15. Menunggu Kabar

2 4 0
                                    

Rasa ini semakin besar dan aku takut tenggelam bersamanya.

* * *

Sudah dua jam hujan turun dengan curah tinggi, membasahi kota dan sekitarnya. Aku duduk sendirian pada teras rumah seraya menatap jalur air berbentuk tirai yang berjatuhan dari atap. Di luar gerbang sana, beberapa anak kecil yang mendiami kompleks ini terlihat berlarian. Sesekali mereka menendang bola, lalu tertawa sewaktu benda bulat itu gagal mengenai sasaran yang diinginkan.

Aku ikut tertawa saat melihat mereka. Bayang-bayang masa kecilku terlintas. Ketika aku bermain bola sewaktu hujan bersama papa, sementara mama sibuk meneriaki kami untuk segera masuk. Waktu itu mama mengomeli papa habis-habisan. Tak tahu saja dia, bahwa akulah yang memaksa papa menemaniku bermain bola. Setelah kupikir-pikir, ternyata aku juga sempat melewati hari-hari indah bersama papa. Untuk saat ini, akankah kami bisa kembali melakukannya?

"Hujannya awet banget, Rin."

Aku spontan menoleh hanya untuk mendapati Mama yang berjalan ke arahku. Pada sebuah meja rotan yang memisahkan kita, nampan berisi sepiring pisang goreng dan dua cangkir kopi panas diletakkan.

"Iya, Ma. Mudah-mudahan aja gak sampai banjir," harapku.

"Aamiin," sambungnya usai mengangsurkan segelas kopi panas. "Tanggal 17 nanti sidang kedua papa akan diadakan. Doain semoga lancar, ya."

"Tanggal 17 itu hari Rabu bukan?"

"Iya. Semoga nantinya papa terbukti enggak bersalah dan bisa kembali lagi ke rumah. Mama rindu banget sama papa soalnya."

Aku juga. Di hati paling dalam, aku sangat menginginkan papa pulang. Aku tak masalah jika harus dimarahi karena ketahuan diantarkan Abhi ketika pulang sekolah. Walau ada hukuman yang harus kuterima, aku bisa menerimanya dengan lapang dada. Asalkan itu bisa membuatku kembali memeluk papa seperti masa kecil dulu. Karena di sore yang basah ini, aku baru menyadari kalau papa adalah sosok yang begitu berharga. Dan semoga saja di hari Rabu mendatang, kesialan semacam itu tidak menimpaku. Biarkan untuk sekali saja. Biarkan aku kembali merasa bahagia.

* * *

Janganlah kautinggalkan diriku
Tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku kau begitu
Sempurna ....

"Rin, kamu kenapa? Suaraku gak bagus, ya?"

Aku tersentak sewaktu tepukan kecil terasa di lengan kananku. Manik yang tadi tertahan entah di mana, kini mencari wajah Abhi dengan segera. "Eh, kenapa, Bhi? Lagunya udah selesai, ya?"

Abhi menghela napas panjang. Dengan kedua ujung alis yang saling bertemu, ekspresi wajahnya berubah tak menentu. "Kamu gak dengerin aku nyanyi, Rin?"

"Oh, sorry-sorry," aku meringis seraya menggaruk pangkal hidung yang terasa gatal, "aku lagi banyak pikiran. Makanya gak fokus pas kamu nyanyi." Karena tidak ingin berbohong, aku pun mengatakan hal yang sebenarnya. Sekarang ini, kepalaku memang sedang dipenuhi oleh banyak masalah. Ibarat ruang kosong, tapi ada begitu banyak suara yang tidak aku temukan di mana asalnya. Aku berusaha mencari, tapi ternyata aku kelelahan seorang diri. Suara itu bertambah ramai, bahkan terlalu muak untuk didengar.

"Emangnya kamu lagi mikirin apa? Bu Dini kasih PR Matematika, ya?"

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Abhi. Apakah aku terlihat sebodoh itu di matanya sehingga PR Matematika bisa membuatku sepusing ini? Harusnya aku tekankan kepada Abhi bahwa aku tidak sepayah itu. Dia memang lebih pintar dariku. Tapi setingkat PR Matematika tentu tak pernah membuatku sekacau ini. "Ck, bukan. Hari ini papa sidang kedua. Aku cemas nunggu kabar dari mama."

"Oh, jadi begitu." Abhi tak lagi memperpanjang obrolan. Pagi ini, kami sengaja datang lebih awal hanya untuk menghabiskan jam di sebuah taman dekat gudang. Abhi membawa gitar, lalu menyanyikan sebuah lagu yang katanya paling romantis sedunia. Kalau tidak sedang mencemaskan kasus papa, pasti aku akan ikut bernyanyi bersamanya. Lantaran suara Abhi itu indah, dan aku juga jatuh cinta kepadanya.

Puas memetik satu dua senar secara random, Abhi kembali membuka suara. "Semoga hari Rabu ini berjalan baik-baik aja, ya, Rin. Semoga kamu bahagia dan gak ada kesialan yang menimpa. Aku sayang kamu, Arin."

Aku tersenyum begitu Abhi selesai berkata. Tanpa perlu kujawab pun, Abhi pasti sudah tahu betapa aku juga mencintainya.

Kelas pertama akhirnya tiba. Aku memasuki kelas di lantai dua, sementara Abhi perlu melewati satu belokan koridor lagi untuk mencapai kelasnya. Baru semenit aku menjatuhkan bokong pada kursi, Bu Dini masuk diiringi oleh ketukan sepatu.

Guru wanita itu menyapa, lalu menyuruh kami berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Tanpa berlama-lama, ia meminta tolong kepada Amanda untuk mengumpulkan buku PR kami. Aku berdecak tanpa suara. Selagi tanganku membuka resleting tas untuk mencari buku, aku mengomel dalam hati lantaran sebentar lagi harus bersitatap dengan Amanda. Sejauh ini, gadis itu termasuk salah satu orang yang kuhindari. Aku malas menatap wajahnya. Membuat perutku mual dan seolah ingin muntah. Aku tidak bercanda, memang inilah kenyataan yang ada.

Namun, kenyataan bahwa sebentar lagi Amanda akan tiba di mejaku tidaklah semengerikan saat aku tahu buku PRku tidak ada di dalam tas. Tak ingin langsung panik, aku pun berusaha mencarinya sekali lagi. Memilah pada sela-sela lembar buku, mencari di semua ruang tas yang kemungkinan ada. Tapi tetap saja, benda bersampul cokelat itu gagal aku temukan.

Astaga, wajahku memanas. Seolah semua darah berkumpul hanya pada mukaku, membuatnya merah seperti tomat begitu Amanda berdiri tepat di sebelahku. Tangannya terulur dan artinya aku harus menyerahkan buku itu kepadanya. Melihatku terus diam dan enggan berkata-kata, Amanda dengan gilanya langsung berteriak, "Bu, Arini gak mau kasih bukunya!"

Fokus Bu Dini pun teralihkan, dari semula sibuk menulis sesuatu, kini menatap ke arahku dan Amanda secara bergantian. "Ada masalah apa, Arini? Cepat kasih bukunya ke Amanda. Supaya bisa saya periksa sekarang," titahnya dengan mata menyorot tajam di balik bingkai kacamata hitam.

"Maaf, Bu. Saya lupa bawa bukunya."

"Ck, alesan. Bilang aja gak ngerjain PR," cetus Amanda seakan-akan aku tengah berbicara dengannya.

"Saya tidak menerima alasan apa pun di kelas ini," Bu Dini angkat bicara, "karena itu kamu saya hukum lari keliling lapangan dan besoknya, saya mau PR tersebut aja di meja saya lengkap dengan latihan pada halaman selanjutnya. Mengerti?"

"Mengerti, Bu. Sekali lagi saya minta maaf."

"Ya sudah, sekarang kamu keluar," titah Bu Dini seraya melirik ke arah pintu kelas.

"Rasain lo!" desis Amanda menahan tawa.

Layaknya Amanda, maka aku juga berusaha menahan kepalan tangan agar tidak melayang di wajahnya. Kalau saja buku itu tidak tertinggal, mungkin saja hari Rabu ini akan berjalan tenang. Dalam hati aku berharap, semoga kesialan ini akan berhenti sampai di sini.

* * *

LostWhere stories live. Discover now