01. The First Daugther

91 17 17
                                    

Riuh gemuruh badai utara menenggelamkan hampir setiap rungu kepala di wilayah daratan selatan. Malam ini kutukan itu muncul lagi, kutukan hijau dari sihir yang terlarang. Sihirnya rakyat. Situasi ini cukup membuat kerlingan permata gantung di tongkat raja riak berisik. Kesekian kalinya dan ia sudah cukup lelah menunjukan betapa haramnya rakyat mempelajari sihir, kebanyakan dari mereka hanya tergoda kedipan purwa penjaga danau yang mengatakan bahwa dengan sihir mereka bisa mendapat lebih banyak kemuliaan, berhak berada disalah satu sisi ibukota dan menjadi bangsawan. Namun memang dengan tanpa pengetahuan rakyat menyangka jika bangsawan para keturunan anggota kerajaan terdahulu diberkahi sihir putih juga. Nyatanya hanya pemilik darah utama raja, sihir mengalir dari mahkota ke darah-darah mereka, semakin jauh posisi bangsawan dengan mahkota raja semakin kecil kemungkinan mereka diberkahi sihir putih.

tetapi kali ini bukan itu intinya. Entitas monster terbentuk lagi akibat buah sial dari keserakahan rakyat terhadap kemuliaan bangsawan. mereka yang bukan anggota kerajaan hanya bisa menciptakan sihir hitam ditangan mereka bahkan meski semua rakyat bersengkongkol untuk mencuri kitab sihir kerajaan mereka hanya akan menciptakan gorong-gorong lumut dialiran darah mereka, mengubah berkat menjadi kutukan murni, dan mereka hanya akan menjadi semakin hijau akannya.

"Kali ini biar aku saja, yang mulia. Rakyat harus mulai mengenal jubah merah darahku"

Suara kerlingan permata gantung di tongkat raja kini hening sejenak, sedang kerlingan berikutnya begitu tegas. Raja berdiri. memberikan tatapan menyelidik kearah pangerannya, pangeran pertama alias putra mahkota sementara, benar, sementara.

"Badai ini tidak hanya diciptakan dari sihir rakyat, bukan keronco seperti biasa. Pasti ada sesuatu dibaliknya, Pergilah dan buktikan entitasmu, Pangeran pertama"

pangeran pertama mengedutkan sedikit bibirnya, ia agak berharap pada situasi kali ini raja benar-benar memanggilnya putra mahkota, atau setidaknya dia berubah pikiran dengan mengharapkan hal tersebut terucap ketika jubah merah darahnya dengan sempurna melanglangbuana meniadakan badai noktah hijau dari utara itu, ia merasa bisa bertarung dengan sombong sekarang. setelah membungkuk memberi salam hormat jubah darahnya berkibar menjauh dari singgasana, perlahan didalam lorong kibaran itu berubah menjadi sehitam malam kemudian sekosong langit tanpa bintang, dalam sekejap pangeran pertama berpindah ke tempat lain.

.

.

.

Dari sudut kediaman para bangsawan seseorang mulai mencongkel jendelanya dari dalam. padahal langit utara sedang menggaum angkuh tetapi entah bagaimana seseorang tampaknya cukup berselera melakukan kegiatan lain selain berdiam di rumah dan berdoa.

Suara ceklikan diikuti decitan terdengar beberapa saat selanjutnya. namun secepat kucing pencuri seseorang berbalut kain hitam keluar darisana dan berlarian kesana kemari segera mencari tempat bersembunyi untuk kemudian bernafas sejenak. dadanya naik turun dalam persembunyian pertama lalu kedua dan selanjutnya hingga saat ia akan bersembunyi untuk kesekian kalinya dari penjaga suatu suara mengintrupsinya.

"Pencuri? kau pencuri? tuan pencuri mau makan?"

suara itu jauh lebih lembut dari apapun tetapi seseorang dalam balutan kain dibuatnya merinding. dari semua orang yang bisa saja menangkapnya selalu saja makhluk kecil ini yang melakukannya, terkadang ia merasa hilang harga diri. seseorang dari balik kain berbalik untuk menangkap anak laki-laki itu. niat awalnya mau menakuti sehingga ia bisa pergi dan tidak berjalan-jalan di halaman belakang dimalam berbahaya seperti ini, namun sosoknya malah diam bertengger dibawah pohon saat anak itu mendekat dan memberikannya kue separuh tergigit. bahkan di sekitar mulutnya terdapat jejak nyata dari bagaimana dengan kejamnya kue itu terkoyak. Harga dirinya, ia tak tahu apa masih bisa mengisinya kembali.

The Origin Of King KaanWhere stories live. Discover now