4. Ini Sumpahku

13 8 11
                                    

Sebenarnya, keadilan itu apa?

* * *

Selesai berbelanja, aku melangkahkan kaki keluar dari pintu supermarket. Rencananya mau langsung pulang ke rumah, tapi sesuatu di depan sana menarik perhatianku cukup lama. Saras, aku melihat gadis itu mengekori Amanda dan Sisil memasuki Lawas Café. Dia memang tidak menyadari keberadaanku, tapi aku bisa membaca raut wajahnya dari jarak sejauh ini. Di depan sana, ekspresi sedih samar-samar terlihat. Kalau saja dia masih ingin berteman denganku, tentu aku akan ada bersamanya. Tidak kubiarkan siapa pun memperbudak Saras seburuk itu.

"Lagi liatin apaan, sih, Rin? Serius amat."

Lamunanku buyar dikarenakan sebuah tepukan kecil di bahuku. Begitu menoleh, aku dibuat bingung dengan kehadiran Abhi. "Kamu kok bisa ada di sini? Dateng dari mana coba?"

Abhi tersenyum lebar. Meniup permen karet hingga menjadi balon, lalu membiarkannya meletus saat itu juga. "Dari toko sebelah sana. Ini kamu abis dari supermaket, ya? Mau langsung pulang?"

"Iya. Mau nganterin, 'kan?"

Kini Abhi tertawa sambil menganggukkan kepala. Kemudian, dia mengambil alih kantung belanjaan dari tanganku. Selagi kami berjalan, pikiranku masih bertahan pada Saras dan kedua teman gilanya tersebut. Aku tak habis pikir, apa yang sebenarnya sedang Saras pertahankan hingga memilih berteman dengan mereka? Amanda dan Sisil jelas bukan orang yang baik. Mereka penuh tipu muslihat, suka merendahkan orang, dan juga sangat egois. Menghabiskan waktu bersama mereka di sekolah saja terasa bagai neraka, bayangkan kalau sehari penuh? Gilanya, Saras tengah melakukan hal itu sekarang. Sejauh apa Saras mampu bertahan?

"Lagi mikirin apa, Rin? PR Matematikanya Bu Dini, ya?" tanya Abhi yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Otomatis gerakan kakiku juga terhenti. Tapi aku tidak heran kenapa Abhi harus berhenti di sini. Kami sudah berada tepat di sebelah motornya yang terparkir di depan toko yang ditunjuknya tadi. "Bukan apa-apa, kok, Bhi. Pulang, yuk!"

"Jalan-jalan dulu gimana? Em, muter-muter aja gitu. Mau gak?"

"Gak bisa, deh, Bhi. Mama di rumah sendirian soalnya."

"Yah, padahal pengen banget motoran sama kamu malem-malem. Kan, belum pernah, Rin."

Laki-laki ini tersenyum, tapi aku bisa menemukan kilatan kecewa dari sorot matanya. Memang selama berpacaran, belum pernah sekalipun kami keluar malam hari. Kalian tahu, Papa tidak akan memberi izin. Mau aku meraung di depannya sampai air mataku habis, pria itu akan tetap pada pendiriannya.

"Kamu itu anak gadis. Gak baik keluyuran malem-malem. Apalagi sama cowok yang ketemu Papa aja masih ketakutan begitu. Papa gak yakin kalau dia bisa jagaian kamu. Lagian apa gunanya, sih, kelayapan begitu? Gak jelas banget!"

Ucapan itu, aku masih mengingatnya dengan baik. Ia terekam dan sesekali terputar sewaktu aku berniat meminta izin jika ingin keluar dengan Abhi. Itu adalah kali pertama dan terakhir aku meminta. Sialnya, harapanku sia-sia hari itu juga.

"Katanya mau pulang. Kenapa bengong lagi?" Abhi mengetuk dahiku menggunakan telunjuknya. Laki-laki itu masih tersenyum bahkan hingga aku mengisi jok belakang motor dan kendaraan itu bergabung di jalan raya.

"Arin, tadi kamu beli apa aja di sana?"

"Cuma beli frozen food, sih. Rencananya besok mau buat nasi goreng, dan itu bakalan dijadiin topping."

"Wih, enak banget. Bekalin buat aku, dong, satu. Buat pedes, sama tambahin telor mata sapinya dua."

"Dih, udah minta, banyak maunya lagi."

Ucapanku membuat Abhi tertawa. Syukurlah, setidaknya aku tidak lagi melihat sorot kecewa itu di matanya.

* * *

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan membuatkan nasi goreng seperti rencanaku malam tadi. Tak lupa, aku menyisihkan seporsi nasi goreng level pedas lengkap dengan telur mata sapinya dua khusus untuk Abhi. Selesai menata piring di atas meja, aku berniat memanggil Mama yang sepertinya masih berada di kamar. Dan ternyata, aku tak perlu melakukan hal itu. Mama akhirnya keluar dari kamar, tapi setelan rapinya membuatku menatap keheranan. "Mama mau pergi?"

"Iya, Arin. Mama mau ke penjara sebentar, mau ketemu papa."

"Arin ikut, ya, Ma?"

"Emangnya kamu gak sekolah?"

"Ya ... sekolah, sih, Ma," berpikir sebentar, aku kembali melanjutkan, "berarti sore aja, deh, Arin ke sana. Cemas juga sama papa."

Mama tersenyum, lalu mengangsurkan kursi agar bisa diduduki. Sejenak pandangan Mama tertuju ke arah nasi goreng buatanku. Aku tahu Mama merasa tak nyaman, terbukti pada ucapannya, "Maafin Mama, ya, Arin. Gara-gara mikirin papa terus, Mama jadi mengabaikan kamu. Harusnya Mama yang buatin kamu sarapan. Bukannya kamu yang memaksa bangun pagi biar bisa ngelakuin semua hal sendirian."

"It's okay, Mam." Lega rasanya saat tahu Mama sudah lebih baik keadaannya. Jika kemarin Mama hanya menangis dan mengurung diri di kamar, sekarang Mama sudah mampu untuk sarapan bersama. Aku tidak berharap Mama memaksakan untuk terlihat baik seolah tidak terjadi apa-apa. Karena sesuatu yang dipaksa, tentu tidak akan baik hasilnya. Aku hanya mau, Mama tidak melupakan kesehatannya. Karena saat ini, Mama adalah satu-satunya harapan yang aku punya.

"Oiya, Ma, kasus papa gimana perkembangannya?"

Mama terlihat menelan potongan sosis sebelum akhirnya menjawab, "Mama gak tau, Arin. Kasus ini sulit. Bukti yang ditinggalkan pelaku pada laptop kerja papa itu sangat rapi. Seolah menyatakan bahwa selama setahun belakangan ini papa benar-benar melakukan korupsi." Suara Mama kembali merendah seiring dengan kepalanya yang menunduk dalam. Terlihat bahu Mama menguncang, serta kedua tangannya terkepal. Tidak. Mama tidak menangis sekarang. Dia hanya marah, marah pada beberapa hal. "Dari jauh-jauh hari udah Mama bilangin, papa resign aja dari kantor itu. Soalnya partner kerja papa udah toxic semua. Tapi papa malah gak mau. Katanya gaji di sana besar. Cukup buat ngebiayain kamu kuliah di luar negeri tahun depan. Sekarang, apa yang Mama omongin terjadi, 'kan? Partner kerja papa yang licik, yang benci karena papa naik jabatan, akhirnya nyusun rencana buat jebak papa. Dia meninggalkan jejak kejahatannya di laptop papa, dengan rapi dan teliti."

"Terus kenapa papa gak nuntut balik kalau tau semuanya?"

"Mana bisa, Arini? Papa gak punya bukti apa-apa," jawab Mama dengan suara yang cukup tinggi.

"Terus guna polisi apa kalau bukan untuk selidikin kasus ini, Ma? Papa berhak mendapatkan keadilan!"

"Arini, lawan papa bukan orang sembarangan. Dia punya jabatan yang tinggi di kantor. Gak semudah itu bisa mengalahkan dia, di saat orangnya aja berteman baik dengan petinggi kepolisian di sana. Kita ini orang rendah, Arini. Mustahil untuk menang."

"Gak ada yang mustahil di dunia ini, Ma. Sampai kapanpun, papa tetap gak bersalah. Dia bukan koruptor! Arin gak mau diingat sejelek itu sama orang-orang. Arin gak semudah itu buat relain nama baik keluarga kita dicemarkan." Ini sumpahku dan akan kupertahankan sampai mati.

* * *

LostWhere stories live. Discover now