20. Sepasang Kisah Dua Cinta

5.7K 1K 332
                                    

Merasa cukup memperhatikan kepergian Gilang dan Lana, Maraka menghadapkan wajahnya pada Kinanti yang terlihat tidak lagi menunjukan antusias ketika berada di dekatnya. “Di sana yuk sambil duduk, biar enak.”

Yang diajak masih setia mengunci mulut. Logikanya seperti meneriaki untuk pergi saja tanpa menuruti, tapi hati dan perangainya paling berani berkhianat. Kinanti tergerak mendahului membawa kakinya ke base tembok yang berdiri dekat gerbang sekolah. Mendaratkan bokong di sana. Diikuti Maraka yang duduk dekat di sampingnya.

“Ki/Bang?” Tiba-tiba mereka memanggil satu sama lain di waktu yang sama. Dalam jarak yang sedekat ini, entah mengapa Maraka seakan merasakan sekat yang nyata. Kinanti tidak seperti biasanya.

“Lo duluan,” ucap yang lelaki mempersilahkan.

Sepasang netra bertemu pada garis lurus yang sedari tadi Maraka ciptakan. Gadis itu langsung bertanya to the point. “Tujuan lo kenal gue apa sebenernya? Apa karena Lana?”

Sontak kening Maraka berkerut selayaknya kebingungan. “Kenapa bawa-bawa Lana? Gue sama dia nggak ada apa-apa.”

“Gue nggak bilang kalau kalian ada apa-apa,” telak Kinanti tepat sasaran.

Laki-laki itu seakan masuk ke jurang buatannya sendiri. Melihat sama sekali tidak ada bantahan, Kinanti tersenyum kecil berarti paham. Tapi nanar itu tidak bisa dia sembunyikan dari jendela hatinya.

“Gue anak Psikologi. Sebenernya gak perlu jadi anak Psikologi buat lihat semuanya. Meksipun gue nggak tahu ada apa antara lo sama Lana, tapi gue bisa lihat, tatapan kalian beda,” cerita Kinanti yang selama ini diam-diam memperhatikan.

“Gue nggak mau cukup lo yang mengenal gue. Gue juga pengen mengenal lo, Bang.”

Tidak memberikan Maraka kesempatan bicara, gadis itu berkata lagi. “Tolong jujur, lo punya hubungan apa sama Lana?”

“Kita mantanan.” Sebab Maraka merasa, tidak ada gunanya lagi dia menutupi kebenaran itu.

Kinanti terkejut? Tentu tidak. Gadis itu sudah mempunyai dugaan sampai ke sana. Dia semakin menipiskan bibirnya. Tiba-tiba sesak sampai napas pun sedikit berat. “Dan lo deketin gue cuman buat nyelametin harga diri lo dari Lana yang udah sama Gilang?”

“Gue nggak pernah bilang gitu, Nan.”

“Tapi kenyataannya gitu kan?”

“Gue tertarik sama lo saat pertama kali kita ketemu,” tegas Maraka sungguh. Dengan berani memandangi mata Kinanti lebih lamat lagi sampai keduanya sama-sama terjebak tidak bisa lari. Seakan tahu jika gadis itu sedang membuktikan kebenarannya lewat tatap mata.

“Emang lo pikir tujuan gue ngejadiin lo sekretaris apa selain pengen kenal lebih deket sama lo? Apalagi saat gue tahu kalau lo sakit, gue---“

“Kasihan?” serobot Kinanti bernada getar seperti menahan tangis. “Lo deketin gue karena gue penyakitan, iya kan?”

Membuang muka sebagai gambar kekecewaan, Kinanti tertawa sumbang. “Gue ingetin sama lo, Bang, jangan pernah berpikir ketika Lana punya Gilang, Elisa punya Dewa, Issa punya Jeano, Raline punya Haikal dan Asmara punya Jagatra. Lantas lo mengasihani gue karena sendirian.”

Ingin rasanya Maraka menyanggah karena kepalanya sudah menggeleng tidak setuju, tapi tangan Kinanti lebih dulu terangkat seolah menandakan kalau dia belum selesai.

“Kalau lo berusaha mencintai gue karena rasa kasihan, gue gak butuh sama sekali. Gue nggak keberatan, kalau harus sendirian sampai akhir. Gue nggak semenyedihkan itu sampai harus lo kasihani.”

Angin berhembus sebentar bersaman dengan habisnya kalimat Kinanti yang didesak rasa sakit. Mengisi kesosongan di antara Maraka yang sedang duduk namun berperang dengan diri sendiri. “Kinan, lo salah paham.”

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now