30. Terlalu Menuntut

6 5 0
                                    

Hidup memang tidak akan pernah terasa adil jika kita terlalu banyak menuntut.

* * *

Aku tergesa menyusul Prabu yang turun lebih dulu. Bergerak secepat hantu, sosoknya menghilang dan tak dapat ditemukan. Selagi mengawasi keadaan sekitar, sebuah tepukan kecil mendarat pada bahuku.

"Maaf, Nak. Lantai ini baru saja Bapak pel, jadi masih licin."

"Eh, iya, Pak. Maaf," ucapku kepada Pak Karun yang tersenyum simpul.

Aku menoleh ke lain arah, berusaha mencari Prabu jika keberadaannya masih berada di sekitar sini. Namun, laki-laki ini benar-benar menghilang. Tanpa meninggalkan bayang, tanpa jejak yang kutemukan.

"Em, Pak--lho, Pak Karun pergi ke mana, ya?" Aku menghela napas. Pak Karun juga ikut menghilang sewaktu aku hendak menanyakan tentang Prabu.

"Rin, lagi cari apa?"

Suara lain yang datang dari arah belakang menarik atensiku kembali. Kali ini bukan pria setua Pak Karun, tapi remaja tinggi berambut hitam. Pada pelipisnya, butir keringat tampak menetes seakan memperlihatkan ia begitu kelelahan.

"Bukan urusan kamu." Aku berniat pergi, tapi Abhi berusaha memanggil sekali lagi.

"Aku cuma mau ngobrol baik-baik sama kamu. Masa gak bisa?"

"Enggak. Urusan aku banyak, gak sempat buat ngobrol." Aku meninggalkan Abhi yang masih menatapku dengan raut bingung. Sebenarnya aku tidak sesibuk itu sehingga tak sempat menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Akan tetapi, aku masih kesal kepadanya, dan melihat wajahnya bukanlah pilihan yang benar.

Namun, laki-laki penggila Matematika ini tidak menyerah. Menyusul langkahku, ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Tadi liat gak pas aku duel basket sama Gilang? Sumpah, ya, Rin. Ini suatu kebanggaan karena untuk pertama kalinya aku bisa kalahin dia. Kamu gak ada niatan buat ucapin selamat gitu, Rin?"

"Enggak, gak penting soalnya."

Abhi terdiam dan menelan senyum yang hendak ia keluarkan. Melalui ekor mata, aku menemukan dia yang melirik ke arahku.

"Eh, bukannya mereka udah putus, ya? Kok masih jalan bareng?"

Nyaris kakiku berhenti hanya karena seseorang membicarakan aku secara terang-terangan. Tapi aku lupa kalau yang berdiri di sebelahku adalah Abhi si baik hati. Sehingga belum sempat aku menyumpal mulut mereka dengan kepalan tangan, Abhi buru-buru membawakku pergi.

"Abaikan aja, Rin. Jangan ditanggepin," ucapnya menenangkan, "tadi kamu ngapain, sih, sendirian di rooftop? Gak lagi berburu hantu seperti niat kamu waktu itu, 'kan? Soalnya Gilang dan Nawan udah sempat ke sana, tapi katanya gak ada apa-apa."

Abhi sudah kehilangan kewarasan sampai tidak melihat Prabu yang berdiri di sampingku waktu itu. Dan aku pikir kegilaannya akan berhenti di situ, ternyata tidak. Kalimat berikut yang ia lontarkan malah terdengar semakin gila.

"Aku cuma cemas pas liat kamu sendirian di sana. Mungkin aja lantainya licin. Kalau gak hati-hati, kamu bisa jatuh, 'kan? Lain kali kalau mau liat pemandangan dari sana, ajak teman bisa. Jangan sendirian kaya tadi."

Aku tertawa tepat ketika Abhi selesai bicara. Derai itu membuat dahinya berkerut bingung. "Kamu lupa, ya, kalau aku udah gak punya teman? Semuanya udah pergi, Bhi, termasuk kamu."

* * *

Pernahkah aku mengatakan bahwa sosok Arini yang sekarang sedikit membenci keramaian? Kalau jawabannya pernah, maka lihatlah apa yang kulakukan sekarang.

Mati-matian aku membujuk diri untuk pergi. Akan tetapi, perut rata ini tidak berhenti mengeluarkan bunyi sialan itu. Aku kelaparan bahkan sebelum jam istirahat dimulai. Untuk itulah mengapa aku di sini sekarang. Usai memesan sepiring mi goreng dan segelas teh manis, aku mencari salah satu kursi yang bisa kududuki.

"Rin, sini!"

Kepalaku berpaling ke sebuah arah hanya untuk mendapati Nawan yang tengah melambaikan tangan. Senyum lebar tercetak di bibirnya. Bukan karena itu aku menatapnya lama, tetapi sedang memastikan bahwa Abhi memang ada di sana.

Berikut aku hanya tersenyum dan mengangguk singkat. Tidak sudi rasanya duduk semeja dengan mantan. Jadinya kuputuskan untuk melangkah ke lain arah.

Ya, kursi kosong itu berhasil kutemukan. Sewaktu sedang menyeruput mi goreng pedas, seseorang malah duduk di depanku dengan santai. "Kok nolak pas Nawan ajak gabung, Rin?" tanya Gilang yang menggoyangkan gelas berisi es batu hingga menimbulkan suara seperti musik.

"Males, ada Abhi di sana," jawabku jujur, "dan lo kok malah ke sini? Gak gabung sama mereka juga?"

"Enggak, males ada Abhi."

Demi jawaban yang Gilang lontarkan, aku melotot dan spontan menatap matanya. Laki-laki tinggi itu tampak santai menghabiskan sisa jus jeruk hingga suara berisik terdengar. "Kok gitu? Lo marahan sama Abhi?"

"Entahlah, Rin. Gue juga gak tau. Intinya setelah duel pagi tadi, hubungan gue dan Abhi udah gak baik-baik aja."

"Memangnya duel kalian karena apa, sih? Apa Abhi gak mau ngasih contekan PR buat lo?"

"Bukan itu, Arin," Gilang sedikit tertawa, "tapi karena dia gak mau jawab pas gue tanya."

"Memangnya lo nanya apa ke dia?"

"Alasan dia putusin lo."

Aku menyesal karena memaksa menjadi sosok yang ingin tahu segalanya. Alhasil, aku terluka karena pertanyaanku sendiri. Memangnya karena apa lagi Abhi mengakhiri hubungan ini selain dia malu memiliki pacar sepertiku? Jika bagiku hanya hari Rabu yang membawa sial, maka baginya setiap hari akan mendapatkan sial jika kita masih bersama.

"Dasar bodoh! Harusnya lo gak perlu ngelakuin ini." Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang. Intinya, aku marah kepada Gilang.

"Terus gue harus diam aja gitu pas tau lo diginiin sama temen gue sendiri? Gue gak bisa diam kaya lo, Arin. Gak bisa. Kalian ini sama-sama temen gue. Jadi gue berhak nuntasin masalah ini."

"Dan kalau lo udah tau alasannya lo mau apa? Mau memperbaiki semuanya? Mau maksa Abhi buat balikan? Bahkan kalau gue memiliki peluang itu, gue pasti gak bakalan mau. Karena buat gue, apa pun yang yang udah jadi milik gue pasti bakalan gue jaga dengan baik. Tapi sekali dia memilih pergi, gue pasti lepasin dan gak bakalan ngeharepin dia lagi."

Mulut Gilang terkatup rapat karena penjelasan yang teramat panjang. Matanya menatap ke dalam gelas, di mana es batu telah mencair. Akan tetapi, aku tahu dia mendengarkan dan berusaha memikirkan jawaban apa yang harus diutarakan.

Sebelum dia sempat bicara, aku kembali berkata. Kali ini dengan intonasi sedikit lebih rendah dari sebelumnya. "Gue ucapin terima kasih banyak atas kebaikan lo, Gilang. Gue bersyukur karena Tuhan masih sisain satu orang baik di dunia ini buat gue. Tapi hal-hal semacam itu gak perlu lo lakuin. Gue emang terluka, tapi gue berani buat bilang kalau ini masih gak ada apa-apanya ketimbang hal lain yang udah gue alamin."

"Tapi, Rin, gue merasa ini gak adil buat lo." Gilang masih berusaha membantah.

"Biarin ajalah. Hidup memang gak bakalan pernah terasa adil kalau kita terlalu banyak menuntut." Aku tersenyum, tapi Gilang tidak. Berani kukatakan bahwa dia adalah sosok pemarah yang berbahaya. Dan aku tidak menduga bahwa Abhi adalah sasaran berikutnya.

* * *

LostWhere stories live. Discover now