33. Kebenaran yang Terungkap

3 6 0
                                    

Apa aku yang tidak memahamimu atau malah sebaliknya?

* * *

Aku masih terus mendengarkan. Takjub dengan kebenaran yang baru terungkap. Kerena sudah kepalang tanggung, aku tidak akan pergi begitu saja sebelum cerita menarik ini selesai. Kalau momentum besar seperti ini dilewatkan, alangkah sayangnya.

"Kasus Pak Irawan udah tuntas, beliau berhasil mengembalikan nama baiknya lagi. Sekarang udah gak ada lagi yang menghina Arin."

"Usaha lo gak sia-sia, Bro." Nawan mendekat, menepuk pundak Abhi dua kali. "Tapi orang tua lo tau gak kalau lo bayar Pak Hamdan buat selesaiin kasusnya Pak Irawan?"

"Tau."

"Respon mereka gimana?"

"Biasa aja, sih. Secara udah dari awal gue buat perjanjian sama mereka. Kalau benar Pak Irawan terbukti gak bersalah, gue dibolehin lagi balikan sama Arin. Dan mereka ngebebasin gue buat lakuin usaha apa pun untuk membuktikannya."

"Terus kapan lo mau terus terang sama Arin? Gak mungkin, 'kan, selamanya kalian begini? Sejauh ini aja Arin udah keliatan benci banget sama lo."

Abhi sempat terdiam beberapa detik sebelum Gilang mendekat dan merangkul bahunya. Laki-laki yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari Abhi bertanya, "Mau gue bantuin gak buat ngomong sama Arin?"

"Gak usah dulu, Lang. Gue mau usaha sendiri dulu. Kemarin aja gue lancar pas minta putus sama dia. Masa ngejelasin aja gak bisa?"

Gilang tak menjawab. Selain tersenyum, dia hanya menepuk bahu Abhi beberapa kali.

"Kalau Arin gak percaya sama alasan lo gimana, Bhi?" Nawan tiba-tiba bertanya.

"Just give up and accept reality," jawab Fahmi yang santai memangku gitar.

"Tapi gue percaya lo bisa," sambung Gilang membuat Abhi tersenyum kemudian.

Inikah akhir dari cerita menarik itu? Kedua lututku seketika lemas oleh fakta yang baru dipaparkan. Bahwa Abhi telah berbuat sejauh ini untuk membantuku. Juga bersikeras membayar Pak Hamdan--si pengacara terbaik--agar kasus papa mudah dimenangkan.

Tidak. Abhi benar-benar sudah gila. Dari sekian banyak manusia di dunia, aku tak berharap Abhi ada di belakangnya. Aku sudah kepalang membencinya. Kalau ternyata dia memang sebaik itu, apakah aku harus kembali menerimanya?

* * *

"Arin, cupcake-nya sudah siap belum?"

"Eh, udah, Ma." Aku gelagapan, tapi dengan cepat mengubah raut wajah saat kehadiran Mama menghentikan lamunan. Puluhan cupcake tertata rapi di atas meja setelah diberi topping berbagai rasa, lalu dimasukkan ke dalam kotak khusus dan siap diantar ke pembeli langganan.

"Kamu beneran gak mau Mama temenin, Rin? Padahal Mama lagi luang, lho." Mama menawarkan hal yang sama. Seingatku, sudah tiga kali dia bertanya.

"Iya, Ma, beneran. Mama istirahat aja dulu. Atau siapin makan malam buat kita nanti. Aku lagi kepengen ayam kecombrang buatan Mama."

Mama tertawa, lalu mengelus pipiku sebentar. "Mama khawatir sama kamu. Sepulang sekolah tadi, kamu keliatan kurang baik. Kenapa? Ada masalah di sekolah? Masih ada yang suka ngatain kamu, ya?"

"Bukan, Ma."

"Terus kenapa? Cerita sama Mama, Rin."

"Aku udah tau siapa yang bayar Pak Hamdan buat kita, Ma."

"Hah? Siapa, Rin, siapa? Kasih tau Mama sekarang. Mama mau ketemu sama orangnya."

"Orang itu ... Abhi, Ma."

LostWhere stories live. Discover now