3

156 17 1
                                    

''Are you okey?'' tanya yang lebih tua melihat Lia yang menyender ke jendela perpustakaan sambil menatap kosong ke arah luar. Gelengan pelan dia dapatkan sebagai jawaban membuat yang lebih tua menghela nafas panjang. Ya, dia juga bisa melihat jelas Lia tak baik-baik saja. Walaupun akhir-akhir ini memang jarang sekali gadis itu nampak baik.



Ah, ayolah. Bu Seulgi,Guru Bimbingan Konseling saja mati-matian berusaha mewawancarai gadis itu namun Lia selalu dengan epicnya bisa menghindari guru cantik yang menjadi teman-teman murid bermasalah disana. Seharusnya Lia sudah terdaftar menjadi salah satu temannya. Namun gadis itu hanya bisa dijadikan target yang belum tertangkap.




''What's wrong baby?'' tanya Mark sambil mengusap pelan pipi Lia. Pipi yang selalu menjadi favoritnya dan selalu dia minta Lia untuk menjaganya supaya tetap menggemaskan.




''Nothing. Cuma lelah?''




Mark hanya bisa menerima jawaban Lia begitu saja. Memaksa juga percuma, jawabannya pasti sama. Dia tak suka melihat ini. Lia yang pendiam, bukannya yang aktif bicara. Mungkin saja bayinya itu tengah dalam mood yang buruk?



''Bagaimana kalau nanti pulang sekolah kita jalan-jalan? Beli apapun yang kamu mau. Hhmmm? Bagaimana?'' tanya Mark sambil merapikan rambut panjang indah milik Lia.




''Liat nanti aja. Kak John bilang mau jemput soalnya...''




Mark mengangguk pelan memahami keadaannya. Memang melawan Johnny bukanlah pilihan yang baik. Bukannya Mark takut padanya, pasalnya jika pemuda 25 tahun itu marah, Lia lah yang jadi korbannya. Mark tak mau itu terjadi. Dia sudah pernah melihat beberapa luka lebam setelah Lia izin sakit sehari saat sebelumnya Mark mengajak Lia keluar tanpa izin Johnny.




''How about ur girl friend?''




''Bisa kita gak perlu bicara itu waktu kita cuma berdua?'' tanya Mark jelas terdengar tak suka dengan pertanyaan Lia.


Gadis itu nampak tak peduli dengan keluhan Mark. Toh memang dia sengaja ingin memancing dengan pertanyaannya. Meskipun bukan itu jawaban yang dia inginkan. Beruntunglah perpustakaan itu jarang didatangi murid. Yang datang paling hanya untuk mencari tempat tidur tersembunyi saat bosan dikelas.




Mark meraih tangan Lia dibawah meja dan memberikan usapan pelan pada punggung tangannya. Memandangi lekukan indah wajah cantik gadis imut itu. Entah sejak kapan dia bagaikan tertarik oleh magnet tak nampak adik kelasnya itu. Yang jelas dia sangat tak bisa sehari tanpa melihat wajah gadis yang masih setia menatap kosong keluar jendela itu.



''You're so beautiful, baby...''





''But not on the first place...''















.
.
.


















Lia menjauhkan ponselnya dari telinganya lalu menyentakkan kakinya kesal. Johnny tak mengangkat panggilannya sedangkan anak lain sudah pulang semua.






''Sialan! Awas aja lo kak!''





Lia terpaksa melangkahkan kaki meninggalkan area sekolah menuju bus station terdekat. Duduk disana hingga bus selanjutnya datang.





''Kalau gue gak inget lo bilang mau jemput, udah gue iya in balik sama yang lain. Brengsek banget lo!'' gerutunya kesal sambil menendang-nendang batu kecil di sekitar kakinya. Tak berselang lama, bus pun datang dan Lia segera masuk kedalamnya.






Duduk di bangku paling belakang dan menyender dengan mata terpejam. Diam, dia merasakan sakit dan perih yang seakan meremat dadanya. Membuatnya sesak dan sudut matanya mulai meneteskan cairan bening. Lelah, itulah yang dirasakan.







''Am I that bad? Can't I get someone who give me the real love?''








Lia tak membuka matanya saat bis kembali terhenti karena dia hafal betul jarak dari station awal menuju ke station terdekat dari rumahnya. Sampai akhirnya bus kembali berjalan dan dia merasakan seseorang duduk disebelahnya membuatnya sedikit mengerutkan alis namun tak berniat membuka matanya.





Dia masih ingat betul tadi di bis itu hanya diisi olehnya dan satu orang penumpang ibu-ibu di depan. Kenapa orang yang baru naik ini malah memilih duduk disebelahnya? Benar-benar disebelahnya.






''Hidup memang berat. Tapi apa seberat itu sampai kamu harus menangis sendiri begini? Padahal kamu masih muda...''






Mendengar hal itu, Lia memilih abai dan menggeser bokongnya ke bangku sebelah untuk memberi jarak dengan pria disebelahnya itu. Namun nampaknya pria itu malah kembali menempeli nya lalu tanpa izin menarik kepala Lia supaya menyender di bahunya. Lia hendak protes namun kepalanya ditahan dan satu jari pria itu menempel di bibirnya.







''Setidaknya kalau kamu gak punya teman dipercaya untuk cerita diluar sana, jadikan satu orang buat tempat kamu bersandar sejenak sebelum melanjutkan melangkah lagi...''






Lia terdiam mendengarnya. Pria yang wajahnya belum sama sekali dilihatnya itupun mengeluarkan earphone lalu memakaikan masing-masing satu untuk mereka. Memutar lagu milik Elvis Presley - Can't Help Falling in Love - yang sangat menenangkan bagi Lia.




Entah memang selera pria itu atau dia hanya menyesuaikan dengan mood Lia saat ini. Yang pasti itu cukup membantu membuat Lia merasa lebih tenang.




''Kamu mau berhenti dimana?''





Lia menggeleng pelan dengan mata yang menatap keluar jendela. Kembali sudut matanya meneteskan cairan bening yang sejujurnya sangat berharga itu.



''Boleh jangan berhenti? Tetap seperti ini terus menghilang seperti angin? Aku gak mau lagi keluar dan menghadapi semuanya. Melelahkan...'' lirihnya pelan membuat Pria itu sedikit mengerutkan alis dan melirik padanya.





''Mau pergi denganku hari ini?''

























.
.
.















Unknown || EndWhere stories live. Discover now