38. Tuhan, Ini Tidak Lucu

3 4 0
                                    

Ketika saya ingin terus bersamamu, takdir malah berkata lain.
Tuhan mempercepat perpisahan kita.

* * *

Sudah menjadi kebiasaan aku berangkat lebih pagi di hari Rabu. Tapi untuk Rabu ini, aku berangkat lebih pagi lagi dari biasanya. Ada banyak hal yang ingin kubahas dengan Prabu. Ada banyak jawaban yang kubutuhkan, serta penjelasan dari teka-teki membingungkan.

Bangunan ini masih terlalu sepi, tapi aku yakin Prabu sudah ada di sana. Tanpa banyak basa-basi, bahkan sengaja tidak menyimpan tas lebih dulu, aku segera menaiki tangga ke rooptop. Dan akhirnya, dugaanku salah.

Tempat ini sama kosongnya dengan bangunan di bawah. Tidak ada sosok berkulit pucat yang menduduki kursi seperti biasa. Tidak ada laki-laki berseragam hitam yang selalu menatap lalu lalang kendaraan. Tempat ini kosong, seolah tak pernah ada yang mengunjunginya.

"Prabu, keluar!" Pertama kalinya aku menyebut nama Prabu selantang ini. Saat napasku sedang kencang-kencangnya menderu, suara burunglah yang menyahut panggilanku.

"Prabu, lo di mana? Jangan sembunyi! Tolong keluar!" Lagi, aku berteriak lebih keras. Membuat beberapa burung yang hinggap di tepi rooftop beterbangan entah ke mana. Mungkin mereka terganggu karena suaraku. Atau mungkin deru angin yang kencang memaksa mereka untuk tidak lagi berada di tempat ini.

Aku refleks menutup muka dengan mata terpejam. Begitu angin reda dan suasana kembali tenang, barulah aku membuka mata.

"Arini, kamu mencari saya?"

Aku berbalik begitu suara Prabu terdengar di telinga. Dengan tergesa, langkah kakiku menuju ke arahnya. Seketika aku menyentuh wajah Prabu, meraba seragam hitamnya, bahkan sampai memeriksa kedua lengannya.

"Arini, kamu--"

Ucapan Prabu terhenti karena aku tertawa cukup keras. Membuat kedua alis Prabu menyatu, tapi tak lama terlihat miris menatapku.

"Lo tau gak apa yang udah gue pikirin tentang lo?" Prabu diam dan aku kembali melanjutkan dengan napas terengah, "gue mikirnya lo itu adalah Kana yang meninggal sepuluh tahun lalu. Tapi masa iya, sih? Jelas-jelas lo ini manusia. Buktinya gue bisa sentuh lo, 'kan? Dasar payah. Cuma gara-gara satu cowok yang mirip banget sama lo, gue sampai mikir yang bukan-bukan."

"Itu benar, Arini."

Apanya yang benar?

"Apa yang kamu pikirkan tidak salah sedikit pun. Saya adalah Kana, laki-laki yang meninggal sepuluh tahun lalu di tempat ini."

Jantungku terasa tak lagi berdetak. Deru napasku terhenti seketika. Omong kosong apa ini? Apa Prabu sedang bercanda? Kalau memang iya, ini sungguh tidak lucu.

"Maafkan saya, Arin. Maafkan saya. Kalau mau tahu, cuma kamu satu-satunya orang yang bisa melihat bahkan menyentuh saya. Kamu tahu kenapa? Karena kita memiliki nasib yang hampir sama. Sehingga saat kamu nyaris bunuh diri, saya merasa terpanggil untuk menyelamatkan kamu. Kamu tau, 'kan? Saya tidak ingin ada Prabu Kana selanjutnya yang tewas di tempat ini."

Aku refleks membekap mulut, mati-matian menahan teriakan. Kedua mataku melotot, lalu aku mundur dan menjauh dari Prabu. Cerita ini benar-benar aneh. Apakah ini halusinasi? Apakah aku tengah bermimpi? Kalaupun iya, tolong bangunkan aku sekarang. Aku tidak suka alur mimpi seperti ini. Membuatku bingung sekaligus ketakutan.

LostWhere stories live. Discover now