18. Selamat Jalan Pahlawan

5.9K 1.1K 392
                                    

Kedua kali, Wilona mengutuk kebiasaan lapar tengah malamnya yang kerap muncul tanpa tahu situasi. Menghembuskan napas berat, gadis itu menarik tubuhnya agar bisa meraih keranjang buah yang berada di atas nakas. Tapi tangannya tidak sepanjang yang diharapkan. Rasa-rasanya Wilona tidak bisa memaksakan diri. Tapi di sisi lain, perutnya keroncongan dan dia tidak berani membangunkan Lana yang sudah terlelap untuk dimintai tolong. Gadis itu pasti lelah karena seharian ini mengurus dirinya dan Gilang.

“Ini nggak ada Suster yang bisa gue telepati gitu?” Kebiasaan Wilona kalau lagi bingung pasti bermonolog.

“Sabar, ya. Besok gue kasih bubur dua mangkok, sama gorengan kalau ada,” gumamnya lagi sambil mengelus perut rata yang cacingnya sudah berdendang ria.

Kruwuk kruwuk

Rupanya kesabaran Wilona tidak sebesar kapasitas lambungnya. Dia meninju tembok yang berada di sisinya hingga berdentum. Yang ternyata mampu merambat ke ruang sebelah.

“Ci Wilo?”

Per detik itu, binar mata Wilona berbinar. “ Da Ares? Lo belum tidur?”

“Udah, yang ngomong ini jelmaannya Uda.”

“Gue serius juga!” Wilona meninju lagi temboknya sambil berdecak.

Di balik tembok itu, Ares terkekeh sendirian seperti orang gila. Meski tidak melihat ekspresi sebal Wilona, tapi Ares mampu membayangkan muka yang menurutnya pasti menggemaskan. “Laper, Ci?"

“Udah tahu pake nanya! Ente kadang-kadang minta dicipok.”

“Masih mending gue tanya, belum gue lamar.”

“Dasar cowok nggak peka!” sungut Wilona misuh-misuh. “Harusnya kalau ceweknya kelaparan si cowok inisiatif ngirim makanan, bukan ngatain!”

“Lo bukan cewek gue, ngapain gue ribet-ribet inisiatif.”

“Ngeselinnnnn. Tadi aja ngajak-ngajak kawin lari.”

“Lo mau kawin lari sama gue?”

“Ngapain kawin sambil lari-lari? Capek.”

“Lebih capek gue kalau ngobrol sama lo, Ci.”

“Maksud lo apa ngomong gitu?” Tapi setelahnya tidak ada lagi jawaban. Susah payah Wilona menekan keinginan untuk tidak memanggil nama lelaki itu lagi, tapi sepertinya gagal. “Uda?”

Lagi, sama sekali tidak terdengar sahutan. “Jangan bilang lo tidur!”

“Udaaa?”

“Udaaaaaaa?”

“Ares?!”

Wilona berakhir memekik bahkan membuat Lana terusik dari tidurnya. Dengan wajah kusut dan rambut mengembang yang terlepas dari kunciran seperti singa, Lana menegakkan punggungnya yang terasa pegal. Mata yang memicing itu melirik Wilona yang ternyata sudah menutup sekujur tubuh dengan selimbut. Menyadari ada pergerakan, Gilang ikut membuka mata.

“Sakit punggungnya?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas bangun tidur. Yang entah mengapa membuat darah Lana berdesir hebat.

Tanpa menanti jawaban, dia menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit agar tangan kanannya aman dari rasa sakit. “Naik. Tidurnya di sini. Biar bisa rebahan.”

“Gak usah, nanti lo sempit jadi gak nyaman,” tolak Lana, sebenarnya dia sedang berusaha menyelamatkan detak jantungnya.

“Ck, udah sini. Nanti punggung lo osteoforosis.” Gilang menarik tangan perempuan di sisinya. “Kan gak lucu, muka cantik 20 tahunan tapi punggung 60 tahunan.”

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now