Bab IX : Kunjungan Mbak Halimah

724 69 11
                                    

Tengah asyik aku duduk terkantuk kantuk didepan tungku untuk menghangatkan badan, tiba tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah luar pondok. Untuk sejenak, aku dan Romlah saling pandang. Siapa lagi yang bertamu di tengah malam buta begini?

"Siapa?!" Seruku, memecah keheningan malam.

"Aku Jok! Mbakyumu!" Terdengar sahutan dari arah luar. Jelas itu suara Mbak Halimah.

Kembali aku dan Romlah saling pandang. Kali ini dengan raut muka keheranan. Mau apa lagi perempuan itu datang kemari?

"Biar aku saja Bang," suara bernada dingin dari Romlah menyurutkan niatku yang hendak beranjak untuk membuka pintu.

Aku kembali duduk, sementara Romlah berjalan perlahan menuju ke arah pintu dan membukanya. Dari sudut mataku aku bisa melihat kedua perempuan itu saling bersitatap di depan pintu dengan mulut saling membisu terkunci rapat. Sampai akhirnya, suara pelan Mbak Halimah memecah kebisuan itu.

"Dik Romlah, maaf kalau ... "

"Masuk Mbak!" Suara Romlah yang masih terkesan dingin memotong ucapan Mbak Halimah. Aku sampai salah tingkah dibuatnya. Sikap Romlah malam ini benar benar terasa sangat menyeramkan. Ia duduk diatas bangku bambu, berhadap hadapan dengan Mbak Halimah. Kedua tangannya terlipat di depan dada, sementara sepasang matanya yang tajam menatap ke arah Mbak Halimah yang hanya bisa tertunduk kelu.

Lagi dan lagi, aku terpaksa mengurungkan niatku untuk ikut duduk bersama kedua perempuan itu, karena sekilas kulihat lirikan tajam dari Romlah, yang terasa menusuk begitu dalam ke relung hatiku.

Untuk sesaat lamanya, suasana terasa membeku. Kedua perempuan itu, masih duduk diam saling berhadapan, dibatasi oleh sebuah meja kecil yang juga terbuat dari bambu. Seperangkat rantang yang tadi dibawa Mbak Halimah, teronggok diam diatas meja kecil itu, tanpa sedikitpun dilirik oleh Romlah.

"Dik Romlah," Akhirnya, suara Mbak Halimah kembali terdengar memecah kebisuan. "Dan juga kamu Jok. Aku minta maaf soal kejadian yang semalam. Dan ... ,"

"Mbak sadar kan dengan apa yang telah Mbak Halimah lakukan semalam?" Dingin dan datar, Romlah menukas ucapan Mbak Halimah.

"Ya. Aku sadar Dik Romlah. Aku khilaf. Aku salah. Aku menyesal. Tak seharusnya aku ..., tak seharusnya aku melakukan semua itu. Aku ..., aku ..., hiks ..., hiks ...; hiks ...," Mbak Halimah terguguk, tak kuasa melanjutkan kata katanya.

"Dan Mbak Halimah juga sadar kan, bahwa orang yang akan Mbak Halimah celakai itu adalah saudara Mbak sendiri?" Kembali suara Romlah terdengar.

"Iya. Aku sadar Dik Romlah. Maafkan aku. Aku benar benar khilaf. Aku ...,"

"Apa salah kami Mbak, sampai sampeyan tega melakukan hal seperti itu kepada kami?!"

"Aku ... ,"

"Kalau cuma sekedar ingin menguasai ladang dan sawah peninggalan bapak ini, Mbak Halimah pasti tau, baik aku ataupun Bang Joko, sama sekali tak akan keberatan untuk membaginya dengan Mbak Halimah. Asal Mbak Halimah ngomong baik baik kepada kami. Biar bagaimanapun kita ini masih saudara Mbak. Tapi dengan apa yang telah Mbak Halimah lakukan semalam ... , Huh! Aku benar benar tak habis pikir dengan jalan pikiran sampeyan. Bagaimana bisa ... ,"

"Maafkan aku Romlah! Maafkan Mbakyumu yang tak tau diri ini! Aku benar benar khilaf! Aku benar benar ... ,"

"Sudahlah Mbak," tak tega mendengar isak tangis dari kakak sepupuku itu, aku memberanikan diri untuk ikut bicara, meski lirikan tajam dari Romlah kembali menusuk ke jantungku. "Tak perlu diperpanjang lagi. Aku dan Romlah, sudah memaafkan kekhilafan Mbak Halimah semalam. Bukan begitu Lah?"

"Cih!" Romlah hanya mendecih sambil membuang muka saat aku menoleh ke arahnya.

"Terimakasih Jok. Dan ... ," Mbak Halimah menyeka air matanya. "Ah, sebenarnya aku malu untuk mengatakan semua ini. Tapi aku tak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa."

Aku beranjak dari depan tungku, lalu ikut duduk disamping Romlah. Perempuan itu sedikit menggeser posisi duduknya, seolah sengaja ingin menjaga jarak dariku, membuatku hanya bisa tersenyum kecut karenanya.

"Katakan saja kalau memang ada yang ingin Mbak Halimah sampaikan," ujarku, berusaha memecah suasana kaku diantara kami.

