Bab XIII : Teror Yang Sebenarnya

708 66 12
                                    

Dua bulan sudah, semenjak kejadian Mbak Halimah kehilangan ingatannya. Dan selama dua bulan itu, sudah tak kurang kurang aku dan Mas Bambang berusaha mencari orang pintar, dukun, kyai, dan siapapun yang kami anggap bisa mengobati Mbak Halimah. Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil. Usaha yang cukup melelahkan, namun kami tak pernah patah semangat. Baik aku maupun Mas Bambang yakin, suatu saat nanti, Mbak Halimah pasti bisa kami sembuhkan. Entah dengan cara apa.

"Kasihan Mbak Halimah ya Bang," Romlah berujar lirih, saat malam itu kami berdua bercengkerama di teras pondok. Entah kenapa, aku tak pernah merasa bosan menikmati suasana malam di sekitar pondok tua ini. Apalagi ditemani secangkir kopi, dan seorang istri yang tidak saja cantik, tapi juga sangat pengertian yang malam ini berbaring manja dengan berbantalkan pahaku.

"Ya mau gimana lagi Lah. Sudah nggak kurang kurang usaha kita selama ini untuk menyembuhkannya. Namun sampai saat ini belum ada hasilnya juga," ujarku.

"Memang nggak ada yang tau sama sekali ya Bang, soal dukun yang dulu didatangi oleh Mbak Halimah itu?" Tanya Romlah.

"Satu satunya orang yang tau ya cuma Mbak Halimah Sendiri Lah. Dan kondisinya sekarang sudah seperti itu. Percuma juga kalau kita bertanya padanya."

"Aku jadi merasa bersalah Bang."

"Merasa bersalah?"

"Iya. Kalau seandainya waktu itu aku bisa sedikit menahan diri dan tak emosi, mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini."

"Jangan berpikir seperti itu Lah," pelan kubelai rambut perempuan itu. "Semua ini bukan murni salah kita kok. Mungkin memang sudah takdirnya Mbak Halimah harus seperti itu."

"Tapi tetap saja Bang ...."

"Sssttt ...! Sudah ndak usah mikir yang macam macam. Ingat! Kamu sedang mengandung dan sebentar lagi melahirkan. Jadi untuk sementara buang jauh jauh segala pikiran buruk yang bisa mengganggu perasaanmu. Abang nggak mau kamu sampai stress nanti Lah."

"Hehehe ...!" Romlah tertawa kecil. "Iya. Aku paham Bang. Oh ya Bang, kalau anak kita sudah lahir nanti, pasti kita akan lebih bahagia lagi ya Bang. Pondok ini juga tak lagi sepi karena ada tangisan bayi."

"Pasti sayang," aku sedikit menunduk, untuk mengecup kening Romlah yang terbaring di pangkuanku. "Terimakasih ya Lah, sebentar lagi kamu akan menghadirkan seorang bidadari kecil di pondok ini."

"Kok bidadari Bang? Memangnya Abang yakin kalau anak kita nanti lahir perempuan?"

"Menurutmu?"

"Aku sih inginnya perempuan Bang, biar cantik kayak emaknya."

"Kalau laki laki?"

"Nanti kulitnya hitam kayak bapaknya."

"Ish! Bisa kamu yaa ...," gemas kucubit hidung mungil Romlah, membuat perempuan itu tertawa lepas.

"Oh ya Bang, kata Mbah dukun bayi itu ..., siapa namanya Bang?"

"Mbah Sumi."

"Ah, iya. Kata Mbah Sumi kemarin, waktu kelahiranku tinggal menunggu hari saja Bang."

"Hmmm, lalu?"

"Entahlah Bang. Perasaanku campur aduk antara senang, cemas, bahagia, dan takut."

"Tak ada yang perlu kaucemaskan Lah. Selama ini kandunganmu kan nggak pernah ada masalah. Jadi tenangkan hatimu, dan jangan berpikir yang macam macam, agar nanti saat tiba waktunya, semua berjalan dengan lancar."

"Iya Bang. Emmm ..., kira kira seperti apa ya Bang rasanya orang melahirkan?"

"Entahlah! Aku kan belum pernah melahirkan Lah."

"Aih! Abang ini," kini giliran Romlah yang mencubit lenganku. Aku hanya tertawa kecil, meski cubitan kecil Romlah benar benar terasa sakit di lenganku.

"Sudah malam. Kita tidur yuk," ajakku, yang segera diiyakan oleh Romlah. Kamipun lalu beranjak masuk kedalam pondok, mengunci pintu, lalu naik ke atas pembaringan. Dan seperti biasanya, begitu mencium bantal, Romlah segera terlelap dibuai mimpi. Berbeda denganku yang entah mengapa, malam ini mataku terasa sulit sekali untuk kupejamkan. Ada perasaan asing yang mengganggu pikiranku. Semacam perasaan tak enak yang membuatku gelisah tak menentu.

Hingga saat lewat tengah malam, saat kedua mataku baru saja bisa terpejam, Romlah mengguncang guncang lenganku dengan sedikit keras. Tentu saja aku terkejut dibuatnya. Apalagi saat melihat Romlah yang meringis ringis sambil memegangi perut bagian bawahnya.

"Baaannggg ..., perutku Bang. Sepertinya ..., sudah waktunya Bang! Cepat Abang jemput Mbah Sumi ke desa!" Romlah merintih sambil meringis ringis, membuatku panik bukan kepalang. Aku bingung harus berbuat apa, dan juga cemas menyaksikan Romlah merintih rintih kesakitan seperti itu.

"Kita saja yang ke rumah Mbah Sumi ya? Aku takut kalau harus meninggalkanmu sendirian di pondok. Apalagi ditengah malam buta seperti ini," ujarku disela kepanikan yang melandaku.

"Tak apa Bang! Tak sanggup aku kalau harus pergi kesana. Abang jemput saja Mbah Sumi. Soal aku disini, tak usah Abang cemaskan. Toh masih ada Kliwon, Pahing, Dan Wage yang menemaniku," bantah Romlah sambil terus meringis dan mendesis.

"Tapi Lah ...,"

"Cepat lah Bang! Aku sudah nggak tahan lagi!"

"Eh, iya. Baiklah! Aku berangkat sekarang!" Segera kusambar kunci mobil, lalu dengan setengah berlari aku keluar dari pondok. Mobil tuaku kupacu secepat yang aku bisa menuju ke arah desa, meninggalkan Romlah seorang diri di pondok, dengan ditemani oleh ketiga ekor anjing piaraanku yang setia.

Sebuah keputusan yang sangat sangat salah. Karena sekembalinya aku dari menjemput Mbah Sumi dan juga Mas Bambang, aku baru menyadari bahwa teror yang sebenarnya baru saja dimulai.

Aku terkesiap saat memasuki pondok dan mendapati seluruh isi pondok porak poranda laksana habis dilanda gempa. Meja dan kursi bergelimpangan. Panci, gelas, teko, wajan, semua berserakan diatas lantai. Dan yang lebih mengerikan, di salah satu sudut ruangan kulihat Kliwon terkapar dengan kepala hancur dan otak berceceran. Di depan tungku, Pahing meringkuk dengan perut terbelah dan isi perut terburai keluar. Sementara tepat di depan pintu bilik, Wage tergeletak dengan kepala yang telah terpisah dari badannya. Darah dari ketiga binatang piaraanku itu membanjir di beberapa tempat, menimbulkan aroma amis yang begitu menyengat.

"ROMLAAAHHHH ...!!!" Aku menjerit setinggi langit, sambil menerobos masuk ke dalam bilik. Kulihat Romlah terbaring diam diatas dipan dengan wajah tegang dan mata terpejam. Perutnya sudah tak lagi buncit. Darah menggenang disela sela selangkangannya, tanpa ada sosok jabang bayi yang terlihat disana.

"Romlaaahhhh ...!!! Bayikuuu ...!!!" Kupeluk dan diguncang tubuh Romlah. Tangisku pecah, menggema memecah kesunyian malam. Tangisan yang sepertinya sia sia, karena Romlah tetap diam tak bergerak. Bahkan membuka mata pun tidak!

"Cepat panggil Pak Modin!" Mbah Sumi menghardik Mas Bambang yang hanya berdiri bengong di tengah tengah ruangan.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora