Bab II : Malam Pertama

892 68 3
                                    

Malam merambat pelan. Semakin larut, juga semakin sepi dan dingin. Rasa kantuk semakin berat menggelayut di pelupuk mata. Namun mata ini tak kunjung mau terpejam juga.

Hawa dingin yang menusuk tulang seolah sanggup mengalahkan rasa kantuk yang datang. Jaket berlapis selimut tebal yang membungkus badan, seolah tak kuasa menahan rasa dingin yang menyerang. Tubuhku menggigil, bergidig menahan dingin.

Kutatap wajah istriku yang telah terlelap disampingku. Ia terlihat begitu pulas dalam tidurnya, seolah hawa dingin ini sama sekali tak berpengaruh terhadapnya. Ah, Romlah! Perempuan ini memang selalu lebih tangguh dalam segala hal jika dibandingkan denganku.

Pelan kubetulkan letak selimut yang membungkus tubuhnya. Lalu dengan sangat perlahan aku beringsut turun dari pembaringan. Hawa dingin ini, memaksaku untuk mencari sedikit kehangatan.

Kulangkahkan kaki menuju tungku tanah liat di sudut ruangan. Pondok ini terlalu kecil. Dan benar benar tak layak untuk dijadikan tempat hunian. Bahkan antara tungku dapur dengan tempat tidurpun tak ada sekat sama sekali. Bagaimana dulu bapak bisa bertahan sampai bertahun tahun tinggal di tempat seperti ini?

Sambil menyusun kayu bakar di mulut tungku dan menyalakan api, berjuta pertanyaan menggelayut dalam benakku. Tentang bapak yang kini telah menghilang tak tentu rimbanya, tentang kelanjutan hidupku yang sepertinya semakin suram, juga tentang perut yang tiba tiba berkeruyuk minta diisi.

Sambil menghangatkan tubuh di depan tungku, kujerang seceret air. Tentu akan terasa nikmat menyeduh kopi di tengah malam yang dingin seperti ini. Apalagi kalau ada sepotong dua potong singkong bakar yang menemani. Sayang, singkong yang kucabut siang tadi dari kebun telah habis tak tersisa.

Hmmm, sambil menunggu air mendidih, tak ada salahnya kalau aku mencabut sebatang dua batang singkong liar yang tumbuh di kebun belakang pondok ini. Aku ingat, masih ada beberapa tanaman singkong liar lagi yang tumbuh tak jauh dari dinding papan bagian belakang pondok. Segera kurapatkan kancing jaketku, lalu kuambil golok yang terselip di dinding. Juga senter kecil yang kubawa dari kota untuk penerangan.

Brrrrr!!! Hawa dingin seketika menyambutku begitu aku membuka pintu pondok. Namun rasa laparku mengalahkan segalanya. Juga rasa dingin yang kurasakan kian menggigit kulit. Toh, tak akan butuh waktu lama juga kalau hanya sekedar untuk mencabut sebatang dua batang tanaman singkong.

Dengan langkah pelan aku berjalan menuju kebun belakang pondok. Suasana begitu gelap. Sorot senter kecilku seolah tak mampu menembus pekatnya malam. Apalagi kebun yang sudah lama tak terurus ini, sudah begitu rapat dipenuhi oleh lebatnya semak belukar. Beruntung, aku masih hafal letak tumbuhnya tanaman singkong yang kulihat siang tadi.

Sejenak mencari cari, akhirnya kutemukan juga pohon singkong yang kuincar. Kuletakkan senter diatas seonggok batu dengan kondisi menyala, menerangi batang singkong yang ingin kucabut. Mudah saja bagiku, dan tak butuh waktu lama untuk mencabutnya, karena tanah di kebun ini memang masih basah dari sisa hujan kemarin.

"Crak! Crak! Crak!" Sebuah suara seperti orang sedang mencangkul mengejutkanku. Siapa yang masih bekerja di ladang di tengah malam buta begini? Penasaran, segera kusambar senterku dan kusorotkan ke segala arah.

"Crak! Crak! Crak!" Suara itu masih terdengar. Arahnya dari sebelah kananku. Namun saat kusorotkan sentermu ke arah itu, tak ada apapun yang kulihat selain lebatnya semak belukar liar. Bulu kudukku tiba tiba merinding. Bergegas, bahkan dengan setengah berlari aku kembali ke pondok sambil menenteng senter dan pokok pohon singkong yang barusan kucabut.

"Dari mana Bang?"

"HUAAHH!" Sangking kagetnya, aku sampai menjatuhkan pokok singkong yang aku jinjing. Di depan pintu, sesosok bayangan putih menyambutku. Dalam temaram bias lampu minyak tanah, sosok itu terlihat begitu menyeramkan. Andai saja aku tak mengenali suara istriku, mungkin aku sudah lari terbirit birit.

"Takut ya Bang?" Romlah tergelak.

"Edan! Kukira pocong! Kenapa pula kau berkerudung selimut putih begitu?" Sungutku.

"Dingin Bang!" Romlah menjawab disela sisa gelaknya. "Abang dari mana?"

Kutunjukkan pokok singkong yang aku bawa, sambil melangkah masuk kedalam pondok dan menutup pintu.

"Abang lapar?" Tanya Romlah yang mengekor dibelakangku.

"Sedikit," jawabku sambil mulai sibuk di depan tungku. Dua umbi singkong berukuran sedang kusorongkan kedalam bara api yang masih menyala.

"Aku buatkan kopi ya Bang?" Tawar Romlah begitu melihat mulut ceret diatas tungku menghembuskan uap, tanda air yang direbus tadi telah mendidih.

Aku hanya mengangguk, sambil menambahkan kayu bakar ke mulut tungku, sementara Romlah mulai sibuk meracik kopi dalam cangkir.

Nikmat rasanya, di tengah malam yang dingin begini, menikmati kopi dan singkong bakar di depan tungku yang menyala, dengan ditemani oleh seorang istri yang cantik dan setia. Tak terasa, waktu terus berlalu, dan adzan subuh terdengar mengumandang dari arah desa.

****

Suara kicau burung membangunkanku. Hari sudah pagi rupanya. Tak kudapati sosok Romlah yang semalam terbaring di sisiku. Sebagai gantinya, suaranya yang khas kudengar berceloteh dari luar pondok. Sepertinya dia tengah bercakap cakap dengan seseorang. Tapi siapa yang datang bertamu sepagi ini?

Penasaran, aku segera turun dari dipan. Aroma harum kopi menyambutku. Segera kuseruput secangkir kopi yang telah terhidang diatas meja bambu hasil karyaku kemarin, lalu kulangkahkan kaki keluar dari pondok. Lagi dan lagi, aku dibuat terkejut dengan apa yang telah diperbuat oleh Romlah sepagi itu.

Perempuan yang semula kukira tengah bercakap cakap dengan seseorang itu, ternyata tengah asyik bercengkerama dengan tiga ekor anjing besar berwarna hitam legam. Sepertinya Romlah tengah memberi makan ketiga ekor anjing itu.

"Hey! Apa yang kaulakukan?" Seruku. Romlah menoleh dan tersenyum ke arahku.

"Lihat Bang! Kita dapat teman baru," sahutnya sambil mengelus kepala salah seekor anjing di hadapannya.

Aku melangkah mendekat. Ketiga ekor anjing itu, sepertinya sudah tak asing lagi bagiku. Benar saja, begitu dekat, aku bisa mengenali ketiga makhluk itu dari kalung yang melingkar di leher mereka. Anjing anjing piaraan bapak dulu. Heran, kukira ketiga makhluk itu ikut lenyap bersama menghilangnya bapak. Ternyata masih berkeliaran di sekitaran pondok ini toh.

"Kau beri makan apa itu?" Tanyaku pada Romlah.

"Nasi sisa kemarin Bang. Kucampur dengan sedikit ikan bakar," jawab Romlah.

"Ikan bakar? Darimana kamu dapat ikan?" Tanyaku heran.

"Tadi barusan bocah yang kemarin itu datang lagi Bang, ngasih ikan buat kita."

"Bocah?"

"Iya. Yang kemarin memetikkan jambu air untukku itu lho. Aku juga kaget Bang. Pagi pagi saat aku keluar, bocah itu sudah ada di depan pintu."

Aku tertegun sejenak. Siapa sebenarnya bocah itu, dan kenapa ia begitu baik pada istriku?

"Lalu, dimana bocah itu sekarang?" Tanyaku penasaran.

Romlah mengangkat bahu. "Dia langsung pergi setelah memberikan ikan yang dibawanya."

"Aneh!" Gumamku.

"Apanya yang aneh Bang?"

"Bocah itu. Kenalpun kita tidak, tapi sudah dua kali ia .... "

"Mungkin dia kesepian Bang. Dilihat dari kondisinya yang sedikit kurang normal, aku rasa ia tak memiliki banyak teman di desa sana. Bisa saja ia sengaja datang kesini dan berbuat baik pada kita, berharap bisa mendapatkan sedikit perhatian dari kita."

"Hmmm, benar juga yaa ... ," gumamku pelan. "Coba lain waktu kalau dia datang lagi kemari beritahu aku, agar aku juga bisa berkenalan dengan anak itu."

Romlah mengangguk, lalu kembali asyik dengan ketiga ekor anjing yang ada dihadapannya. Aku sendiri, segera beranjak ke halaman untuk memanaskan mesin jeep tuaku. Hari ini, kami berencana untuk pergi ke pasar yang berada di kota kecamatan. Banyak keperluan yang harus kami beli disana.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangWhere stories live. Discover now