Bab XII : Perempuan Itu Akhirnya Menjadi Gila

707 62 2
                                    

"Lah, kudengar Mbak Halimah sakit," ujarku pelan, saat malam itu kami tengah duduk duduk di teras sambil menikmati indahnya bulan purnama.

"Darimana Abang tau?" Tanya Romlah tanpa menoleh. Kedua tangannya sibuk mengupas buah mangga mengkal yang siang tadi kupetik di ladang.

"Ada beberapa warga yang bilang, saat tadi ketemu di ladang," jawabku.

"Lalu?"

"Tidakkah sebaiknya kita menengoknya?" Aku balik bertanya.

Sejenak Romlah menatapku, lalu kembali sibuk dengan buah mangga di tangannya. "Terserah Abang saja."

"Kamu tak keberatan?" Kini aku yang menoleh ke arah Romlah.

"Kenapa harus keberatan?"

"Emmmm ..., soal yang kemarin itu, kupikir ...."

"Tak ada hak-ku untuk melarangmu kesana Bang," Romlah memotong motong buah mangga yang telah selesai ia kupas dan menaruhnya diatas piring. "Biar bagaimanapun ia saudaramu, yang berarti juga adalah saudaraku. Asal Abang bisa jaga mata dan jaga hati saja."

"Kau cemburu?" Tanyaku setengah menggoda.

"Istri mana yang tak cemburu kalau suaminya dilirik orang Bang," Romlah mulai mengunyah potongan buah mangga itu dengan nikmat. "Tapi Romlah percaya, Abang tak mungkin macam macam."

"Syukurlah kalau begitu," ujarku lega. "Oh ya, soal yang kemarin itu, bagaimana ceritanya sampai bisa terjadi Lah?"

"Soal yang mana Bang?"

"Ah, kau ini. Kura kura dalam perahu."

"Abang tanya saja sendiri sama Mbak Halimah."

"Tapi aku lebih percaya padamu Lah."

"Hiha henghakha hakhaikhu hang."

"Hah?!"

Romlah menelan potongan buah mangga yang memenuhi mulutnya, lalu memperjelas ucapannya. "Dia mengata ngataiku Bang."

"Apa yang dia bilang?"

"Banyak. Kata kata yang sangat pedas dan menyakitkan, yang membuat kupingku menjadi panas seketika."

"Lalu?"

"Apa lagi! Kujambak rambutnya, lalu kuremas mulutnya yang lemes itu! Habis itu kubanting dan kucakar cakar mukanya. Sayang warga keburu datang! Kalau tidak, Huh! Mungkin sudah kukencingi wajah mesumnya itu!"

"Aish! Kejam!"

"Siapa yang kejam Bang?"

"Ah, enggak kok," aku tertawa geli melihat Romlah yang menatapku dengan mata membulat galak.

"Oh ya Lah. Kalung yang kau pakai itu, apa tidak sebaiknya dilepas saja?" Tak mau membuat Romlah gusar, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya kenapa Bang?" Romlah meraba kalung dari untaian bambu kuning yang dipakainya.

"Pak Modin yang menyarankan begitu," jawabku.

"Oh, kukira Abang telah berjumpa dengan Mbak Dewi," Romlah kembali asyik mengunyah mangganya.

"Mbak Dewi?" Tanyaku heran.

"Iya. Kemarin dia juga menyarankan seperti itu Bang. Tapi kata Nenek Boghing, kalung ini harus selalu kupakai, untuk menjaga bayi dalam kandunganku ini dari pengaruh buruk."

"Pengaruh buruk apa?"

Romlah mengangkat bahu. "Entahlah. Aku juga nggak tau Bang."

"Aneh," gumamku.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangWhere stories live. Discover now