3. Hancurnya Sebuah Hubungan

17 11 15
                                    

Saat aku memberi hati, aku dilukai. Saat aku membiarkannya datang, aku ditinggalkan.

* * *

Aku memasuki kelas tepat ketika bel berbunyi. Hari ini, pelajaran pertama diawali dengan Matematika. Aku lupa memberitahu kalian. Selain hari Rabu, Matematika menjadi hal lainnya yang sangat menggangguku. Berbanding terbalik dengan Abhi yang menyenangi pelajaran berhitung tersebut, aku jelas-jelas membencinya. Sebulan terakhir ini, Matematika seolah menjadi musuh terbesar bagiku. Melihat angkanya saja sudah membuatku pusing, apalagi dituntut menyukainya?

Akan tetapi, degup jantung menghadapi Matematika tidak seganas saat tahu bahwa hari ini aku duduk seorang diri. Ke mana perginya Saras? Apa dia belum datang?

"Lho, Ras? Kok kamu duduk di sana?" Tak lama mencari, aku berhasil menemukan Saras di kursi belakang paling sudut. Dia tengah membaca novel. Sadar aku bertanya, dia lantas meninggalkan bacaannya.

Gadis cantik itu tampak membetulkan gagang kacamatanya sejenak sebelum menjawab, "Aku pindah ke sini, Rin."

"Tapi kenapa?"

"Ya karena dia gak mau deket-deket sama lo lagilah, Arin," sahut Amanda yang tahu-tahu sudah merangkul bahuku.

Aku melirik sinis, lalu menjauhkan tangan Amanda dari bahuku dengan sedikit kasar. "Bener, Ras? Kamu udah gak mau deketan lagi sama aku?" tanyaku lagi masih kepada Saras.

"Yah, masih ditanya lagi. Mikir bisa, 'kan, lo? Mana ada, sih, manusia waras di dunia ini yang mau berteman sama anaknya koruptor? Bisa ketularan jahatnya, dong, nanti."

"Diem, Amanda!" Aku berteriak marah sambil menarik kerah bajunya. Napasku memburu di saat seisi kelas mulai menatap ke arahku. Beberapa di antaranya ada yang bangkit, mungkin berjaga-jaga jika seandainya aku lepas kendali. Di antara mereka semua, aku hanya mengharapkan Saras datang kepadaku. Beruntung, gadis itu hadir di antara keramaian. Ia berusaha melepaskan tanganku dari kerah Amanda yang meringis kesakitan.

"Arin, kamu apa-apaan, sih? Kamu bisa bikin Amanda terluka!"

Apa? Aku tidak salah dengar, 'kan?

Perlahan tarikanku mengendur. Tanpa sadar, air mata mulai menggenangi pelupukku. Aku menatap Saras dengan tatapan tidak percaya. Untuk pertama kalinya, Saras berkata dengan suara sekeras itu kepadaku. Untuk pertama kalinya, Saras menyalahkanku. Untuk pertama kalinya pula, aku tidak melihat sosok Saras-ku yang dulu. Apa ini artinya Saras juga ingin meninggalkanku seperti mereka?

"Aku udah tau tentang berita itu, Arin. Dan maaf banget, kita udah gak bisa temenan lagi."

Aku menggeleng keras. Bukan. Bukan jawaban itu yang ingin kudengar. Aku berusaha meraih tangan Saras. Tapi Sisil sialan itu langsung menepisnya.

"Gak usah sok terluka, deh, Rin. Mendingan lo pikiran cara tuh buat bebasin bokap lo dari penjara." Jika Saras tidak ada di dekatnya, aku bersumpah akan menampar Sisil sekarang juga. "Karena sekarang berteman sama lo itu bukan pilihan yang baik. Kita semua gak mau ketularan jahat kaya bokap lo."

Sisil benar-benar menguji kesabaranku yang setipis lembaran tisu. Dengan langkah pasti, aku mendekati Sisil dan bersiap menampar pipinya. Namun, aku dikagetkan oleh sesuatu yang menahan pergerakanku. Mataku yang berapi, bertembung langsung dengan manik Bu Dini. Guru itu menghempaskan tanganku cukup keras. Membuatku meringis dengan suara tertahan.

"Jangan bersikap kasar di kelas saya, Arini," desis Bu Dini yang sesaat kemudian membuatku kehilangan kata. Aku tak tahu sejak kapan guru ini datang. Dari rautnya, aku yakin dia akan memarahiku sekarang. "Sekali lagi saya melihat kamu mengangkat tangan seperti tadi, akan saya seret kamu ke ruangan BK."

"Bukan salah saya, Bu. Sisil duluan yang ngatain papa saya," kilahku tak mau disalahkan.

"Kalau kalian berdua ada masalah pribadi, selesaikan di luar. Tapi jangam buat keributan di kelas saya. Saya gak suka." Kemudian pandangan Bu Dini jatuh ke arah Sisil yang gemetar. Masih dengan raut tegas miliknya, guru tersebut kembali berkata, "Dan, Sisil, jangan pernah lagi kamu menghina orang lain. Kamu tentu gak akan suka kalau keluargamu direndahkan seperti tadi. Kalau sampai saya mendengar kalimat kotor itu lagi, kamu juga akan saya paksa ke ruangan BK. Sekarang kembali ke kursi masing-masing. Pelajaran kita mulai."

Bu Dini berhasil menghentikan pertengkaranku dengan Sisil. Berhasil pula membuat seisi kelas kembali ke tempatnya masing-masing. Namun, gejolak amarahku tidak bisa dihentikan begitu saja. Karena sampai mati, aku akan terus membencinya.

* * *

Aku membereskan buku dan peralatan tulis yang berserakan di atas meja. Semenit yang lalu, semua mata pelajaran telah dihentikan. Kini kelas kembali sunyi, menyisakan aku, Sisil, Amanda, dan Saras pada sudut yang lain.

"Ras, bawain tas gue, ya," perintah Amanda sambil berlalu bersama Sisil.

Kemudian, Saras memberikan sebuah respon yang paling kubenci. Ia menganggukkan kepala, bertingkah menjadi babu di hadapan Amanda. Bertepatan dengan menghilangnya mereka di balik pintu, aku pun menghampiri Saras. Aku menyentuh lengannya hingga dia tertarik mengangkat kepala. "Kamu beneran mau jauhin aku, Ras?" Sadar tidak mendapat jawaban, aku kembali berkata, "Kalau kamu pergi, aku bakalan sama siapa lagi, Ras? Dari SMP, aku cuma punya kamu. Gak ada temen sebaik kamu lagi, Ras."

"Sorry, Rin. Aku tetep gak bisa. Kita jalanin hidup masing-masing aja, ya?"

"Kamu ini kenapa, sih, Ras? Kenapa tiba-tiba jadi pemilih gini? Setau aku kamu bukan gini orangnya. Siapa, sih, yang udah cuci otak kamu? Amanda? Sisil? Ini pasti ulah mereka, 'kan? Iya, 'kan, Ras?"

"Aku belajar ini dari kamu, Rin."

Aku tercengang, berusaha memahami ucapan Saras. Namun, sebelum maksud itu aku temukan, Saras kembali berbicara usai menarik napas panjang. "Kamu bilang, aku harus berani buat bilang 'enggak'. Kamu bilang, aku berhak menjauh dari sesuatu yang menyusahkan aku. Kamu bilang, aku itu mempunyai pilihan dan berhak memilih apa aja yang aku mau. Dan ini yang aku sedang aku lakuin, Arini."

"Jadi ... selama ini aku nyusahin kamu, Ras?" Suaraku terbata-bata ketika bertanya. Dadaku terasa sesak dan penuh. Tenggorokanku sakit, seolah dicekik oleh anggukan yang Saras berikan. Tepat di dalam bola matanya yang berkaca, aku menatap Saras untuk kemudian berkata, "Asal kamu tau, Ras, aku bela-belain buat ikut sama Amanda dan Sisil itu bukan karena aku mau. Bukan karena aku suka, bukan. Itu karena kamu ada sama mereka. Aku takut kamu disuruh-suruh. Aku takut kamu dihina, diejek, direndahin. Mereka itu iblis. Dan karena kamu sulit ngelepasin diri dari mereka, aku berusaha buat masuk ke dalamnya. Karna kamu gak pernah melawan saat disakitin, maka aku berusaha buat selalu lindungin kamu dengan selalu ada. Karena apa? Karena aku sayang sama kamu. Aku pikir selama ini kamu udah bisa anggap aku sebagai sahabat. Tapi ternyata aku gak lebih dari seorang yang selalu nyusahin kamu, Saras."

Tuhan, rasanya sakit sekali. Tidak pernah sekalipun terlintas bahwa hubungan kami akan hancur seperti ini. Ini yang aku takutkan sejak dulu. Saat aku memberi hati, aku dilukai. Saat aku membiarkannya datang, aku ditinggalkan.

* * *

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang