20. Cowok Baik

5 4 0
                                    

Jangan menilai sesuatu dari sampulnya, Kawan.

* * *

Abhimanyu <3

Arin, aku udah di depan
rumah kamu.
Boleh keluar bentar gak?

Aku melihat jam sewaktu pesan dari Abhi masuk ke ponsel. Dengan mata setengah bengkak, aku merenggangkan otot dan menyibak selimut untuk turun dari kasur.

Selesai membersihkan diri siang tadi, aku langsung mengurung diri di kamar. Aku bahkan melewati makan siang walau sebenarnya aku sangat kelaparan. Hanya karena mengingat cuma aku yang membela papa, seketika aku merasa kesal dengan Mama. Sekarang aku sedang tak ingin berbicara dengannya. Takut jika kelepasan, maka ia akan tersakiti.

Begitu keluar rumah, sosok Abhi langsung terlihat jelas. Laki-laki itu mengenakan hoodie abu-abu terang yang dipadukan dengan celana hitam panjang. Sewaktu menyadari kehadiranku, ponsel yang sedang dipegang lantas disimpan. "Hai, Rin. Aku ganggu tidur kamu, ya?"

Sepertinya kedua mataku masih sangat bengkak. Sehingga Abhi dapat dengan jelas menangkap hal itu hanya dalam sekali pandang.

"Gak ganggu. Cuma kalau gak ada pesan dari kamu, mimpi indah aku gak bakalan keputus."

Abhi tertawa kecil dan menggaruk sudut mata kanan. "Aku mau mampir bentar. Boleh gak, Rin? Cuma di teras aja, kok."

Aku mengangguk, lalu mempersilakannya ke teras rumah. Selagi Abhi mencari posisi nyaman saat menduduki kursi rotan, aku menekurinya dengan saksama. "Bentar, ya. Aku mau buatin minum dulu."

"Eh, gak usah, Rin. Tadi sebelum ke sini aku udah sempat minum."

Bagus Abhi menolak. Jadinya aku tidak perlu repot-repot membuatkan minuman. Bukannya aku malas atau apa, hanya saja, suasana hatiku masih terlalu buruk untuk melakukan kegiatan. Bertemu Abhi saja sedikit terpaksa. Kalau saja laki-laki ini belum ada di depan, maka aku akan menolak kedatangannya.

"Mata kamu bengkak banget, Rin. Abis nangis?"

"Iya, kesel sama mama. Makanya tadi nangis sampai ketiduran," jawabku apa adanya. Beruntung Abhi sosok yang menyadari sampai batas mana dia boleh mengetahui. Laki-laki itu diam, tidak menanyakan permasalahan dengan mama tadi siang.

"Tadi di sekolah gimana? Ada yang bikin kamu kesel gak?"

"Ada, sih, beberapa. Mereka masih ngatain aku. Apalagi setelah berita papa bunuh diri di penjara tersebar, bikin mereka tambah yakin kalau papa itu memang bersalah. Jadi label aku anaknya koruptor jadi melekat banget."

"Sabar terus, ya, Rin. Tuhan tahu batas kesanggupan kamu itu di mana. Karena gak ada satu pun cobaan yang melebihi batas kemampuan seseorang. Kalau kamu ngerasa cobaan itu banyak dan berat banget, itu tandanya kamu sosok yang kuat."

Aku memandangi Abhi yang santai memberi petuah. Tepat di ujung kata, aku pun tersenyum. Berusaha mengingat baik-baik kalimatnya.

Jarum jam menunjukkan angka sembilan tepat. Di atas sana, ribuan bintang bertebaran. Aku mendongak, menghitung dalam hati. Namun, hitunganku gagal saat potongan kejadian pagi tadi mendadak terlintas di depan mataku. Aku memejamkan mata, berusaha mengalihkan pikiran buruk terkait perkataan Sisil di kelas sepi tadi. Abhi tidak mungkin berbuat curang. Karena sampai detik ini pun, aku masih yakin kalau dia mencintaiku.

"Arin, kamu melamun, ya?"

"Eh, kenapa, Bhi? Kamu haus? Mau aku ambilin minum?" desakku dengan pertanyaan beruntun yang seperti sedikit melantur. Terbukti dari Abhi yang tertawa kecil setelah mendengarnya.

"Kok malah ke situ, sih, Rin? Tadi aku nanya mama kamu di mana? Dia tau gak kalau aku datengin kamu malam ini?"

Aku menggaruk pangkal hidung seraya menatap ribuan bintang di posisi yang sama. "Mama kayanya tidur, deh. Jadi gak tau kalau kamu ada di sini."

"Besok sekolahnya aku jemput, ya?"

"Beneran bisa?" tanyaku memastikan.

"Pasti bisa."

Kata orang, jadikan hari kemarin sebagai pelajaran untuk hari mendatang. Kalimat itu benar dan aku meyakininya. Sehingga aku tak lagi berharap kepada janji yang Abhi ucapkan. Jadinya aku hanya mengangguk dan bersyukur jika seandainya Abhi bisa menjemput besok.

"Tadi di sekolah ada kejadian seru, lho, Bhi."

"Kejadian seru apa?"

"Kamu kenal Alfin, 'kan?"

"Alfin ketua tim voli?"

Aku mengangguk, mengiyakan maksud Abhi. "Tadi dia digerebek Nola di kelasnya karena ketahuan selingkuh sama Ruby."

"Hah? Serius kamu, Rin?"

"Ya seriuslah. Mana ada aku bohong," ketusku tak santai.

"Tapi kalau gak salah mereka itu udah pacaran sejak kelas satu bukan, sih?"

"Iya, dan hari ini baru ketahuan kalau Alfin udah pacaran sama Ruby sejak awal masuk kelas tiga. Jahat banget, 'kan? Padahal Nola itu anak baik-baik, kalem, pinter lagi."

"Alfin juga baik, kok, Rin. Anaknya sopan dan seru gitu. Aku sempat beberapa kali bareng dia ikut olimpiade. Bahkan pernah satu tim pas debat Bahasa Indonesia. Cowok baik-baik, lho, dia."

"Makanya kita gak boleh menilai sesuatu dari cover-nya. Alfin emang keliatan baik banget, tapi nyatanya enggak, 'kan? Dia selingkuhan Nola yang sayang banget sama dia. Mirisnya, cewek yang jadi selingkuhan Alfin itu temennya Nola juga. Mereka sekelas malah. Kalau seandainya aku ada di posisi Nola, aku juga bakalan tegas kaya dia. Selingkuh itu dosa besar. Karena hal itu dilakukan saat sadar. Jadi aku setuju banget sama Nola yang putusin Alfin saat itu juga. Soalnya, pengkhianat itu cocoknya juga sama pengkhianat. Dan lagi, cowok yang terlihat baik itu yang harus banget diperhatikan. Karena biasanya, yang baik itu sukanya berkhianat. Setuju gak, Bhi?"

Abhi terdiam diikuti kepala yang menunduk secara perlahan. Di detik-detik ini, ingin rasanya aku bertanya kepada Abhi tentang suara perempuan di ujung obrolan pagi tadi. Ingin rasanya aku meminta penjelasan soal fotonya dengan Amanda. Namun, hanya karena Abhi yang menatapku dengan tatapan teduh, nyaliku menyusut dan hilang begitu saja.

Begitu Abhi membuka mulut, aku langsung berharap akan ada penjelasan darinya. Namun, harapanku musnah setelah Abhi berkata, "Aku janji gak akan pernah buat kamu berada di posisi itu, Rin. Gak bakalan ada kisah Nola di diri kamu."

"Aku harap begitu."

"Oh, aku sampai lupa," sebuah kantung plastik terulur ke arahku, "tadi sebelum ke sini aku sempat beliin kamu martabak telur. Lengkap sama milo kotaknya juga."

"Makasih, Bhi. Tau aja aku maunya apa."

Abhi tersenyum, mulai bertingkah menyebalkan dengan mengacak-acak rambutku hingga berantakan. "Ck, jangan, ah! Sisirannya lama."

Abhi tertawa. "Aku pamit aja, deh, Rin. Takut singa betinanya ngamuk."

Tak terima, aku spontan memukul lengannya hingga dia mengaduh kesakitan. "Benar-benar singa kamu, Rin."

"Emang singa! Mau apa, hah?"

"Heran, deh. Kok ada, ya, singa betina yang demen milo kotak?"

"Abhi! Pulang sana!" Kali ini, aku benar-benar bangkit dengan penuh amarah. Dengan tega aku mendorongnya hingga tiba di samping motor. Dan begitu aku hendak berbalik, giliran Abhi yang mencekal pergelangan tanganku.

Aku tak jadi protes saat tahu Abhi hanya ingin merapikan rambutku kembali. Dia tersenyum tipis dan setelahnya mengetuk ujung hidungku sekali. "Abis ini langsung tidur aja, ya. Jangan lanjut nangis atau mikirin macem-macem lagi." Sadar aku diam, Abhi akhirnya menghela napas panjang. Mungkin saja dia tahu suasana hatiku tidak sebaik biasanya. "Aku pulang, Arin."

Aku melambaikan tangan bersama senyuman tipis yang tak sampai ke mata. "Hati-hati di jalan, ya, Cowok Baik."

* * *

LostWhere stories live. Discover now