16. Semoga Lebih Banyak Hal Baik

6.3K 1.1K 333
                                    

Sore itu, Elisa mendorong pintu sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Aroma kuat obat-obatan langsung menyeruak menembus lubang hidung gadis bermata kucing itu. Dengan gontai, dia bawa kakinya mendekat. Untuk sesaat Elisa sibak gorden pemisah dua brangkar. Hanya untuk memastikan Ares sedang apa. Rupanya lelaki itu terlelap dalam tidurnya.

Elisa si pemegang gengsi yang besar, menoleh ke belakang dengan lemas. Pada sosok yang masih terus terpejam meski cairan infus sudah hampir habis. Seolah alam bawah sadarnya lebih menggoda dan menjanjikan ketenangan dibanding alam yang banyak menunggunya kembali seperti sedia kala.

Melumat bibir pelan, mata sayu Elisa tidak lepas pandang dari wajah Dewa yang pucat pasi. Dua bilah bibirnya kering. Dada itu naik turun beraturan. Ekpresi tengil Dewa seakan padam. Yang ada hanya kesan lelah. Elisa mendudukan tubuhnya di kursi yang tersedia di sana. Dia beranikan tangannya untuk mengusap tangan Dewa dan lambat laun menggenggamnya.

“Dewa, cepetan bangun,” monolog gadis itu pelan dengan harap yang besar. “Lo nggak mau minum? Bibir lo pecah-pecah tuh.”

“Lo selalu cerita kata Mami, lo harus minum satu hari delapan gelas biar enggak dehidrasi. Lo barus buka mata terus minum yang banyak. Nanti Mami lo marah, gimana?”

“Nanti kalau Mami lo tahu, fasilitas pribadi lo dirampas, lo kan nggak bisa hidup tanpa kemewahan.” Tidak pernah ada yang tahu, ini adalah kalimat terbanyak dan terpanjang yang Elisa katakan kepada Dewa. Sayangnya, lelaki itu tidak bisa mendengar.

Elisa menghela napas panjang dan sesak. Jemari gadis itu terangkat untuk mengusap pipi Dewa yang lebam membiru. “Kata Ares, lo kangen gue. Gue di sini, Wa. Gue ada di samping lo.”

“Gue juga kangen sama lo.” Gadis itu spontan menggigit bibir. Sebelum kepalanya tertunduk rapuh.

Ternyata begini rasanya disiksa oleh perasaan menghargai yang terlambat. Rasanya nyeri di bagian dada. Elisa terlalu menyepelekan keberadaan Dewa dan tingkah ajaibnya. Elisa terlalu sering mengutuk kalau lelaki itu memperlihatkan perasaannya. Padahal apa yang Dewa lalukan sama sekali tidak merugikan. Padahal apa yang Dewa lalukan, tidak pernah meminta imbalan. Sampai Elisa lupa, bahwa sehat tidak selamanya milik manusia. Gadis itu baru saja diserang rindu, baru saja ditikam kesadaran, setelah Dewa tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Setelah dia tidak bisa mendengar suaranya, setelah dia tidak bisa melihat binar matanya yang selalu terang ketika menatap Elisa.

Diusapnya air mata yang menggenang itu sebelum jatuh menetes ke pipi. Elisa bangkit, hanya untuk mencondongkan tubuhnya dekat dengan wajah Dewa. Dan mengusap lembut kening lelaki itu dengan ibu jari. Elisa paksakan bibirnya untuk tersenyum meski dia rasa tidak pantas.

“Dewa, gue udah janji sebelumnya, gue nggak bakal marah kalau lo panggil gue bawang merah. Lo denger itu kan?” tanya Elisa seolah-olah Dewa bisa mendengar.

Satu tetes air mata Elisa jatuh dan menyentuh pipi Dewa. Gadis itu menggigit bibir. Menahan isak agar tidak tumpah. “Ayo, panggil gue bawang merah sesuka lo. Nanti gue panggil lo bawang putih, mau?”

Entah ini harus diartikan kejaiban atau kekuatan, tapi sedikit demi sedikit jari telunjuk Dewa bergetar. Elisa tertegun sedikit kaget sampai mengucek matanya memastikan. Terasa lama sekali, tapi akhirnya pelan namun pasti kelopak mata Dewa ikut berkedut. Seperti menyesuaikan cahaya ruang inap yang terang benderang. Delapan detik setelahnya, senyum Elisa turut mengembang tepat ketika mata Dewa terbuka sempurna. Meski masih sayu, mata mereka beradu lama sekali.

“Hai,” sapa perempuan itu canggung namun tidak bisa menahan raut bahagianya. Tidak ada lagi gengsi yang dia pertahankan. Elisa menerima Dewa dengan tangan terbuka.

Dewa berkedip dua kali. Sebelum menelan ludah kekeringan. Elisa yang peka langsung membantu lelaki itu untuk minum lewat sedotan. Gerakan Elisa terlihat telaten dan lembut. Seharusnya ini di abadikan, tapi keadaan tidak memungkinkan.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now