19. Anak Gadisnya Papa

3 4 2
                                    

Selagi hidupmu masih di atas tanah, maka jangan pernah bersikap setinggi langit.

* * *

"Beberapa hari lalu, saya menjenguk ayah kamu di sel. Kamu tau, dia terlihat begitu menyedihkan. Kasihan, karena perbuatan kotornya, masyarakat menganggapnya sebagai sosok yang begitu rendah. Tapi saya senang. Setidaknya orang-orang di luar sana mempunyai pikiran yang sama seperti saya."

Obrolan itu bergulir seiring dengan emosi yang mati-matian kupendam. Kali ini, aku terpaksa bersabar demi sebuah jawaban. Penjelasan dari pertanyaan karena apa wanita tua ini menemui menantu tunggalnya di penjara. Apa pun itu, firasatku mengatakan bahwa itu bukan sesuatu yang baik. Karena di mana pun wanita ini melangkah, dia pasti akan meninggalkan kesialan pada setiap bekas jejak kakinya. Untuk itu aku sedikit risau, akankah kesialan itu ditinggalkannya juga di rumah ini?

"Waktu itu saya sempat menawarkan beberapa pilihan. Saya bisa saja mengeluarkan dia dari penjara, asalkan dia mau menceraikan Mila. Tapi dia menolak, siap membusuk di penjara asalkan Mila tetap menjadi istrinya. Bukankah dia begitu payah?"

Dalam jarak yang hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca berbentuk persegi panjang, aku bisa melihat wajah tua itu dengan jelas. Beberapa keriput menghiasi sekitaran dahinya, lebih banyak lagi pada sudut mata. Jika dilihat sekilas dari kulitnya yang putih bersih, siapa pun pasti akan menyangka bahwa sosok ini adalah seorang tua yang lembut hatinya. Merupakan tipikal Nenek penyayang cucu.

"Dan, ya, saya tidak menyangka kalau Irawan memang sebodoh itu. Saya pikir dia hanya miskin harta, tapi ternyata dia juga miskin solusi. Pikirannya begitu dangkal untuk memahami penawaran yang saya berikan. Alhasil, dia memilih mati di penjara dan meninggalkan anak istrinya dalam kesusahan."

"Lalu?" Aku bertanya usai memastikan Mama masih terlalu sibuk di dapur dan tidak mendengar pembicaraan kami.

"Menurutmu apa? Saya terpaksa memasuki rumah ini hanya untuk mengatakan bahwa saya menginginkan Mila kembali. Saya akan menjemputnya. Hanya Mila," senyum sinisnya terbit, "seorang diri."

"Ibu, Mila gak mungkin tinggalin Arin di sini. Dia ini anak Mila, Bu. Arin harus ikut ke manapun Mila pergi. Mas Irawan udah berpesan bahwa Mila harus selalu menjaga Arin."

Wanita tua itu tampak kaget karena kemunculan Mama yang tiba-tiba. Sembari mengikuti gerakan tangan Mama yang meletakkan segelas teh hangat dan sepiring kukis di meja, wanita itu lekas memperbaiki cara duduk agar tegak kembali. "Tapi Ibu cuma perlu kamu. Ibu gak sudi menampung anak Irawan ini. Kalau kamu memang sayang benar dengan dia, kamu bisa terus mengirimi dia uang, atau bahkan menjenguknya di sini sesekali. Tapi jangan pernah ajak dia ke rumah Ibu."

Kedua tanganku terkepal, tapi Mama langsung mengelusnya dengan sayang. "Tidak, Ibu. Tanpa Arini, Mila juga gak akan pergi. Di umur segini dia udah kehilangan papanya. Mila gak mau membuat Arin semakin terluka," putus Mama dengan tegas.

"Dan berikut kamu juga akan kehilangan segalanya. Lihatlah baik-baik, temukan satu saja barang berharga yang ayahnya tinggalkan untuk kamu bertahan hidup. Tidak ada, Mila. Rumah ini juga kecil dan murah. Jangankan sebuah mobil, sepeda motor rusak saja tidak ada. Sosok Irawan masih dan akan selalu miskin, Mila. Sampai kapanpun dia tidak akan mampu biayain kamu. Lagi pula akhir-akhir ini kamu tidak ada pemasukan, bukan? Jadi ikutlah dengan Ibu. Selain kamu bisa hidup enak, anakmu ini juga akan terjamin kesenangannya. Tentu saja dengan uang berlimpah yang bisa kamu berikan. Karena sepertinya anak ini belum pernah merasakan menjadi orang kaya jika ayahnya masih ada."

"Cukup, ya! Udah cukup Anda menghina papa saya. Kalau kedatangan Anda cuma untuk mengatakan hal buruk, mendingan Anda angkat kaki dari sini!"

"Ah, lihatlah, Mila! Pantaskah dia disebut sebagai anak yang baik? Bicaranya saja sekasar itu. Apa kamu tidak pernah mengajarinya sopan santun?"

"Arini, jangan seperti ini, Nak. Kamu gak boleh bicara kasar." Di sampingku, Mama ikut berdiri dan segera merangkul bahuku dengan erat. Aku tahu kalau sebenarnya Mama paham dengan amarahku. Tapi untuk menghormati Ibunya, Mama berusaha bersikap sesopan ia yang bisa. Namun, itu tidak berlaku untukku. Jika Mama bisa memintaku untuk bicara baik-baik kepada Ibunya, maka aku juga bisa memaksa wanita tua itu agar berbicara baik tentang papaku.

"Aku bakalan menghormati mereka yang mau menghargai keluarga kita, Ma. Papaku dihina dan direndahkan oleh mereka yang merasa dirinya selalu di atas. Padahal dia lupa bahwa roda kehidupan akan selalu berputar. Dia lupa masih ada Tuhan yang mampu mengatur segalanya. Saat mulutnya dilatih hanya untuk berkata buruk, maka aku yakin suatu hari nanti Tuhan akan menunjukkan kekuasaannya. Tapi, Mama, aku ini adalah anak gadisnya papa. Aku terluka saat papaku dikatai bahkan sebelum tanah di kuburannya mengering. Aku tidak terima, Mama! Jadi katakan salahku di mana? Apa salah jika aku mempertahankan harga diri papa?"

"Drama!" Wanita itu mencemooh, memandangiku tidak suka. "Jangan bawa Tuhan dalam masalah ini. Memangnya tahu apa kamu tentang kekuasaan-Nya? Kamu ini masih terlalu muda untuk tahu semuanya. Jadi jangan terlalu bersikap seolah kamu paham segalanya." Usai mengataiku untuk kesekian kali, kepala Nenek kesayanganku ini mengarah ke arah Mama. Dia menghela napas dan berkata, "Pikirkan penawaran Ibu baik-baik, Mila. Pilih keputusan yang menurut kamu benar, tapi jangan sampai kamu ikut bunuh diri seperti suamimu itu. Dan kamu," dia menatap ke arahku lagi, "perlukah saya mencari seorang guru yang bisa mengajarimu cara untuk mengendalikan amarah? Jujur, saya muak melihatnya. Karena sikap seperti itu terlalu hina bagi anggota keluarga kami."

Pintu rumah terbuka lebar sewaktu angin memasukinya. Dengan beberapa ketukan sepatu dan cara berjalan yang anggun, wanita tua itu akhirnya lenyap dari pandanganku.

"Arini, Mama mau bicara sama kamu."

"Tidak buat sekarang, Ma. Arini capek menghadapi Ibunya Mama."

Aku meninggalkan Mama yang mematung di ruang kosong dengan seribu kenangan. Jika pendengaranku benar, sayup-sayup tangisan menyedihkan itu terdengar. Aku tahu Mama membutuhkan pelukan. Namun, aku belum mampu memberikan apa yang dia inginkan.

* * *

LostWhere stories live. Discover now