Bab XI : Keributan Di Pondok

756 72 13
                                    

Sarapan dengan menu seadanya, namun terasa begitu nikmat. Itu yang kurasakan pagi ini. Segala resah dan gelisah yang kurasakan beberapa hari belakangan ini, luntur sudah oleh sikap Romlah yang kembali normal seperti sedia kala.

Selesai sarapan, aku segera bersiap untuk berangkat ke pasar. Sempat mengajak Romlah untuk ikut serta, namun perempuan itu sepertinya memiliki kesibukan sendiri. Belakangan ini ia mulai sibuk menanam aneka tanaman bunga di sekeliling halaman pondok kami, hingga pemandangan di sekitar pondok mulai terlihat asri.

"Nanti belikan saja bakso di tempatnya Kang Tarno Bang. Sepertinya anak kita lagi pengen makan bakso," demikian ujar Romlah sambil mengelus elus perutnya.

Kukecup pelan perut yang nampak semakin membuncit itu, sambil kubisikkan janji kepada calon anakku, bahwa nanti sepulang dari pasar akan kubawakan bakso spesial dari warung baksonya Kang Tarno.

Akupun segera berangkat. Sengaja aku berangkat pagi pagi, karena pasar yang letaknya berada di kota kecamatan itu hanya ramai di pagi hari saja. Itupun tidak setiap hari., tapi hanya di hari hari tertentu saja.

Sesampainya di pasar, aku segera membeli apa apa saja yang telah dipesankan Romlah tadi di rumah. Selain itu, aku juga membeli beberapa bibit tanaman yang akan kutanam di ladang nanti. Sempat aku tertegun saat melewati beberapa kios yang menjajakan aneka pakaian bayi dan anak anak. Terbersit niat untuk membeli barang sepotong atau dua potong pakaian untuk calon anakku. Namun niat itu aku urungkan. Selain karena uangku yang mulai menipis, juga karena aku belum tau apakah anakku nanti lahir laki laki atau perempuan.

Menjelang siang, akupun lalu memutuskan untuk pulang. Dan seperti rencanaku semula, aku menyempatkan diri untuk singgah di rumah Pak Modin. Kuutarakan semua hal yang terasa mengganjal di hatiku kepada laki laki setengah baya itu. Termasuk kehadiran beberapa sosok aneh dan misterius yang sering ditemui oleh istriku.

Tak banyak yang diceritakan oleh laki laki sesepuh desa itu. Ia hanya berpesan, agar aku dan Romlah sebisa mungkin menjaga jarak dengan mereka, karena biar bagaimanapun, mereka adalah makhluk dari golongan jin yang memiliki sifat penuh tipu daya dan menyesatkan.

Sempat Pak Modin mentertawakanku, saat aku meminta syarat syarat atau apapun itu untuk menjauhkan makhluk makhluk itu dari istriku.

"Apa yang bisa kuberikan Mas?" Demikian ujarnya. "Lha wong aku ini juga cuma manusia biasa, sama seperti sampeyan. Bukan dukun atau orang pintar yang bisa ngasih jimat buat ngusir makhluk begituan. Intinya sih, sampeyan berdua lebih mendekatkan diri saja sama Yang Maha Kuasa."

"Ah, sayang sekali," aku mendesah, sedikit kecewa mendengar penolakan laki laki setengah baya itu. "Padahal saya dengar dari warga ...."

"Jangan terlalu percaya dengan omongan warga Mas. Mereka itu terlalu membesar besarkan cerita. Memang pernah beberapa kali, saya membantu orang orang yang mendapat gangguan dari para dedhemit penghuni Tegal Salahan itu. Tapi itu hanya kebetulan. Lagipula, untuk kasus sampeyan ini, jelas sangat berbeda. Sampeyan anak Mbah Kendhil. Keturunan langsung dari satu satunya orang yang berhasil menundukkan ratu dedhemit disana. Kalau ternyata masih ada makhluk penghuni tempat itu yang berani mengusik sampeyan, jelas itu bukan makhluk sembarangan. Dan saya juga ndak berani mengambil resiko. Bukannya saya takut lho ya, cuma saya merasa harus lebih hati hati lagi dalam menyikapi kasus sampeyan ini. Selama mereka belum benar benar membahayakan sampeyan dan keluarga, saya rasa belum waktunya bagi kita untuk mengambil tindakan."

"Tapi Pak Modin bersedia membantu kan kalau sewaktu waktu mereka benar benar mengganggu kami?" Desakku tak sabar.

"Insya Allah Mas, sewaktu waktu dibutuhkan, saya selalu siap membantu. Karena itu sudah menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai sesepuh desa," jawab laki laki itu mantap.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora