10. Kiriman Teror Perdana

7.1K 1.3K 628
                                    

Bertambah malam, serbuan rintik hujan masih terus menyerbu meski hanya tinggal gerimis kecil. Seolah tangan Tuhan ingin turun langsung membantunya tanpa perantara. Tidak terhitung berapa kali terdengar ribut guntur dekat puncak kepala. Mereka seakan tidak punya kekuatan untuk merasa takut lagi. Sebab alih-alih takut mati tersambar petir, mereka lebih takut menyaksikan kematian dua nyawa lain yang seakan sudah ada di depan mata.

Lima personil Pemadam Kebakaran, berseragam orange cerah dengan helm pelindung kepala, bergerak cepat. Memboyong selang berukuran besar yang bersumber dari dua buah truck tangki. Setelah aba-aba hitungan, air disemprotkan pada musuh di depannya dari jarak tiga meter.

Sirine dua ambulance dibiarkan menyala dalam ruang lingkup kegelapan. Lebih dari dua Polisi bergegas memasang garis kuning di area halaman, mencegat siapa saja yang ingin mendekat. Tepat ketika kobaran api besar ditaklukkan. Gelap malam tanpa bintang sekaligus bunyi sirine yang bersahutan tak mau kalah membuat bulu roma meremang kala mendengarnya. Dua brangkar didorong dengan tenaga sekuat mungkin. Membawa pasien yang keadaannya disinyalir tidak sadarkan diri.

Suara gesekan roda brangkar dan aspal membawa getir hati. Selimbut putih yang menjadi alas Kinanti tertidur tidak polos lagi karena noda merah yang berasal dari bocornya belakang kepala. Saat roda itu melewati sekumpulan manusia, tercium perpaduan bau amis. Tampak mengerikan membuat siapa saja seketika mengingat kematian. Di dalam mobil yang berbeda, Lana dipasangi oksigen uap dengan tekanan cukup tinggi.

Issa bergegas menggantikan posisi Ares untuk menenangkan Raline yang masih kesusahan menghentikan tangis. Terisak kencang dengan bibir gemetar kebiruan di wajahnya yang kacau. Sementara Jeano, ditugaskan Maraka membantu Ares dan Dewa. Ikut menemani anggota lain yang harus dirujuk ke Puskesmas atau mungkin lebih dari itu.

"Kalau ada info apa-apa, langsung kabari gue, Bang," pesan Jeano cepat sebelum pergi.

"Lo juga." Hanya dua kata yang bisa Maraka berikan.

Dalam radius sekian meter--masih dengan ambisinya--Jagatra bersikeras menerobos garis Polisi yang sudah terlanjur melintang. Bertarung kekuatan dengan mereka yang berseragam, meminta dengan paksa agar Jagatra tetap berada di kawasan aman.

"JAUHIN TANGAN LO BANGSAT!! BIARIN GUE MASUK!! DUA TEMEN GUE MASIH DI SANA!!" Kesekian kalinya Jagatra berteriak kasar, berusaha kabur dari dua Polisi yang menahan geliatnya.

"HARAP SABAR DAN KOOPERATIF!!! KITA TUNGGU SAMPAI PLTA MEMATIKAN ALIRAN LISTRIKNYA, BARU KITA CARI TEMAN KAMU!!!"

"HARUS BERAPA LAMA LAGI MEREKA NUNGGU?!" Mata legam itu memerah dan menatap lawan bicaranya nyalang sekali.

"SAYA PAHAM TAPI INI SANGAT BERISIKO!! KHAWATIR TEGANGAN LISTRIK MEMBUAT KITA MATI TERSETRUM!!!"

Dibuat naik pitam hingga habis kesabaran, Jagatra tidak tanggung-tanggung menarik kencang kerah lelaki di depannya. Kilatan amarah muncul berapi-api dari matanya yang berair begitu saja. Jagatra memegangi kerah seragam itu dalam genggaman kuat, tidak sedikit pun memberikan kesempatan untuk terlepas.

"LO TAKUT MATI, TAPI TEMEN GUE LO BIARIN MATI!! DAMKAR MACAM APA LO HAH?!"

"KALAU LO NGGAK MAMPU, BIARIN GUE YANG MASUK!!" teriak Jagatra lagi dan lagi. Tidak peduli jika dia kehilangan pitas suaranya. "TANGAN KAKI GUE MASIH BISA CARI SENDIRI!!"

Tiba-tiba Maraka datang, melerai Jagatra yang sangat dikuasai gelapnya emosi. Dia menghempas tangan Jagatra hingga genggaman super kuat itu terlepas dan sosok petugas di sana bisa bernapas lega lagi.

"Tenang, Tra! Tenang!" bentak lelaki tertua itu mendorong tubuh Jagatra susah payah. Tatapan Maraka menajam, mengutuk tindakan Jagatra yang menurutnya, sangat di luar batas.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now