Bab XVII : Mengenang Para Pahlawan

799 66 7
                                    

"BAPAK!" seruku saat laki laki itu melangkah mendekat ke arah kami bertiga. Perasaan bahagia yang tak terhingga menelisik kedalam sanubariku, melihat orang yang selama ini aku cari cari, yang telah menghilang selama puluhan tahun tanpa kabar dan berita, tiba tiba muncul begitu saja di hadapanku. Tanpa terasa, air matapun menetes dari kedua sudut mataku.

"Dasar lemah! Melawan satu musuh saja kalian sampai babak belur begini! Percuma kau menjadi muridku Dul! Percuma kau menjadi keponakanku Mbang! Dan kau! Bapak macam apa kau?! Melindungi anak sendiri saja tidak becus!" Bapak menggerutu panjang pendek sambil menunjuk nunjuk wajah kami satu persatu. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Bapak! Ternyata masih sama seperti dulu. Selalu saja galak dan ketus saat berbicara.

"Dia bukan lawan yang sepadan buat kami Mbah," sanggah Pak Modin. "Simbah lihat sendiri, sesama dedhemit saja bisa di bantai habis begitu."

"Halah! Banyak alasan!" Suara Bapak masih terdengar galak. "Kesinikan cucuku! Biar aku yang merawatnya kalau kau tak bisa menjaganya!"

"Eh, tapi Pak ..." aku hanya bisa pasrah, saat Bapak merengkuh bayi mungil itu dari dalam pangkuanku. Bayi yang semenjak tadi anteng itu tiba tiba menggeliat dan merengek dalam gendongan Bapak.

"Hmmm ..., perempuan ya," gumam Bapak sambil mengamati wajah bayi dalam gendongannya itu. "Padahal aku sangat berharap bisa memiliki cucu laki laki. Tapi tak apalah. Dia cantik seperti neneknya. Dan sepertinya memiliki jiwa yang kuat, tidak seperti bapaknya yang lemah dan penakut."

Mas Bambang tertawa geli, membuatku seketika melotot ke arahnya. Bapak lalu berjongkok di hadapanku, memperlihatkan wajah bayi yang memang sangat cantik itu kepadaku. Aku baru sadar, bahwa semenjak tadi bayi itu begitu tenang, seolah tak merasa terusik dengan segala hiruk pikuk yang terjadi di sekitarnya.

"Jaga baik baik anakmu ini," kata bapak setelah meniup ubun ubun bayi itu dan mengembalikannya kedalam pangkuanku. "Sudah tak ada lagi pengaruh buruk dari si nenek peot yang sedari tadi mempengaruhinya. Kelak, bayi ini akan memikul tanggung jawab yang sangat besar. Jadi didik dia sebaik yang kau bisa."

"Ah, syukurlah. Terimakasih banyak Pak," aku mengelus lembut kepala bayi itu.

"Ya sudah! Urusanku sudah selesai. Sudah waktunya aku untuk kembali pulang," Bapak berdiri, lalu melangkah pelan ke arah barat.

"Lho, bapak mau kemana?" Seruku saat melihat Bapak berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah yang menuju ke pondok.

"Kamu budeg?! Kan aku sudah bilang kalau mau pulang?"

"Tapi rumah kita disana Pak!"

"Itu sudah bukan rumahku lagi!"

"Tapi Pak ...."

"Cerewet!"

"Pak! Ikutlah pulang bersamaku. Kita hidup bersama seperti dulu. Ibu sudah ndak ada Pak. Tinggal bapak seorang orang tua yang kumiliki. Aku, Romlah, dan juga cucumu ini, masih sangat membutuhkan kehadiranku Pak! Apa Bapak sama sekali tak rindu dengan kami semua? Bertahun tahun aku mencarimu Pak. Dan sekarang setelah kita bertemu, Bapak akan pergi begitu saja? Apa Bapak tega meninggalkan kami lagi? Apa Bapak sudah ndak peduli sama anak dan cucumu ini? Bapak sadar kan dengan apa yang baru saja terjadi? Kami masih butuh Bapak untuk melindungi kami!" Aku berteriak kesal melihat sikap Bapak yang seperti itu. Andai aku tak sedang cidera, pasti sudah kukejar laki laki itu dan kepaksa untuk ikut pulang ke pondok.

"Bocah dungu! Jangan coba coba untuk mengguruiku!" Bapak menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Kau pikir siapa aku yang sekarang ini heh?! Tempatku sekarang bukan disini lagi! Dan kau juga sudah dewasa! Jangan pernah mengaku sebagai anakku, kalau sekedar melindungi keluargamu sendiri saja kau tak mampu!"

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang