Bab III : Hari Kedua

821 80 11
                                    

Hari telah beranjak siang saat aku dan Romlah kembali dari pasar, karena sepulangnya dari pasar tadi sekalian kami singgah ke rumah Mas Bambang. Ada sedikit perlu dengan saudara sepupuku itu. Aku ingin ia menunjukkan batas batas ladang dan sawah peninggalan bapak sebelum aku mulai menggarapnya.

Kebetulan Mas Bambang juga sedang tidak sibuk hari itu. Jadi sekalian saja kuajak ke pondok. Namun, niat kami untuk melihat lihat batas sawah dan ladang sepertinya harus tertunda, karena saat sampai di pondok, sesuatu yang kurang menyenangkan telah menyambut kami. Butiran butiran beras kuning sepertinya telah sengaja ditabur oleh seseorang mengelilingi pondok kami.

Aku sendiri tak begitu mengerti apa maksud dari beras kuning yang disebar mengelilingi pondokku itu. Namun menurut Mas Bambang, ini adalah semacam guna guna yang dipasang untuk mencelakai kami.

Jelas aku sangat terkejut mendengar penjelasan Mas Bambang itu. Baru sehari kami tinggal disini, bahkan belum sempat berinteraksi dengan para penduduk desa. Lalu kenapa tiba tiba ada orang yang tega melakukan hal seperti ini kepada kami? Apa salah dan dosa kami?

Mas Bambang lalu berinisiatif untuk memanggil seseorang yang ia sebut sebagai Pak Modin. Menurutnya, orang itu adalah orang yang dituakan di desa Kedhung Jati ini. Aku hanya menuruti saja apa kata Mas Bambang. Meski aku tak sepenuhnya percaya dengan apa yang ia bilang sebagai guna guna itu, tapi kondisi istriku yang sedang hamil tua membuatku sedikit khawatir.

Nasib baik sepertinya masih berpihak kepadaku. Menurut orang yang biasa dipanggil Pak Modin itu, butiran beras kuning yang disebar mengelilingi pondokku ini hanyalah ulah orang iseng yang tak menyukai kehadiranku di desa ini. Siapa orangnya, Pak Modin sendiri tak bisa memastikan. Yang jelas, guna guna berupa taburan beras kuning ini tak akan banyak berpengaruh terhadapku. Saat kutanya kenapa? Pak Modin hanya menjawab singkat, karena aku adalah anak Mbah Kendhil.

Apa hubungannya? Usut punya usut, ternyata Pak Modin ini masih punya hubungan yang erat dengan bapakku. Bisa dibilang, secara tidak langsung beliau ini dulunya adalah murid dari bapakku. Bahkan, beliaulah orang terakhir yang dulu sempat bertemu dengan bapak, sebelum bapak dikabarkan menghilang tanpa jejak.

Kebetulan. Aku segera mengorek keterangan dari laki laki setengah baya itu soal keberadaan bapakku. Namun sepertinya kali ini aku kurang beruntung. Sama seperti warga desa yang lain, Pak Modin juga sama sekali tak tahu kemana sebenarnya bapak pergi, setelah kejadian pageblug yang dulu pernah melanda desa ini.

Ah, sepertinya pencarianku harus kembali menemui jalan buntu. Amanat dari ibuku sebelum meninggal dulu, rupanya belum bisa benar benar aku tunaikan. Namun ada secercah harapan yang aku dapat dari Pak Modin. Sebagai seorang murid yang mewarisi sedikit ilmu dari bapak, Pak Modin yakin, cepat atau lambat aku akan berhasil bertemu dengan bapak. Tak perlu dicari, karena kalau memang sudah waktunya, bapak sendiri yang akan datang menemuiku. Begitu katanya.

Entah aku harus percaya atau tidak dengan kata kata mirip ramalan yang diucapkan oleh lelaki setengah baya itu. Yang jelas, harapanku kembali muncul setelah mendengar semua yang dikatakannya. Semoga saja, semua yang ia ucapkan itu, bukan hanya sebuah isapan jempol belaka.

Sepeninggal Pak Modin, aku segera mengajak Mas Bambang untuk pergi ke ladang. Niat semula untuk melihat lihat batas lahan yang tadi sempat tertunda, akhirnya bisa kami lanjutkan kembali.

Mas Bambangpun lalu menunjukkan dimana saja batas batas ladang serta sawah yang menjadi hakku. Lumayan luas juga ternyata. Membentang dari sebelah barat pondok, sampai jauh ke ujung sebelah barat sana, dan berakhir di sebuah sungai yang bernama Kali Rampeng. Sedang di sebelah utara, berbatasan langsung dengan ladang milik salah seorang warga. Sementara di sebelah selatan, kebetulan berbatasan langsung dengan ladang milik Mas Bambang.

"Sepertinya kamu benar benar serius ingin menjadi petani ya Jok. Baru sehari disini, tapi sudah ada beberapa petak ladang yang selesai kamu cangkul," puji Mas Bambang setelah selesai mengitari ladangku.

"Maksudnya Mas?" Tanyaku heran. "Boro boro mulai mencangkul, lha wong kemarin saja seharian aku cuma sibuk membetulkan pondok kok."

"Lha, terus itu petak petak yang sudah selesai dicangkul?" Kini Mas Bambang yang gantian bertanya heran.

Deg! Aku terhenyak, baru sadar kalau memang ada beberapa petak dari ladangku yang telah selesai dicangkul. Dan itu petak petak yang letaknya tak begitu jauh dari pondok. Aku yakin seyakin yakinnya, bahwa kemarin saat aku sedang menebang bambu, petak petak itu masih terbengkalai dipenuhi oleh semak rerumputan liar.

"Jok! Ditanya kok malah melamun lho," sentakan Mas Bambang mengejutkanku.

"Ah, ndak kok Mas. Kita kembali ke pondok saja yuk, aku sudah lapar nih," ajakku dengan pikiran yang masih berkecamuk. Petak petak ladang itu, yang kemarin kulihat masih terbengkalai, namun hari ini sudah rapi dan bersih dari semak belukar, mengingatkanku pada suara orang mencangkul yang semalam kudengar saat aku sedang mencabut singkong di belakang pondok. Mungkinkah itu suara orang yang mencangkul di petak ladangku? Tapi siapa? Dan apa maksudnya diam diam menggarap ladangku di tengah malam buta?

Sampai di pondok, kebetulan Romlah telah selesai memasak. Kamipun segera bersantap siang bersama. Hidangan yang cukup sederhana, namun mampu menggugah selera. karena kemampuan memasak Romlah memang tak perlu diragukan lagi.

"Eh, apa yang kau pakai itu Lah?" Tanyaku heran saat melihat sebuah kalung dari untaian potongan kecil ranting bambu kuning yang dikenakan Romlah.

"Oh, ini Bang. Ini kalung pemberian Nenek Boghing. Katanya buat menjagaku dan juga bayi dalam kandunganku dari pengaruh buruk beras kuning yang disebar orang tadi," jawab Romlah, sambil menunjukkan kalung aneh yang dikenakannya itu.

"Nenek Boghing?!" Hampir serempak aku dan Mas Bambang menoleh ke arah Romlah.

"Siapa lagi itu Nenek Boghing?" Tanyaku.

"Entahlah Bang. Mungkin warga sekitar sini juga. Atau ..., Mas Bambang mungkin mengenalnya?" Romlah balas menoleh ke arah Mas Bambang.

"Hmmm, kemarin bocah kuping lancip dan perempuan leher bengkok. Sekarang Mbah Boghing. Sepertinya kau benar benar anak kesayangan Mbah Kendhil Jok," gumam Mas Bambang sambil kembali menyuap nasi kedalam mulutnya.

"Maksudnya apa sih Mas? Kok aku kurang paham ya?" Tanyaku.

"Ah, ndak papa kok. Cuma, setelah mendengar cerita kalian tentang kemunculan mereka mereka yang sepertinya begitu baik kepada kalian, aku sudah tak terlalu khawatir lagi kalau kalian berdua tetap nekat tinggal di pondok ini," jawab Mas Bambang, yang membuatku justru semakin penasaran. Namun sepertinya Mas Bambang enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. Ia justru asyik menyendiri nasi di dalam piring nya.

Bersambung

PS : gimana nih, semakin seru dan bikin penasaran nggak ceritanya? Siapa yang menyebar beras kuning di sekitaran pondok Mas Joko? Dan siapa yang diam diam menggarap ladangnya di tengah malam buta? Ada yang masih ingat nggak, siapa sosok Mbah Boghing ini? Komen dibawah yak, biar mangkin rame ini cerita 😊

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang