Epilog

855 68 19
                                    

Pagi yang cerah. Matahari telah naik sepenggalah, namun udara masih terasa sejuk menyegarkan. Angin bertiup sepoi sepoi. Suara kicau burung bersahutan terdengar begitu merdu di telinga.

Warga desa Kedhung Jati mulai sibuk dengan aktifitasnya masing masing. Pergi ke sawah atau ke ladang untuk menjaga tanaman mereka yang sebentar lagi siap untuk dipanen. Di masa masa seperti ini, merupakan masa masa yang paling ditunggu tunggu oleh para petani. Setelah bekerja keras selama berbulan bulan, kini waktunya untuk menikmati segala hasil jerih payah mereka.

Para perempuan pun tak mau ketinggalan. Mereka berbondong bondong menuju ke kali untuk mandi dan mencuci pakaian. Menjadi pemandangan yang lazim di desa itu. Setiap pagi kali dipenuhi oleh para 'bidadari' yang mandi dan mencuci di tengah kali, mirip seperti adegan dalam kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan.

Demikian juga dengan Romlah. Entah kenapa, pagi itu ia lebih memilih untuk mandi dan mencuci di kali Rampeng, bukan di kali kecil Tegal Salahan seperti biasanya. Mungkin karena Kali Rampeng letaknya lebih dekat dengan pondoknya, dibandingkan dengan kali Salahan yang agak jauh dan mesti melewati jalanan terjal menanjak saat kembali pulang nanti. Selain itu ia juga sekalian menemani sang suami yang tengah asyik melihat lihat tanaman kacang tanah di ladang mereka yang letaknya memang tak jauh dari kali itu.

Romlah mulai sibuk dengan cuciannya diatas sebuah batu ceper yang menyembul di tengah permukaan sungai. Sedangkan Wulan sang anak, dibiarkan asyik bermain pasir bersama Lintang, teman sepermainannya. Sesekali, perempuan itu menoleh untuk memastikan bahwa sang anak tak sampai masuk ke tengah kali. Meski aliran air di kali itu tak begitu deras, namun rasa khawatirnya sebagai seorang ibu terhadap keselamatan sang anak tetap saja ada. Maklum, anak semata wayang. Dan Wulan, meski anak perempuan namun anaknya cukup aktif dan tak pernah mau diam.

"Wulan! Mainnya di pinggir saja yaa ..., jangan ke tengah sungai!"teriak Romlah saat melihat sang anak kini mendekat ke bibir kali.

"Iya Maakkk ...!" Anak perempuan berusia lima tahun itu menjawab, juga sambil berteriak dan menjauh dari bibir sungai.

Romlah kembali sibuk dengan cuciannya yang lumayan menumpuk. Perhatiannya pada sang anak sedikit teralihkan. Sampai akhirnya, teriakan Lintang terdengar mengejutkannya.

"Budhe Romlaahhh ...! Wulan masuk ke sarang buaya!"

Sontak Romlah menoleh. Dan rasa panikpun melanda saat ia tak lagi mendapati sosok sang anak di hilir sungai. Hanya terlihat Lintang yang berteriak teriak sambil menunjuk nunjuk rumpun tanaman pandan berduri yang tumbuh subur dihadapannya.

Gegas Romlah menyambar handuk untuk membungkus tubuhnya yqng setengah telanjang, lalu dengan setengah berlari ia menghampiri Lintang sambil berteriak teriak memanggil sang suami yqng masih sibuk di tengah tengah ladang.

"Baannggg ...! Wulan Baannggg ...!!!"

Joko yang melihat sang istri berlari lari panik segera menghentikan kesibukannya, dan ikut berlari ke arah kali.

"Lintang! Dimana Wulan?!" Romlah berseru panik sambil mengguncang guncang bahu Lintang.

"Disitu Budhe! Tadi Wulan masuk kesitu!" Dengan suara gemetar karena takut bocah laki laki bertubuh gempal itu menjawab, sambil menunjuk rumpun semak pandan berduri yang tumbuh di hadapannya.

Joko yang mendengar penuturan anak itu segera menghunus goloknya. Ditebasnya rumpun semak pandan itu sambil berteriak teriak memanggil nama sang anak.

"Wulan! Keluar Nak! Jangan masuk kesitu!"

Semak pandan berduri itu telah rebah kini, terkena sambaran golok Joko yang tajam berkilat kilat. Ada rongga besar disebalik rumpun tanaman semak itu, yang membuat Joko terkesiap untuk sesaat. Inikah goa misterius yang dulu pernah diceritakan oleh Mas Bambang itu?

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora