11. Hilangnya Sebuah Harapan

2 6 0
                                    

Aku ingin kita selalu bersama. Lebih lama dari selama-lamanya.

* * *

"Namanya Abhi, Pa. Bisa gak, sih, Papa sebut nama Abhi dengan bener sekali aja?"

Papa berdecak seraya memejamkan matanya sejenak. "Iya, iya. Jadi benar kamu ke sini sama dia?"

"Bener, dong. Aku minta dianterin tadi. Dan sekarang Abhi di parkiran. Karena setelah ini, dia harus anterin aku pulang. Papa ngebolehin, 'kan?"

"Mau bilang enggak juga kamu gak bakalan dengar, 'kan?"

Tepat sekali. Seulas senyum manis tercetak di bibirku. Aku tidak ingin berharap banyak, tapi sepertinya hati Papa sudah mulai lunak. Dia membiarkan aku pergi bersama Abhi dengan kepercayaan bahwa aku bisa menjaga diri.

Aku suka sikap Papa hari ini.

"Keadaan mama gimana, Rin? Kemarin waktu ke sini, Papa liat muka mama pucat dan lesu. Badannya juga keliatan kurus."

"Mama masih sedih banget, Pa. Tiap malam mama bangun cuma untuk nangisin Papa. Mama serapuh itu tanpa Papa." Aku menatap ke bawah, memilin jari-jari tangan sesekali. "Papa pasti bisa bebas, 'kan? Papa pasti bakalan kumpul sama kita lagi, 'kan? Papa ...."

Suaraku bergetar sehingga nyaris tak bisa bersuara. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha menahan tangis yang bisa tumpah kapan saja. Akan tetapi, mau sekuat apa pun aku menahan, air mata ini tetap saja mengalir begitu Papa mengusap puncak kepalaku. Aku mengangkat kepala, tanpa sadar memperlihatkan wajah menyedihkan di hadapan Papa. "Aku capek, Pa. Aku lelah dengan semuanya. Semua orang pada ngejauhin aku, ngehina keluarga kita. Mereka ngatain Papa koruptor, sampah, dan tikus negara. Bahkan Saras──sahabat aku dari SMP──juga ikut pergi ninggalin aku. Katanya, aku ini gak baik buat mereka." Sore ini aku memutuskan untuk mengadu semuanya. Aku menangis, menampakkan betapa lemahnya aku. Aku benar-benar menjadi anak gadisnya Papa, yang berusaha berpegangan pada lengannya ketika aku kepayahan. Namun, aku tak tahu sekuat apa lengan Papa saat ini. Aku tahu dia tidak akan membiarkan jatuh, tapi Papa, sesakit apa dia menahan semuanya?

"Papa harus gimana biar kamu gak merasa lelah, Arin? Maaf, kalau kamu harus ikut terseret di dalam kasus ini."

Aku diam, merutuki diri sendiri dalam hati. Seharusnya aku tidak berbicara sejelas ini di depan Papa. Apalagi berkata dengan nada paling putus asa.

Selang beberapa menit terlewati dalam diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tapi aku tidak tahu entah dengan apa Papa menyibukkan diri.

"Arin."

Papa memanggil yang artinya aku harus mengangkat kepala dan menatap mata tegasnya.

"Maafin Papa karena gagal bahagiain kamu. Maafin Papa karena selama ini bersikap keras sama kamu. Papa bukannya gak mau kamu bahagia, tapi Papa takut kamu kenapa-kenapa. Papa masih setakut itu, Arin."

"Papa ngomong apaan, sih? Aku gak ngerti."

"Papa takut saat tahu bahwa ada laki-laki lain yang ikut menjaga kamu. Itu membuat Papa cemburu." Papa menarik napas panjang dan melepaskannya dengan tenang. Tangannya tak lagi mengusap kepalaku. Karena saat ini, dia tengah memegang jari tanganku yang teriris pisau saat memasak pagi tadi. Sorot mata Papa bertahan cukup lama di sana. Tanpa ingin menatapku, dia kembali berkata, "Papa harus buat kamu bahagia, Arin. Mungkin untuk terakhir kalinya. Untuk itu, Papa izinin kamu sama Abhi. Kamu ini mau lulus SMA, mau melangkah menjadi sosok yang dewasa. Kamu sudah bisa memilih, memilah, dan berpikir dengan baik. Apa saja yang kamu putuskan nanti, maka itulah yang menjadi garis hidupmu."

Kepala Papa menunduk semakin dalam. Menggunakan telapak tangan, Papa mengusap sudut matanya perlahan. Untuk pertama kali dalam hidup, aku melihat Papa menangis hanya karena membicarakan tentang masa depanku. Aku sadar bahwa ada perasaan aneh yang diam-diam menusuk ke dalam hati. Perasaan yang sama ketika kedua polisi membawa Papa pergi.

Kehilangan.

Itulah makna dari perasaanku sekarang. Namun, kenapa aku harus merasakannya lagi? Papa masih di depan mata. Masih mengenakan segaram tahanan berwarna biru. Papa tampak gagah, tampan, dan menawan. Ini aneh, sungguh aneh. Entah kenapa aku berpikir, bahwa Papa akan meninggalkanku lagi. Kalau memang iya, memangnya Papa mau ke mana?

* * *

"Maaf, lama. Kita pulang sekarang, yuk, Bhi."

"Oh, okay." Abhi mematikan layar ponsel dan segera bangkit dari kursi kantin yang didudukinya. "Gimana keadaannya Om Irawan?" tanyanya seiring dengan langkah menuju area parkiran.

"Papa okay. Dan dia titip salam buat kamu."

"Serius, Rin?" Refleks Abhi menghentikan langkahnya. Membuatku mau tak mau juga ikut melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian, wajah Abhi berubah cerah. Matanya berbinar dengan senyum yang tampak lebar. "Wah, sumpah. Seneng banget aku dengernya, Rin."

Tapi aku tidak. Sejak tadi, aku tidak bisa menemukan kejujuran yang aku mau di mata Papa. Aku kehilangan sorot tegas dan dingin itu di matanya. Karena setelah lama mencari, aku hanya menemukan segunung harapan yang perlahan-lahan mulai menghilang. Papa ... sudah putus asa.

"Apa ini artinya Om Irawan udah bisa nerima aku, ya, Rin?"

"Maybe yes, maybe no. Karena aku juga gak tau pasti."

"Tapi apa pun itu, intinya aku tetap bahagia."

Aku mengangguk, paham bahwa Abhi memang segirang itu ketika mendengarnya. Melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan, aku akhirnya tahu bahwa jam sudah memasuki pukul empat.

"Oh iya, Rin, besok rencananya Angkasa Band mau latihan. Kamu ikut juga, ya? Nanti kita seru-seruan di sana."

Aku menyadari bahwa Abhi terlalu sering menelan kecewa. Tubuhnya pun telah dipenuhi oleh banyak luka. Saat ia menggantungkan banyak harapan, aku malah menjatuhkan satu per satu secara bergantian. Beruntung, laki-laki yang menjadi pacarku adalah Abhi. Seorang yang baik hati dan mudah memaafkan setiap kesalahan meski aku terus melakukan lagi dan lagi.

Sore ini langit tampak mendung. Awan hitam menggantung, siap menumpahkan airnya kapan saja. Berbalik dengan cuaca yang suram, wajah Abhi tampak cerah seperti biasa. Sekali lagi aku mengingat wajah Papa, mencoba memutar ulang setiap kata yang beberapa waktu tadi diucapkan olehnya.

"Papa izinin kamu sama Abhi."

Benar, itu adalah potongan kalimatnya. Karena Abhi terlalu sering meminta bahagia, maka kali ini aku siap memberikannya.

* * *

LostWhere stories live. Discover now