?"

Abhi berpikir dua detik, yang setelahnya memaksa dia menelan kembali semua harapannya. "Gak bisa lagi, ya?"

Aku mengangguk pasti. "Aku males jalan-jalan hari Rabu. Setiap kali aku keluar, pasti ada aja sialnya. Entah itu kepeleset di depan umum, kejatuhan kotoran burung, salah pakai sepatu, pokoknya semualah."

"Tapi kalau gak bisa sekarang kapan lagi, Arin? Kamunya gak pernah mau tiap kali aku ajak jalan. Padahal aku gak ada niatan buruk sama sekali. Aku cuma mau menghabiskan waktu sedikit lebih banyak sama kamu, Arin. That is it."

Penjelasan Abhi memang benar. Selama ini, aku selalu menolak saat Abhi mengajakku keluar. Namun, aku juga punya alasan. Sebagai anak gadis yang selalu dilindungi, aku berusaha menciptakan jarak yang normal dengan Abhi. Laki-laki ini memang pacarku, tapi aku juga mempunyai pilihan. Aku bukan gadis yang dibiarkan kelayapan dengan mudah. Jam main dan pulang, sudah diatur papa sejak dahulu kala.

Karena itu aku tahu, sekeras apa pun aku meminta, Papa akan tetap pada pendiriannya.

"Kamu anak gadis Papa, ya. Jangan sok-sokan jalan sama cowok manapun. Mau kamu bilang itu temen sekalipun, pergi berdua dengan laki-laki akan selalu Papa larang."

Terlalu sering dimarahi membuat aku sadar. Percuma meminta, kalau akhirnya aku tahu akan terluka. Dan siang ini, aku terpaksa membagi luka itu untuk Abhi.

* * *

Untuk menggantikan rasa kecewa Abhi, aku berniat mengajak dia ke penjara ketika pulang sekolah. Bukan untuk menemui papa, tapi hanya sekadar mengantarku saja. Kupikir Abhi akan bertambah kesal, tapi ternyata tidak. Senyum lebar tampak indah di wajahnya. Katanya, dia bahagia.

"Kamu tunggu di sini gapapa, 'kan? Aku bentar doang, kok."

Abhi lebih dulu mengambil helm di tanganku. Mengangguk pelan, ia pun memberikan jawaban, "Santai aja, Arin. Mendingan kamu masuk aja sana. Katanya udah kangen berat sama papa."

Aku tertawa kecil, lalu berjalan menjauhi Abhi yang masih di parkiran. Begitu memasuki kantor tersebut, aku refleks menelan ludah karena gugup. Mataku berpaling dan jatuh pada seorang polisi yang sedang duduk pada sebuah kursi seberang meja. Polisi tersebut tampak sedang menuliskan sesuatu. Begitu ia mengangkat kepala dan menemukan seorang gadis berseragam SMA, ia pun bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ada, Pak. Em, saya mau ketemu sama papa saya. Namanya Pak Irawan."

"Baik. Tunggu sebentar, ya," pamitnya sambil meninggalkan meja dan pergi ke koridor lainnya.

Sepeninggal polisi tersebut, aku segera pergi ke kursi tunggu. Seminggu lalu aku juga duduk di sini dan mengobrol dengan papa. Rabu ini, aku melakukannya sekali lagi.

"Arini?"

Seseorang memanggil namaku. Begitu menoleh, aku menemukan Papa bersama polisi tadi di sampingnya. Polisi tersebut memberitahukan waktu bertemu kami. Usai mengucapkan terima kasih, dia pun pergi dan lanjut bertugas lagi.

"Papa apa kabar? Aku kangen," sapaku setelah meraih tangan kanan Papa dan menciumnya seperti biasa.

"Papa baik. Kamu kok udah kurusan? Lagi gak baik, ya, keadaannya?"

Pertanyaan Papa membuatku refleks melihat tangan dan menyentuh pipiku kemudian. Keningku berkerut, lalu bertanya, "Iyakah? Perasaan aku lagi baik-baik aja. Papa nih yang udah kurusan. Makanan di sini gak enak, ya, Pa?"

Papa berdecak, memilih tidak menjawab pertanyaanku. "Tadi ke sini naik apa? Ojol?"

"Iya. Tapi Mas Ojolnya ganteng banget, Pa."

"Ganteng?"

Aku tertawa kecil ketika menemukan raut kebingungan di wajah Papa. Membuatnya penasaran sekaligus tak sabar menunggu jawabanku. "Iya. Papa kenal, kok, orangnya. Namanya Abhimanyu."

Ekspresi Papa berubah. Duduknya berubah tegak dan tangannya terkepal seketika. "Kamu ke sini bareng laki-laki itu?"

* * *


LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang