09. Hancurnya Posko KKN

6.8K 1.3K 442
                                    

Sesampainya di daun pintu dapur, Kinanti dan Lana berpisah berlawanan arah. Kinanti mengambil panci yang menggantung di tembok, sedangkan Lana mengambil air di kamar mandi. Mendengar suara Wilona yang terus berteriak kencang, membuat jantung mereka dipacu cepat kesetanan.

Harusnya memanaskan air adalah perbuatan sederhana, namun semua menjadi rumit tat kala kompor dua tungku itu sulit dinyalakan. Kedua tangan Kinanti sudah memutarnya berulang kali sampai jengkel, tetapi api tidak kunjung juga menyambar.

"Gue panggil Haikal ya?" usul Lana cepat ketika melihat Kinanti kesulitan. Ingin membantu, tapi tidak tahu harus dengan cara apa.

Kinanti tidak langsung menjawab. Entah tidak terdengar karena sedang fokus atau memang kalimat Lana dia anggap sebagai angin lalu saja.

Seketika berjongkok, dengan pengetahuan minimnya, Kinanti goyangkan gas elpiji yang sudah tersambung selang pada kompor di atas meja. Mata yang bergerak tak beraturan itu bisa melihat bagaimana jarum spedometer regilator gas elpiji berada di warna merah. Kinanti menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan pemasangan gasnya sehingga partikel itu tidak naik dan berubah menjadi api.

"Lan, tolong cariin karet gas yang kecil warna merah!" Perintah Kinanti.

"Di mana?"

"Di kamar ujung, di kardus kompornya!"

"Oke wait," balas Lana langsung berlari. Hampir menabrak Asmara yang hendak menuju kamar mandi.

Asmara yang melihat Kinanti tengah menggigiti kuku saking bingung campur waswas seketika menyadarkannya. "Kinan buruan! Wilona udah muntah darah!"

Memang betul, Kinanti hanya mendengar tanpa melihat keadaannya secara langsung, tapi tubuh gadis itu bereaksi lebih dengan semakin dibuat panas dingin. Telapak tangannya basah berkeringat. Hingga akhirnya dia menarik Asmara yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Bantuin gue bawa batu!" pekik gadis dengan rambut cepol acak-acakan itu.

"Buat?"

"Nggak usah banyak tanya! Buruan angkat!" Terpaksa Asmara harus meletakkan dulu ember yang tidak mempunyai kawat pegangan itu. Hanya untuk membatu Kinanti mengangkat batu berukuran cukup besar yang biasanya dijadikan bahan membangun pondasi rumah.

Mereka meletakkan batu di atas tabung gas elpiji. Menghimpit berat regilator. Yang tiba-tiba tanpa telinga mereka sadari menghasilkan desisan seperti kebocoran. Sulit bagi Kinanti berpikir jernih apalagi terstruktur. Di dalam kepala yang riuh berantakan, hanya ada doktrin penekanan bagaimana cara dia untuk segera memanaskan air.

Tergesa-gesa, Kinanti mengambil korek bensin yang tersimpan di rak piring. Tepat saat dia memutar kenop kompor berwarna hitam, lubang tungku itu mengeluarkan semburan gas dengan jumlah yang tidak sewajarnya. Gas adalah partikel yang tidak terlihat. Hingga indera pemudi itu gagal mengetahuinya. Dan meski baunya tercium menyengat, Kinanti menganggapnya sesuatu yang wajar. Bertepatan Asmara mengunci pintu sehabis membawa ember dan Lana kembali membawa karet sesuai permintaan, Kinanti menyundutkan korek bensin sehingga tidak bisa ditampik, api langsung menyambar tinggi sekali. Nyaris menyentuh langit-langit dapur.

Bahkan ketiga gadis itu sampai memekik dan mundur beberapa langkah. Dengan amat sangat mudah, api merah merambat pada gorden yang berada tak jauh dari kompor. Lalu pada wadah bumbu plastik yang menempel di tembok. Puncaknya listrik mendadak mati dan lampu dapur meledak kecil hingga kobaran api semakin ganas melahap apa saja yang dia lewati.

Panas. Mereka seperti tenggelam dalam lautan api. Tangan-tangan yang bergetar hebat ketakutan itu mengipasi udara sekitar. Batuk-batuk parah tanpa henti. Kanan kiri, atas bahkan bawah betulan dikelilingi api semua. Rasanya seperti dipanggang hidup-hidup. Kinanti berusaha mematikan kompor, tapi sumber utama api itu semakin membesar. Asmara dengan embernya yang diisi air coba memadamkan api, bolak balik ke kamar mandi sambil berteriak minta bantuan.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now