6. Ada Apa Dengannya?

16 9 5
                                    

Apa pun makanannya, minumannya tetap ludah sendiri.

* * *

Berbeda dengan yang lain, aku adalah sosok yang tidak begitu penasaran akan kehidupan seseorang. Aku pantang bertanya tanpa dijelaskan. Karena itulah, aku memutuskan menunggu semuanya dalam diam. Sialnya, Abhi sama sekali tidak mengungkit tentang percakapan pagi tadi hingga detik ini. Sampai makanan kami tandas di atas meja, laki-laki ini masih membicarakan tentang konser kecil-kecilan yang akan mereka adakan saat malam perpisahan tiba.

Siang ini di kantin, aku berkumpul bersama Angkasa Band pada sebuah meja melingkar. Jarang-jarang aku merasakan makan siang yang ramai, dipenuhi gelak tawa, bahkan saling melemparkan candaan ringan pada sesamanya. Semua terasa menyenangkan, berjalan seperti seharusnya. Hingga pertanyaan itu tiba, membuat aura meja terasa berbeda.

"Denger-denger bokap lo ditangkap karena korupsi, ya, Rin?"

Aku terbatuk saat mendapatkan pertanyaan sejelas itu dari Fahmi. Si drumer ini memang suka berbicara terang-terangan dan menghindari basa-basi yang menyebalkan. "Iya, tapi bokap gue gak korupsi, ya. Dia dijebak."

"Hah, siapa yang ngejebak, Rin? Parah banget," timpal Nawan tertarik dengan pembahasan ini.

"Temen kantornya."

Nawan dan Fahmi mengangguk. Membuatku kembali menyeruput milo kotak yang dibelikan Abhi. "Gimana persembahan pas malam perpisahan nanti, Lang? Jadi?" Kali ini aku berusaha masuk ke dalam obrolan mereka. Sehingga Gilang berhenti melamun sebentar untuk kemudian mengacungkan jempol sebelah kanannya.

"Jadi, dong, Rin. Lo ada request lagu gak? Mumpung gue baik hati," tanyanya dengan senyum lebar.

"Gue request-nya nanti aja, deh, sama Abhi."

"Lho, aku, 'kan, gitaris, Rin," sahut Abhi heran.

"Tapi suara kamu, 'kan, bagus. Bolehlah nanti nyanyi solo di panggung. Ya, ya?"

Abhi menggeleng, tak menyetujuinya yang membuatku mendengkus pelan. Pertama kali bertemu Abhi, aku langsung dibuat jatuh cinta dengan suaranya. Waktu itu aku tak sengaja mendengar Abhi bernyanyi sambil memainkan gitar di taman dekat gudang. Namun, sayangnya Abhi masih tidak sesuka itu saat aku memintanya memamerkan suara pada yang lainnya. Permintaanku langsung ditolak seperti sekarang ini.

"Kalau mau denger aku nyanyi, malam nanti kamu bisa ikut aku jalan-jalan. Nanti kita bisa nyanyi bareng, sambil aku ajarin kamu main gitar."

Aku berdecak, berusaha mengabaikan senyum manis Abhi. Aku tidak tahu kenapa laki-laki satu ini selalu meminta permintaan yang sama. Seingatku Abhi tidak sekeras kepala ini orangnya. Aku yakin dia bisa mengerti kondisiku akhir-akhir ini. Namun, kenyataan tak selalu sama seperti yang kuharapkan. Abhi mendadak menjadi laki-laki yang keras kepala. Memaksaku agar meluangkan waktu untuknya.

"Eh, Rin, kok lo udah gak bareng mereka lagi, sih? Biasanya circle temen-temen lo tiga cewek itu, 'kan?"

Tatapanku mengarah ke arah Amanda dan Sisil yang sibuk berganti gaya. Sementara Saras mereka jadikan sebagai fotografer tanpa bayaran. "Mereka udah gak mau temenan sama gue lagi. Kan bokap gue masih di penjara."