"Emmm ..., gimana ya? Sebenarnya ..., begini Jok. Mas Bambang mengusirku dari rumah. Jadi, kalau boleh, aku mau minta tolong sama kamu. Tolong, bujuk Mas Bambang agar mengijinkan aku untuk pulang. Aku tau hubungan kalian berdua sangat dekat. Mas Bambang pasti mau mendengarkan kata katamu. Jujur, aku tak bisa kalau harus berpisah terlalu lama dengan Mas Bambang. Apalagi dengan kedua anakku," Mbak Halimah berkata dengan suara terbata.

Sejenak aku terdiam mendengar permintaan dari perempuan itu. Bukan hal mudah untuk membujuk Mas Bambang, mengingat sifatnya yang sedikit keras dan tegas. Namun melihat keadaan Mbak Halimah sekarang ini, tak tega rasanya kalau aku harus menolak permintaannya.

"Akan kucoba ya Mbak, tapi aku nggak bisa janji. Mbak tau sendiri kan sifat Mas Bambang seperti apa," jawabku akhirnya.

"Terimakasih ya Jok," Mbak Halimah terlihat mwnghela nafas lega.

"Tak perlu berterimakasih Mbak. Kita kan saudara, sudah sepantasnya untuk saling membantu. Dan ngomong ngomong, Mbak tadi sendiri datang kesini?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, agar suasana kekakuan diantara kami bisa sedikit mencair.

"Iya. Di rumah bapak aku juga merasa serba salah Jok. Bapak dan simbok juga seolah ikut menyalahkanku. Aku merasa jadi tak nyaman untuk berlama lama tinggal disana."

"Ya ampun Mbak, kenapa nggak besok saja coba kesininya. Ini sudah larut malam lho, dan dari Patrolan kesini kan lumayan jauh. Mbak jalan kaki tadi kesini?"

Mbak Halimah tersenyum masam. "Iya. Tapi ndak papa lah. Mungkin ini semua pantas aku dapatkan Jok, untuk menebus semua kesalahanku."

"Lah, masih ada gula sama teh kan?" Bisikku pada Romlah yang semenjak tadi hanya diam itu.

"Ndak usah repot repot Dik," kata Mbak Halimah saat Romlah beranjak menuju ke meja kecil di sudut dapur. "Sudah malam juga, aku harus segera pulang."

"Ya sudah kalau begitu, biar aku an
..., eh, maksudku biar kami antar pulangnya ya Mbak," aku meralat ucapanku, karena sadar Romlah kembali melirik tajam ke arahku.

"Ndak usah Jok. Malah ngerepotin nanti."

"Ndak papa Mbak. Kami sama sekali ndak merasa direpotkan kok. Sekalian saja, kita ke rumah Mas Bambang sekarang, biar cepat selesai masalah ini," ujarku.

"Tapi Jok ...."

"Percaya padaku Mbak. Semarah marahnya Mas Bambang, aku yakin dia tak akan benar benar tega kepada Mbak Halimah," aku mencoba meyakinkan Mbak Halimah, meski aku sendiri tak yakin bisa membujuk Mas Bambang nantinya.

Akhirnya, jadilah malam itu juga kami bertiga pergi ke rumah Mas Bambang. Dan benar dugaanku, sambutan Mas Bambang tak begitu baik saat melihat aku datang bersama Mbak Halimah. Namun setelah perdebatan yang alot, akhirnya akupun berhasil meyakinkan Mas Bambang.

"Baiklah! Kau boleh tinggal disini! Tapi jangan harap aku akan sudi untuk menyentuhmu lagi! Aku mengijinkan kamu tinggal disini, semata mata hanya demi anak anak! Tapi ingat! Jika sekali lagi kamu bikin masalah, maka jangan harap akan ada ampun bagimu!" Demikian kata Mas Bambang tegas.

Lega rasanya. Akhirnya masalah ini bisa kami selesaikan juga. Setelah berbasa basi sejenak dengan Mas Bambang, aku dan Romlahpun pamit pulang.

Tak banyak yang kami perbincangkan dalam perjalanan kembali ke pondok itu, karena Romlah sepertinya masih enggan untuk bicara denganku. Hingga saat kami tiba kembali di pondok, rasa lega yang sesaat lalu kurasakan, sepertinya harus kutelan kembali.

Masalah yang semula sudah kuanggap selesai, ternyata baru dimulai. Romlah nampak diam terpaku saat turun dari mobil, sementara aku yang tak begitu memperhatikan sikap ganjilnya itu, bergegas masuk ke teras untuk membuka pintu.

"Sebentar Bang!" Romlah tiba tiba berseru, sambil bergegas menyusul langkahku, dan menahan lenganku yang telah siap untuk membuka pintu.

"Ada apa?" Tanyaku heran.

"Dasar! Perempuan haram jadah tak tau diuntung!" Alih alih menjawab pertanyaanku, Romlah justru mendengus kasar, lalu segera menyambar dan membuka pintu pondok dengan cara yang lebih kasar, sebelum akhirnya melangkah bergegas masuk kedalam pondok.

"Blaik! Ada apa lagi ini?" Aku membatin, sambil menyusul langkah Romlah masuk kedalam pondok.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangWhere stories live. Discover now