Epilogue 💌

529 72 7
                                    

Berbulan-bulan sudah semenjak kepergian Tärä.

Kini rasanya aku seperti kehilangan harapan hidup.

Aku tak menemukan hal yang menarik untuk dilakukan, bahkan sejujurnya, hal yang kulakukan setiap hari hanyalah duduk diam di dalam maruis rumahku.

Sambil memeluk lututku, aku terus menatap ke laut. Riak lautan tampak berkilauan, ditenggelamkan dalam cahaya matahari.

Aku sering merenungi suara burung-burung pantai di pagi hari, dan mendengarkan suara canda-tawa serta celotehan bocah-bocah Metkayina di siang hari.

Kadang-kadang, Lo'ak datang menghiburku.

Mengajakku berenang, katanya.

Mencari kerang, ajaknya.

Balapan ilu, alasannya.

Tapi semuanya tak ku gubris. Hal-hal itu sudah terlalu sering kulakukan bersama Tärä.

Jika aku melakukannya, rasanya hanya akan menambah rasa sakit di luka lama yang sedang kucoba sembuhkan.

Kadang-kadang, aku pergi mengunjungi maruis Tärä. Berharap agar suatu hari, Tara akan berdiri disana. Bernafas, tersenyum, lalu melupakan luka tembak di perutnya.

Berharap kau berlari ke arahku dan memelukku, seerat-eratnya.

Tapi akhirnya aku merasa itu sebagai tindakan yang sia-sia.

Mau berapa kalipun aku pergi ke sana. Gadis itu tak akan hadir.

Tak ada lagi dia yang menungguku dengan senyum hangat, tak ada lagi dia yang melempariku dengan sendal, tak ada dia yang duduk disana dan mengucapkan...

"Sudah lama tak jumpa, aku merindukanmu, Neteyam."

Ah, mungkin aku kini sudah menjadi gila.

Aku memandang berkeliling kearah maruis-nya, ada untaian kerang warna-warni yang dililit menghiasi rumah itu.

Kalau angin  tiba-tiba berhembus, kerang-kerang itu akan saling bertubrukan— lalu mengeluarkan bunyi gemerincing yang lembut.

Aku tidur telentang dengan berbantalkan tanganku, menatap langit-langit maruis dan merenung.

Lama-lama, suasana ruangan yang damai itu membuatku mengantuk. Aku mengubah posisi tidurku, lalu memejamkan mata.





Aku terbangun karena samar-samar mendengar suara Ibu yang memanggil- manggil namaku.

"Neteyam, Neteyam! Kau dimana? Ayo, kemari. Makan malam sudah siap!"

Begitulah suara Ibu, terdengar dari balik serambi maruis rumah Tärä.

Aku menggaruk tengkukku, mendengus malas dan dengan gontai berjalan keluar.

Ternyata aku tertidur cukup lama, saat ini sudah petang. Aku berjalan ke pinggir pantai, dan mencuci wajahku dengan air. Agar segar kembali.

Kalau aku menghembuskan nafas, uap akan keluar dari mulutku. Udara sore ini ini memang dingin sekali.

Aku menatap berkeliling, tampak matahari yang sudah terbenam. Langit dibalut cahaya jingga dan biru, ada bayangan planet Polyphemus ikut menghiasi senja.

"Aku tidak mau makan malam hari ini." Ucapku mengintip dari balik serambi maruis rumahku, tampak Tuk yang sedang duduk di tengah maruis.

Gadis cilik itu menatapku dengan mata bulatnya, dia memiringkan kepala, tampak khawatir.

"Neteyam, kau harus makan. Kalau kau tidak makan nanti sakit."

Aku menggeleng menolak, lalu berbalik dan berjalan pergi.

"Wait—! Where are you going?" Tanya Tuk berlari, dia berhenti di ujung teras maruis. Tapi tatapannya terus mengikutiku.

"Jalan-jalan." Jawabku seadanya.

"Mom will absolutely kill you if you skipped the dinner!" Seru Tuk memperingatkan. Tapi aku tak peduli.

Aku berjalan dituntun oleh cahaya bulan. Aku mendaki bukit kecil, kakiku membawaku menuju ke suatu tempat yang tenang.

Tebing tinggi yang terletak di bagian Barat desa Metkayina. Tempat yang dikelilingi dengan tanaman palem dan bunga-bunga rami yang bermekaran di musim ini.

Dahulu, ini tempat dimana Tärä selalu menyendiri, menikmati alam.

Pernah sekali, dia mengajakku kesini.

Aku ingat semua hal yang dia katakan kepadaku hari itu. Saat dia tersenyum penuh, dan menggenggam tanganku rapat-rapat.

Aku duduk di pinggir tebing. Meluruskan kakiku, dan menatap bulan yang bersinar.

Malam ini bulan purnama.

Dan entah kenapa, bulan purnama malam ini seolah lebih bersinar dibanding malam-malam sebelumnya.

Aku menatap bulan purnama, menarik nafasku perlahan-lahan, menikmati pemandangan laut Awa'atlu dari atas tebing itu.

"Neteyam!!!"

"Neteyam! Biarkan aku sekali saja mengendarai ikran-mu, yaa?? Pls pls pls, aku beneran kepengen bangettt"

"Neteyam, rambutmu bagus."

"AH, SIAL, BALIKIN DUIT GOCENG PUNYAKU! ITU BUAT BELI MAKAN MALEM HARI INI!!!"

"Little soldier, kau lebih suka IU atau Jennie blekpink?"

"Neteyam! Adikmu ditelen Payakan!"

"NETEYAMMM AKU PADAMU, BANGGG"





Aliran lembut dari angin malam bercampur dengan aroma asin khas pantai.

Aku menunduk sayu, diam-diam mengulas senyum palsu.

Kenapa kau selalu menggentayangi pikiranku?

Mungkin aku memang tak mampu melupakanmu, Tärä.

Yah, biarlah seperti ini saja. Memang lebih baik jika kau tetap bersemayam di dalam pikiranku.

Karena sejujurnya, aku yang tak sanggup melupakanmu.

Aku mendongak, kembali menatap bulan. Cahayanya menyinari tubuhku.

Bintik-bintik putih di tubuhnya menyala kelap-kelip, bagai lilin. Di tengah-tengah sosok bulan, aku melihat seseorang.

Ada bayang-bayang seseorang muncul perlahan dari balik cahaya. Awalnya tampak seolah fatamorgana, tapi bayangan ganjil itu makin lama makin terlihat jelas.

Bayangan itu semakin jelas. Lama-lama aku bisa melihat rambut panjangnya dan matanya yang cerah.

Aku mengulas senyum.

Dia mendekat, tatapannya yang begitu dalam seolah menembusku. Dia bergerak, menangkup wajahku.

Angin berhembus, surai hitamnya yang bergelombang mengalir seolah menggelitikku. Dia tersenyum.

Senyuman manis yang hanya dimiliki oleh dirinya.

"Long time no see, little soldier."

Aku menarik nafas, memeluk tubuhnya dengan lembut. Untuk kesekian kalinya aku tersenyum.

"Yeah, long time no see you."



.....

[TÄRÄ. AVATAR 2: THE WAY OF WATER]

💙💙💙

[THE END]

Thank you for reading.








Berikan pesan untuk Tärä:

Berikan pesan untuk Neteyam:

Berikan pesan untuk Author:

TÄRÄ. AVATAR 2: THE WAY OF WATER Where stories live. Discover now