Bab I : Hari Pertama

1.1K 81 24
                                    

TEGAL SALAHAN, demikian orang memberi nama tempat itu. Tempat yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit! Tempat dimana terletak sebuah rumah atau pondok kayu peninggalan bapakku. Tempat, yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk dijadikan sebagai tempat hunian.

Namun aku tak punya pilihan lain. Aku sudah tak punya apa apa lagi kini, selain pondok kayu peninggalan bapak ini, serta beberapa petak sawah dan ladang yang kini kondisinya sudah sangat terbengkalai.

Bukan tanpa sebab. Meski bapak telah lama menghilang, namun tak seorangpun yang berani mengusik pondok beserta sawah dan ladang milik bapak. Selain karena keangkeran area Tegal Salahan yang sudah terkenal ke seantero desa, juga karena sosok bapak yang memang sejak lama dikenal sebagai orang yang paling disegani sekaligus ditakuti di desa ini. Bahkan sampai ke anak anak kecil pun, akan segera lari tunggang langgang mencari tempat persembunyian begitu nama Mbah Kendhil disebut.

Aku sendiri sebagai anak satu satunya dari sosok Mbah Kendhil ini, tak begitu paham kenapa sosok bapakku ini sampai sedemikian menyeramkan di mata penduduk desa. Mungkin karena aku yang memang sudah semenjak kecil telah berpisah dengan bapak, jadi aku tak tahu seperti apa keseharian dan kehidupan yang dijalani oleh bapak selama ini. Aku hanya mengenal sosok bapak, dari dongeng dongeng yang pernah diceritakan oleh almarhumah ibuku. Cerita yang baik baik tentu saja, hingga di mataku sosok bapak ini tak ubahnya seorang pahlawan yang sangat pantas untuk dibanggakan. Sangat jauh berbeda dengan pandangan para penduduk desa tentang siapa sebenarnya bapak.

Aura keseraman bapak ternyata tak bisa hilang begitu saja, meski sosoknya telah lama menghilang dari desa ini. Ini terbukti saat pagi itu aku berusaha meminta bantuan kepada beberapa penduduk desa untuk memperbaiki pondok kayu peninggalan bapak ini, dengan upah ala kadarnya tentu saja. Dan dari beberapa orang yang kutemui, tak satupun dari mereka yang mau menyanggupi permintaanku, dengan berbagai alasan yang kesannya sengaja dicari cari. Bahkan Mas Bambang, saudara sepupu jauhku-pun sepertinya tak bisa diharap bantuannya. Alih alih membantu, ia justru menyarankanku untuk tinggal di rumahnya saja, dan melupakan pondok kayu peninggalan bapak itu.

"Tinggal di pondok itu, sama saja kamu cari penyakit Jok! Apalagi istrimu sedang hamil besar begitu. Daripada nanti kamu atau istrimu kenapa kenapa, lebih baik kalian tinggal disini saja. Toh aku bukan orang lain bagimu. Kita masih saudara Jok, dan masih ada kamar kosong di rumah ini," demikian tawaran Mas Bambang, yang segera kutolak dengan halus. Selain karena tak ingin merepotkan orang lain, sorot mata Mbak Halimah, istri Mas Bambang, yang menyiratkan ketidaksetujuan saat sang suami menawariku untuk tinggal di rumahnya, membuatku sedikit segan. Akupun lalu pamit untuk kembali ke pondokku.

"Tak usahlah merepotkan orang Bang," demikian sambutan istriku, saat melihatku kembali dari desa dengan tangan hampa. "Pondok ini tak terlalu besar, dan kerusakannya juga tak begitu parah. Kurasa kita sendiripun masih sanggup untuk membenahinya. Tak perlu terlalu bagus, asal bisa untuk kita berteduh dan berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan."

Ah, Romlah! Perempuan terbaik yang pernah aku kenal setelah almarhumah ibuku. Bahkan disaat aku tengah terpuruk seperti sekarang inipun, ia masih tetap setia menjadi penyemangatku.

"Aku istrimu Bang," demikian jawaban yang ia berikan, saat aku mengutarakan niatku untuk pindah ke pondok kayu reot ini. "Kemanapun kau pergi, dimanapun kau tinggal, aku harus ikut. Mau tinggal di kolong jembatan sekalipun, asal tetap bersamamu, tak akan menjadi masalah bagiku."

Sebuah jawaban yang tak bisa aku bantah lagi. Dan aku patut bersyukur, dulu almarhumah ibuku memilih wanita ini untuk menjadi pendamping hidupku.

"Paling tidak kita butuh beberapa bilah papan untuk menambal dinding yang telah rapuh itu. Juga beberapa genteng untuk menambal atap yang sudah bolong. Sedang sisa uang kita tinggal beberapa rupiah lagi Romlah," gumamku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru pondok.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang