9. Gadis Buas

5 7 0
                                    

Jika ada yang harus dihukum mati, maka itu cocok untuk mereka yang menghakimi tanpa bukti.

* * *

Hari Rabu ini, kelas pertamaku diawali dengan Matematika. Dua hari lalu, Bu Dini menutup pelajarannya dengan pesan bahwa hari ini akan diadakan ulangan. Bu Dini itu terkenal garang dan tegas. Dalam belajar, jelas tak ada kata bermain-main di sana. Bahkan, sejak pertama kali memasuki SMA Angkasa hingga detik ini, aku belum pernah melihat Bu Dini tersenyum walau untuk sekali. Bu Dini terlalu datar teruntuk umurnya di ujung tiga puluh tahunan. Namun, dirinya sangatlah cocok dengan pelajaran yang dipegangnya, Matematika.

Malam tadi aku berusaha belajar mati-matian. Aku tidak mempunyai otak secerdas Abhi yang mampu melewati setiap halang rintang dalam Matematika. Karena kesadaran itulah, membuatku enggan melepaskan buku catatan Matematika hingga guru tiba.

Seisi kelas berdebar hanya karena ketukan sepatu Bu Dini yang semakin jelas terdengar. Ketukan itu semakin nyata seiring dengan debaran yang seketika lenyap, hilang entah ke mana. Bu Miki, pengajar pelajaran Bahasa Indonesia memasuk kelas. Dia memberikan pesan bahwa hari ini Bu Dini berhalangan hadir karena suatu alasan. Kompak kelas kami dipenuhi oleh gelak tawa. Membuat Bu Miki sejenak menggelengkan kepala. Guru itu lantas berpesan agar kami mampu mengisi kelas kosong dengan hal-hal yang positif. Kemudian, dia pun pamit pergi.

Tawa dari penghuni kelas kini terdengar lagi. Banyak di antara mereka yang bersyukur karena ketidakhadiran Bu Dini. Beberapa lainnya, turut merutuki karena harus belajar maksimal malam tadi. Di sini aku berada pada pelajar golongan kedua. Karena sebab itulah, aku seharusnya berada di sana dan bergabung bersama mereka. Aku bisa membagi cerita tentang kegiatan belajarku malam tadi. Susah senangnya, mudah payahnya, mestinya aku bisa. Namun, setinggi apa pun aku berharap, aku akan selalu dijatuhkan ke lantai paling dasar. Kejadian dua minggu lalu di hari Rabu, nyatanya mengubah seluruh hidupku.

Apa pun itu, kuputuskan untuk selalu bersyukur dalam hati. Ternyata, Tuhan masih memberikan kebahagian di hari Rabu yang memuakkan ini. Tuhan tahu bahwa aku sendiri, tak lagi mempunyai Saras yang bisa kutanyai saat ulangan Matematika berlangsung nanti. Gadis itu sudah terlalu sibuk dan jauh. Bahkan untuk menoleh ke arahku saja, dia tak lagi mempunyai kesempatan.

Aku menghela napas sembari membereskan buku dan menyimpannya lagi ke dalam tas. Untuk beberapa waktu ke depan, hidupku akan berlangsung tenang. Aku sungguh berdoa agar Tuhan tidak mengirimkan kesialan apa pun bentuknya. Aku ingin bahagia. Setidaknya, untuk hari Rabu ini saja.

"Sil, kawanin Arin tuh. Kasian Arini sendiri."

Spontan aku menoleh ke sumber suara, mendapati Amanda yang tertawa karena ucapan menyebalkannya.

"Ogah, ah. Takut dosa. Kan papanya koruptor," sambung Sisil terkekeh geli.

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada otak dua manusia ini. Sejak kemarin, mereka selalu senang mengejekku, mengucapkan ribuan kata hina, lalu tertawa girang setelahnya. Apa amarahku pada Amanda dan Sisil sudah menghilang efeknya? Kalau iya, maka aku sudi untuk sekali lagi memberikannya.

"Rin, setelah semua ini, jangan harap kita semua mau temenan lagi sama lo. Kita udah gak sudi, Rin. Saran gue, mendingan lo pindah kelas aja. Itu pun kalau ada yang mau nerima lo lagi."

Sejak dulu hubunganku dengan mereka memang jauh dari kata baik-baik saja. Setiap kali berkumpul, kita akan selalu memikul sekarung amarah pada pundak kami. Tidak pernah ada kata ramah, santai, apalagi setia. Tak ada.

Lalu kenapa juga selama ini aku berada di antara mereka? Jawabannya adalah Saras. Aku ikut gabung dan berkumpul hanya jika Saras ada di sana. Takut jika aku tak ada, maka Saras akan diperlakukan dengan semena-mena. Sekarang, entah saraf apa yang terputus di otak Saras hingga ia berubah sebodoh ini. Saras menjauhiku, melupakanku, dan menganggapku seolah tak pernah ada dalam buku kehidupannya. Setelah apa yang telah terjadi, Saras mencampakkanku begitu saja.

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kalau kelakuan bapaknya selicik itu, pasti bakalan nurun juga ke anaknya. Bener, 'kan?"

Seisi kelas setuju, semangat menyeru-nyeru ucapan Amanda. Selagi perhatian berpusat ke arahku, sumpah serapah untuk keluargaku pun terdengar.

Mereka sungguh lancang.

"Bapak lo itu tikus negara, Rin. Dia itu koruptor! Udah berapa banyak duit perusahaan yang dia makan? Apa dia gak bisa mikir kalau ada gaji karyawan kelas bawah yang dia ambil? Seharusnya orang seperti bapak lo itu dihukum mati. Sampah negara! Ini maunya negara maju, tapi kalau orang semacam itu masih ada, impossible kita bakalan bahagia."

"Setuju, Amanda! Ini gue malah heran kenapa hakim gak langsung putusin hukuman buat bokapnya? Kenapa juga harus ditunda ke sidang kedua? Malah bikin muak tau gak? Bikin kesel juga. Apalagi anaknya ada di kelas kita. Kaya berasa seisi kelas itu jadi neraka."

Perkataan Sisil juga disambut dengan baik. Aku mengedarkan pandangan, mendapati seisi kelas yang menatapku dengan garang. Seolah akulah penjahatnya. Seolah akulah penyebab rusaknya seisi dunia. Berapa kali harus kukatakan? Papaku bukan koruptor! Tak ada uang haram yang dimakannya. Tidak sebutir nasi pun yang masuk ke perut kami dihasilkan dari aksi mencurinya. Papaku bukan sampah negara! Bahkan, jika ada yang harus dihukum mati, maka itu cocok untuk mereka yang menghakimi tanpa bukti.

"Mati aja, Rin! Dasar licik! Sukanya ngambil duit orang!"

Silih berganti, mereka balas mengataiku dengan penuh emosi. Mereka yang dulunya kuanggap teman, kini berubah menjadi penyerang. Aku dihamiki, diletakkan pada sudut paling belakang. Aku dibuang untuk kemudian ditinggalkan. Namun, aku adalah Arini. Aku tidak sebodoh dan sepenakut yang kalian kira. Jika ada definisi lain dari kata nekat, maka akulah jawabannya. Aku berdiri dan melemparkan botol minuman yang kuambil secara asal ke arah dinding tepat di belakang Amanda. Botol itu pecah, tak hanya membuat kelas basah, tapi juga menyumpal seluruh derai tawa. Kalau aku mau, aku bisa melukai Amanda saat itu juga. Tapi aku sengaja tidak melakukannya. Karena untuk balas menyakiti, aku butuh kekuatan dari tanganku sendiri.

Dari sudut mata, aku mendapati Saras yang berdiri dan menatap ke arahku. Kalau tak salah, aku menemukan sorot kekhawatiran di sana. Namun, Saras tak lagi menjadi kelemahanku. Gadis buas ini sudah terlalu terluka, dan kini aku butuh pelampiasannya.

"Arin, lo udah gila, ya?" sergah Amanda usai menatap pecahan botol yang nyaris mengenainya.

"Belum, gue belum gila," jawabku menggeleng tegas. Perlahan-lahan, aku berjalan ke arahnya. "Mau liat kegilaan gue sesungguhnya? MAU LIAT, AMANDA?"

Tak perlu jawaban dalam bentuk apa pun, aku mencengkam dagu Amanda hingga membuatnya menengadah kesakitan. Dia berteriak tak jelas, berusaha melepaskan tanganku dari wajahnya. Menemukan Amanda dalam kesusahan, Sisil berusaha membantu. Namun, aku lebih dulu menjambak rambutnya dan mendorongnya hingga membentur meja. Saat semua kelas panik karena ulahku, Saras pun maju dan berdiri di sampingku.

"Stop it, Rin .... Jangan kaya gini."

* * *

LostWhere stories live. Discover now