06. 1 Hari di antara 46 Hari

8.1K 1.3K 367
                                    

"A Maraka, ini kunci rumahnya."

Disertai senyuman yang mampu membuat ceruk di pipinya, Pak Sambas menyerahkan benda kecil yang digantungi bandul krincing. Bulat seperti kalung anjing yang bisa berbunyi. Kepada anak lelaki yang dia ketahui sebagai penanggung jawab atas semua keterlibatan mahasiswa KKN yang akan menempati rumah bekas orang tuanya.

"Terima kasih, Pak," jawab Maraka ikut tersenyum. "Terima kasih juga atas tumpangannya. Kalau tadi nggak ada Bapak, kami pasti belum sampai sini."

"Bukan karena saya. Tapi Karena Allah yang memberikan pertolongan lewat saya." Pak Sambas dengan rendah hatinya. Mampu membuat anak-anak muda itu merasa tidak salah telah menyewa rumah ini.

"Oiya, di sini masih suka mati lampu, apalagi kalau hujan. Harus sedia lilin sama senter, ya," pesan Pak Sambas. Menunda niatnya untuk pulang.

"Sama satu lagi," sambungnya belum tuntas. "Air PDAM di sini kadang susah. Kalau nggak ada air, warga sini suka mandinya di sungai. Nanti kalau kalian perlu ke sana, bilang aja, biar anak saya yang anterin."

Melihat wajah-wajah yang tampak kusut merindukan istirahat, lelaki brewok dengan jambang hitam itu lekas berpamitan. "Kalau begitu saya pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, langsung ke rumah saja."

"Siap, Pak. Terima kasih."

Setelahnya mobil pick up berwarna putih dari seseorang yang mereka ketahui bekerja sebagai Pedagang sayuran di Pasar itu menjauh dari sana. Menuju rumah pemiliknya yang berjarak sekitar 500 meter dari Posko. Seperti yang sudah diungkapkan, bahwa rumah di Kampung Kerajan memiliki jarak yang berjauhan satu sama lain. Dipisahkan oleh bentangan pesawahan dan perkebunan atau paling tidak lahan kosong yang biasa digunakan tempat menggembala hewan ternak.

"Ayo masuk." Maraka menyadarkan lamunan mereka. Membantu menyeret koper yang entah milik siapa, memimpin di depan memasuki halaman rumah berwarna kuning yang masih gelap gulita.

Tangan lelaki itu memasukan kunci ke dalam lubang tempatnya. Memutarnya ke arah kiri sebanyak dua kali. Tepat saat pintu cokelat itu dibuka selebar mungkin dan Maraka mengucapkan salam pelan, angin berhembus kencang dari dalam. Sekali menyembur seperti hembusan kipas sate. Menampar wajahnya hingga terpejam. Lalu setelah itu, semerbak aroma melati menyapa hidung Maraka. Awalnya hanya semilir, lalu menyengat kuat dan tidak lama hilang dengan sendirinya.

Tapi sepertinya hanya Maraka dan Ares yang bisa mencium. Sebab saat dia menoleh ke belakang, yang lain tampak tidak tidak bereaksi apa-apa. Selain menatap langit-langit rumah yang dihiasi rumah laba-laba. Hanya Ares seorang yang menyerngit dan menggosok lubang hidungnya merasa terganggu. Juga spontan menatap Maraka dengan tidak biasa. Seolah mengkonfirmasi bahwa dia juga menghirup apa yang Maraka pikirkan.

Sang Koor berdeham. Menatap serius semua anggotanya. "Masuk awali kaki kanan, jangan lupa ucap salam."

Menurut. Pintu utama langsung mengarah pada ruang tamu yang tidak terlalu besar. Mengikuti Maraka, Ares dan Jagatra mengecek seisi rumah. Di ruang tamu ini, ada sepaket sopa dan meja yang masih dibungkus kain rapat-rapat. Mungkin karena rumah sudah lama tidak ditempati, makanya Pak Sambas membungkus semua properti di sini dengan kain putih. Yang sialnya saat Dewa membuka itu, Dewa serasa menyentuh tekstur yang sama seperti kain kafan. Mendadak pemuda itu mengurungkan niatnya.

"Yang cowok cari sakelarnya dong!" seru Lana yang kalau dalam keadaan gelap serasa tidak bisa bernapas dengan lega. "Jangan gelap-gelapan gini, nanti lo semua nggak bisa lihat kecantikan gue."

"Mending gitu sih," gumam Gilang di sampingnya. "Daripada sakit mata."

Lana seketika mendorong Gilang tidak terima. Sebenarnya tidak kencang, tapi karena posisi berdiri Gilang sangat dekat nakas, dia tidak sengaja menyenggol sesuatu hingga jatuh dan menghantam alas keramik putih. Kalau dari suaranya seperti patung yang terbuat dari tanah liat.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now