Bab XVI : Aksi Sang Jawara

684 59 4
                                    

"JEDHHUUAARRRR ...!!!" Sebuah ledakan keras terdengar, disusul dengan suara jerit kematian yang begitu menyayat hati, membuatku terjingkat kaget karenanya.

"Arrrgghhh ...!!!" Rasa nyeri di pinggangku kembali terasa menggigit saat tubuhku tanpa sengaja terlonjak kaget. Dengan mata nanar aku lalu menatap kedepan. Sosok wewe gombel itu, kini nampak berdiri dengan pongahnya, menatap ke arah kami bertiga yang sudah tergeletak tanpa daya. Aroma sangit daging terbakar menguar menusuk indera penciuman. Sementara sosok perempuan berdaster putih dan laki laki bercaping tadi, sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

"Cuih! Anak kemarin sore mau sok sok-an menantangku," sosok wewe gombel itu melangkah terseok ke arah kami bertiga. "Kini giliran kalian!"

Tak mau mati konyol, aku mencoba bangkit. Namun cedera di pinggangku sepertinya lumayan parah, hingga jangankan untuk bangkit, untuk sekedar menggeser posisi tubuhku saja aku merasa sangat kesulitan.

"Sial! Kenapa disaat seperti ini ...," aku merutuk kesal, saat tubuhku kembali terhempas diatas hamparan pasir.

Tak jauh berbeda denganku, Pak Modin dan Mas Bambangpun sepertinya mengalami hal yang sama denganku. Mereka mencoba untuk bangkit, namun gagal.

"Wis! Modyar tenan awak'e dhewe Jok!" Panik Mas Bambang sambil memegangi betis kirinya. Sepertinya ia mengalami cidera parah di bagian itu.

"Jangan menyerah! Kita lawan makhluk itu sampai titik darah penghabisan!" Pak Modin memberi semangat disela nafasnya yang tersengal. Diantara kami bertiga, sepertinya hanya beliau kondisinya sedikit lebih baik, meski dari sudut bibir dan kedua lubang hidungnya masih merembes darah kental.

Aku hanya tertawa sumbang. Bagaimana mau melawan kalau untuk sekedar bagkitpun kami sudah tak mampu. Sementara si makhluk menyeramkan itu semakin mendekat ke arah kami.

Aku hanya bisa menutup mata pasrah. Entah bagaimana dengan Pak Modin dan Mas Bambang. Kurasa mereka juga melakukan hal yang sama denganku.

"Dasar pencuri kecil!!!" Kudengar si wewe gombel itu merutuk kesal, membuatku yang merasa heran kembali membuka kedua mataku. Kulihat si wewe gombel itu kini telah berbalik membelakangi kami bertiga dan menatap ke arah semak pandan berduri yang berada di tepian kali.

"Kau juga tak mau ketinggalan rupanya. Mau ikut setor nyawa juga heh?!" si wewe gombel menggeram marah, sambil melangkah tertatih ke arah rumpun semak pandan berduri itu.

"KELUAARRR ...!!! Biar sekalian kucabik cabik tubuh busukmu itu!"

Rumpun semak pandan berduri itu nampak bergoyang goyang. Lalu sesosok makhluk kecil menyerupai monyet namun tak berbulu menerabas keluar dari sebaliknya.

Kutajamkan indera pengelihatanku. Makhluk kecil mirip monyet itu melompat lompat dengan sangat lincahnya, menghindari serangan dari si wewe gombel yang dilancarkan dengan sangat tiba tiba.

Sosoknya terlihat semakin jelas, karena sosok kecil itu sepertinya mengarahkan gerakannya mendekat ke arahku. Aku kembali dibuat terkejut saat bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah kecil keriput, dengan sebelah mata membeliak lebar, sementara sebelahnya lagi buta. Bibirnya teramat sangat lebar, menyeringai hingga kedua ujungnya nyaris mencapai telinga yang sedikit lancip mirip telinga kelelawar. Sosok itu, pastilah sosok si bocah berkuping lancip yang sering diceritakan oleh Romlah.

Rasa keterkejutanku semakin bertambah tambah, manakala melihat apa yang dibawa oleh bocah itu. Sesosok bayi mungil terbungkus kain kumal nampak dalam gendongan makhluk aneh itu.

"Anakku!" Aku berseru lantang. Semangatku kembali bangkit saat bocah aneh itu melompat ke arahku, lalu meletakkan bayi yang dibawanya kedalam pangkuanku. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tapi ekspresi wajah anehnya cukup jelas bahwa ia memberi isyarat kepada kami untuk segera pergi dari tempat ini.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangWhere stories live. Discover now