17. Katanya, Terima Kasih

3 5 0
                                    

Jalan terjal dan berbatu, membuat aku kepayahan melangkah. Kakiku berdarah sangat banyak. Mengeluarkan nanah dan membusuk sewaktu-waktu. Akankah luka itu berlalu?

* * *

Sejak kejadian mengerikan itu, kehidupanku yang telah kacau kini bertambah hancur dan berantakan. Aku dipaksa menelan hinaan dan ejekan. Dipaksa menerima berbagai ucapan tak pantas yang sewaktu-waktu bisa melukai hatiku. Aku sendirian, berusaha melewatinya secara perlahan. Fakta papa bunuh diri di penjara menjalar secepat cahaya. Berita itu menyebar ke semua sudut sekolah. Guru-guru, murid, bahkan penjaga sekolah pun tahu kalau gadis bernama Arini ini adalah anak dari seorang 'koruptor' yang mengakhiri nyawa di dalam penjara. Sakit memang, tapi mengetahui bahwa kenyataan bisa memukul mundur kapan saja, aku terpaksa menghadapinya. Aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Atau mungkin saja tidak?

Aku tak habis pikir kenapa papa bisa seputus asa itu untuk melewati cobaan ini. Karena memang tak bersalah, papa seharusnya yakin kalau masalah ini akan selesai dalam waktu yang tepat. Namun, kembali lagi ke titik awal. Tanpa harapan, seekor semut pun tak akan mampu bertahan dua detik lamanya. Itulah yang papa rasakan sebenarnya.

"Halo, Bhi. Kamu jadi jemput aku gak, sih? Kok belum sampai juga?"

Aku berdiri di depan rumah dengan ponsel berwarna hitam di tangan. Melalui benda pintar itu, aku mendengar suara panik Abhi di seberang sana. "Ya ampun, Arin, sorry banget, ya. Aku lupa ngabarin kalau hari ini aku gak sekolah. Kerabat jauh aku meninggal subuh tadi. Jadi sekarang aku dan sekeluarga lagi dalam perjalanan ke rumah duka."

"Oh, gitu, ya," jawabku usai Abhi tuntas menjelaskan. Menghela napas sejenak, aku kembali berkata, "Aku turut berduka, Bhi."

"Iya, Rin. Makasih, ya. Dan sekali lagi aku minta maaf," lirih Abhi merasa begitu berdosa.

"Santai aja. Namanya juga musibah. Kalau gitu aku berangkat sekolah dulu."

"Belajar yang rajin, ya, Arin."

"Iya."

"Nanti kalau aku pulang, aku bakalan kabarin kamu lagi."

"Abhi, ayo bangun. Mandi dulu, terus siap-siap ke acaranya--"

Eh, tadi itu maksudnya apa? Aku buru-buru mengecek layar ponsel, tapi yang kutemukan adalah fakta bahwa panggilan baru saja dimatikan. Pendengaranku tidak mungkin salah. Tadi itu adalah suara perempuan yang terdengar sangat dekat dengan Abhi. Kalau perempuan itu menyuruh Abhi bangun dan mandi, berarti dia menemui Abhi di kamarnya?

Mendadak kedua kakiku lemas dikarenakan pikiranku sendiri. Fakta baru mengatakan kalau Abhi mungkin saja telah berbohong. Dia sedang bersama seorang perempuan di kamarnya. Lantas, bagaimana cara aku mencari tahu kebenarannya?

Sepanjang perjalanan ke sekolah, kepalaku dibuat semakin ramai hanya karena masalah yang bertambah. Belum cukup dengan kepergian papa yang terlalu tiba-tiba, aku lagi-lagi memikirkan tentang suara perempuan di ujung obrolan singkatku dengan Abhi. Aku perlu tahu dia itu siapa. Apa yang dilakukannya di kamar Abhi? Dan kenapa Abhi harus membohongiku?

"Jangan-jangan Abhi selingkuh lagi?"

Pikiran buruk itu datang begitu saja. Memaksa masuk dan mengambil ruang terbanyak di dalam otakku. Aku menelan ludah, merasa marah jika Abhi benar-benar memperlakukanku serendah itu. Lihat saja, aku tidak akan tinggal diam setelahnya.

"Jalan tuh liat depan. Ketabrak tembok baru tau."

Lamunanku buyar tepat ketika seseorang mencengkeram bahuku dari belakang. Begitu mengangkat kepala, aku kembali dibuat kaget dengan hadirnya dinding bercat putih yang berdiri kokoh tepat di depan wajahku.

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang