04. Sambutan Selamat Datang

7.6K 1.4K 514
                                    

Di awali Jagatra, satu per satu anak muda itu turun dari singgasananya. Sambil merapatkan jaket masing-masing, mereka mendekati sang koordinator dengan langkah yang mati berkata jujur enggan mereka ukir. Terhenti di tengah hutan gelap gulita seperti ini bukanlah keputusan yang mereka sepakati. Tidak ada satu pun lampu penerangan jalan. Bahkan saat mereka mendongak, bulat sabit kecil tampak tertutup oleh awan hitam yang mengepul seperti kapas.

Uakan burung hantu yang bersahutan dengan longlongan anjing liar menjadi teman suasana paling horor yang perlahan menumbangkan keberanian. Belum lagi hembusan angin malam yang beradu dengan angin laut, semakin membuat tubuh menggigil ingin cepat pergi dari sini.

Gilang membanting pintu mobil, buru-buru dia keluar. Kemunculan kucing putih dari balik semak-semak yang amat sangat tiba-tiba membuat nyawanya sedikit jatuh terhempas. Ini bukan hanya perkara tabrak menabrak. Pikiran Gilang tidak hanya terjebak di sana. Melainkan ada yang lebih mengacak-acak isi kepala lelaki itu. Sungguh, dia sudah mencoba mencegah sedini mungkin untuk menghindar meski pada akhirnya tidak ada gunanya.

"Kita harus gimana?" Gilang kentara panik dari wajahnya yang sedikit berpeluh keringat.

Telinga Gilang masih merekam begitu kuat sampai terngiang-ngiang bagaimana suara terakhir kucing itu mengeong sekarat ketika ban mobil yang dia kendarai melindas tubuhnya tanpa ampun.

"Tanggung jawablah ege! Lo udah bikin banyak istri menjanda malam ini!" Haikal sebenarnya sedang berusaha membuat lelucon, tapi tidak ada yang tertawa.

"Gue jadi inget, kalau nabrak kucing itu artinya---"

"Ssstt!" Maraka memotong cepat perkataan Raline. Dia seakan mampu membaca kemana arah pembicaraan gadis itu. "Nggak akan terjadi apa-apa. Ini cuman kecelakaan."

Maraka berusaha mengusir kekhawatiran. Sebab lelaki itu mampu membaca ekspresi urat tegang dari wajah anggotanya. "Besok kita adain sedekah sama anak-anak sekitar Posko. Harus kayak gitu kan kalau abis nabrak kucing?"

"Kata orang tua sih gitu." Dewa mengangguk tidak yakin.

Elisa--si mahasiswa Kedokteran Hewan, bersama Kinanti--yang sudah lama mengabdikan diri secara suka rela sebagai babu dari spesies hewan bernama kucing memutuskan untuk mendekat agar bisa melihat keadaan. Namun sepertinya Kinanti tidak kuat berlama-lama melihatnya. Baru juga dua detik, dia sudah menutup mata dan mau menangis saking tidak tega.

"Mundurin mobilnya dikit, ini masih kelindes," titah Elisa yang tampak sudah biasa.

Jagatra segera mengambil alih. Sampai mereka yang berdiri melingkar bisa menyaksikan seonggok kucing putih yang sudah hancur di bagian perut dengan lumuran darah kemana-mana. Matanya yang coklat melotot dengan lidah yang menjulur ke luar. Darah segarnya turut memberi jejak dan membasahi ban mobil. Isi perut dari kucing malang itu tumpah ruah ke jalan dengan acak-acakan.

"Kita kubur dulu kucing ini," putus Maraka ikut berjongkok bersama Elisa.

"Nguburnya pake apa?" Lana bertanya bingung. "Emang ada yang bawa cangkul?"

"Pake batu bisa kayaknya," saran Gilang terdengar memaksakan, tapi ini cara agar rasa bersalahnya sedikit terobati. "Nanti tanahnya dikeruk pake tangan gue."

"Tunggu dulu deh!" Sayangnya, suara Asmara lebih cepat menahan pergerakan mereka. Gadis yang menjadi pusat tatapan itu hanya menghadapkan wajahnya ke Maraka seorang. "Sebaiknya kita nggak usah kubur kucing ini, bakal banyak waktu yang kebuang."

"Gue setuju sama Asrama!" dukung Wilona. "Bangkainya dibungkus pake kain aja, habis tuh simpen di pinggir jalan."

"Jam sembilan kita harus udah keluar dari hutan ini, waktunya nggak bakal keburu," timpal Asmara lagi memutar fakta yang tidak bisa mereka lupakan.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now