"Eh, buset! Ternyata bukan temen bokap lo aja yang gila, tapi temen lo juga. Ya kali temennya lagi susah ditinggalin begini." Nawan menggeleng tak habis pikir, sementara aku hanya tersenyum tipis seolah menerima semuanya dengan lapang dada. Tak tahu saja dia, bahwa di dalam sana ada api yang semakin hari semakin besar kobarannya. Aku tak berniat memadamkannya. Sama sekali tidak. Hingga suatu saat nanti, ketika kobaran api mencapai batas terbesar, maka ia akan membakar semuanya. Dan di sini aku tak tahu, apakah Amanda dan Sisil ikut terbakar? Atau bahkan Saras juga?

"Kasian banget. Padahal baru aja gue suka sama Saras."

Bukan hanya aku, tapi yang lainnya juga menolehkan kepala dengan cepat ke arah Gilang. Laki-laki bertubuh besar dan memiliki tinggi di atas rata-rata itu seolah tak terusik akan tatapan dari kami.

"Ngejilat ludah sendiri, Man? Karena kalau gak salah, lo pernah bilang the girl with glasses is so disgusting. And now? Saras?" Fahmi tertawa yang segera diikuti Nawan di sebelahnya. Mereka tampak begitu bahagia saat wajah Gilang memerah karena marah.

"Biasa aja, dong. Tuhan itu maha membolak-balikkan hati manusia. So, whats wrong if i like her?"

"Lo suka sama dia itu gak salah. Salahnya karena lo kelewat ngomong."

Gilang berdecak sambil menunjukkan bogem mentah ke arah dua temannya. Bukannya ketakutan, mereka malah semakin tertawa sambil sesekali melirik Saras melalui ekor mata.

Spontan aku pun menoleh ke arah yang sama. Saras tak lagi mereka jadikan sebagai fotografer dadakan. Kini ia beralih profesi menjadi pelayan berhati suci. Gadis itu bolak-balik menuju satu stand ke stand lainnya untuk membawakan pesanan Sisil dan Amanda.

"Saras emang suka disuruh-suruh gitu, ya, Rin?" Gilang kembali bertanya seraya menunjuk satu arah dengan dagunya.

Bukan hanya aku, tapi Abhi juga ikut memandangi Saras yang dimintai Amanda membukakan botol minumannya. Sedangkan Nawan dan Fahmi terlihat asyik bermain game pada ponsel dan mengabaikan keadaan kantin yang ramai. "Iya juga, ya. Dari tadi Saras disuruh-suruh mulu sama mereka," komentar Abhi sambil mengunyah permen karetnya sesekali, "kok gitu, Rin?"

"I dont know. Tiap ditanya, Saras gak pernah mau jelasin."

"Gue curiga kalau Saras berhutang sesuatu sama Amanda," ucap Gilang.

"Utang duit dalam jumlah besar?" tebak Abhi.

"Maybe yes. Soalnya mana ada orang yang rela diperbudak kalau gak ada apa-apanya."

Dengan posisi diapit oleh kedua manusia ini, kepalaku berpaling ke kiri dan kanan ketika mereka berbicara secara bergantian. Keningku berkedut, berusaha menyambungkan kecurigaan Gilang dan Abhi dengan sikap Saras selama ini. "Tapi kayanya gak mungkin, deh. Saras itu paling anti ngutang. Kita bayarin minumannya aja, besoknya malah minta gantian dia yang traktir."

"Coba lo tanyain ke dia, Lang, kalau seandainya penasaran banget."

Gilang menatap Abhi dengan sinis. Katanya, "Pdkt aja belum, mana berani gue dateng-dateng langsung tanya masalah pribadinya? Bisa kena gampar nanti."

Abhi tertawa, begitu pun aku. Tetapi aku tahu kalau Saras tidak akan sekasar itu. Memukul nyamuk saja enggan, apalagi memukul seseorang? Hanya saja, Saras tidak akan suka jika ada orang yang memaksa masuk terlalu jauh ke dalam kehidupannya.

Ya, Saras memang setertutup itu orangnya. Dan aku tak yakin, kalau aku juga berhasil membuka pintu rahasianya.

* * *

LostWhere stories live. Discover now