31. Kebahagiaan Dua Tempat

4 5 0
                                    

Yang pertama belum tentu jadi selamanya. Sementara yang ada belum tentu lebih dari segalanya.

* * *

Pulang.

Suasana rumah yang sunyi sepi menjadi sambutan untuk kesekian kali. Karena tahu tidak ada mama di dalam, jadinya aku memutuskan istirahat sejenak pada teras beralaskan kursi rotan. Belum sempat mengatur napas, dari halaman Bu Windy tampak berjalan tergesa seraya menghampiriku.

"Ada apa, Bu Windy?"

"Bu Mila ada di rumah?"

"Enggak, mama lagi di luar. Ada perlu apa, ya?"

Tidak langsung menjawab, wanita seumuran mama yang rumahnya tak jauh dari sini tampak mengeluarkan beberapa lembaran uang dari dompet.
Benda itu lalu diserahkan untukku. "Ini, kasih ke mama kamu. Sampaikan maaf saya karena keterlambatan ini."

"Maaf, Bu, tapi ini uang apa, ya?"

"Oh, ini upah mama kamu setelah jadi tukang cuci di rumah saya. Karena kerjanya rapi dan bersih, jadi upah saya tambahkan. Bilang ke mama kamu juga kalau besok suruh datang lagi ke rumah. Masih ada baju yang perlu dicuci. Suruh datang sedikit lebih awal, ya. Soalnya sore saya ada acara keluarga. Ini, Nak, terima uangnya. Saya buru-buru dan harus segera pergi."

Sepeninggal Bu Windy, aku mematung seraya memahami kejadian apa yang telah terjadi. Setiap kalimat yang wanita itu ucapkan terus berputar, membuat kekuatan kakiku hilang hingga akhirnya bersimpuh di lantai. Aku benar-benar kehilangan kata sewaktu berhasil memahami semuanya. Selanjutnya, aku perlu penjelasan dari mama.

"Arin, kamu lagi apa? Ngapain duduk di sana?"

Entah berapa lama aku terdiam hingga tak sadar wanita yang kutunggu berada di depan mata. Mama menangkap kedua bahuku, menuntun untuk berdiri dengan benar. "Kamu kenapa, Arin? Apa kamu merasa gak enak badan?" Mama terlihat begitu cemas, menyentuh seluruh wajah dan leher secara bergantian.

"Jadi ini penyebab tangan Mama selalu basah pas pulang? Penyebab Mama kelelahan, atau bahkan keliatan kaya orang ketakutan? Mama sengaja sembunyiin ini dari aku, 'kan?"

"Kamu ngomong apa, Arin?"

"Aku udah tau apa yang Mama lakuin di rumah tetangga pas aku gak ada."

"Kamu tau dari mana?" Mama tersenyum tipis, membelai pipiku dengan perlahan. Tak sedikit pun ia kaget karena aku tahu semuanya. Seolah memang sudah memprediksi bahwa ini akan terjadi. Mama telah mempersiapkan diri.

"Bu Windy tadi ke sini kasih upah buat Mama. Kenapa Mama lakuin ini semua? Kenapa Mama harus jadi tukang cuci di rumah mereka?"

"Menurut kamu kenapa lagi? Kita udah gak punya uang, Arin. Tabungan Mama udah habis terpakai. Jadi cuma ini yang bisa Mama lakuin."

Air menangis dengan kepala tertunduk. Sewaktu mengatakan semua hal buruk terjadi padaku, aku lupa bahwa keadaan Mama jauh lebih terpuruk. Selama ini aku mempunyai Abhi sebagai tempat bercerita, sementara Mama, siapa yang dia punya? Tidak sedikit pun dia mengeluh setelah papa pergi sekian hari lamanya. Kupikir semua telah baik-baik saja, padahal tidak. Mama jauh lebih terluka dan aku gagal menjadi obatnya.

"Sudah, jangan nangis lagi. Anak gadis papa enggak mungkin secengeng ini, 'kan?" Mama tersenyum lebar seraya menampilkan deretan gigi putih bersihnya. "Mama baik-baik aja, sungguh. Kamu gak perlu khawatir."

"Aku janji bakalan cari cara biar kita punya pemasukan, Ma. Biar Mama gak perlu jadi tukang cuci lagi."

"Gak perlu, Arin. Ini biar jadi tugas Mama. Tugas kamu belajar dan sekolah yang benar. Buat papa dan Mama bangga." Mama terus mengusap pipiku hingga sisa air mata menghilang. Gerakan jarinya membuatku merasa tenang. "Tadi Pak Hamdan ke sini lagi. Katanya besok Mama diminta ke pengadilan. Kasus papa akan dibuka kembali, Arin."

LostWhere stories live. Discover now