07. Misteri di Luar Nalar

7.6K 1.3K 663
                                    

Masih sangat terguncang, Issa menyadari satu mobil berhenti di depan halaman Posko. Dilihatnya Ares dan Jeano melompat dari atas pick up. Disusul Pak Sambas yang tergesa-gesa ikut berlari. Tanpa mengenakan alas sendal, memakai pakaian serba putih semacam jubah di atas mata kaki.

Terpaksa dibiarkan menunggu lima belas menit lamanya, dua bilah bibir Lana tambah memucat biru. Dari atas sampai bawah teraba dingin gemetaran. Kaki bekas gigitan ular itu pun membengkak besar keunguan. Berkali-kali Lana mengeluh, merintih merasakan sakit yang semakin lama semakin menjadi tidak tertahankan. Pada sekujur tubuh yang kali ini sulit digerakan. Laksana terkubur tanah atau bahkan ditindih balok es.

Tangisan Lana sudah tidak menetes lagi, tersisa isakan paling menyayat hati yang membuat siapa saja tidak tega mendengarnya. Lana selalu mengatakan kalau dia takut mati. Silih berganti Gilang dan Kinanti menyakinkan, kalau dia tidak akan mati.

"Ularnya masuk dari mana?! Kenapa sampai seperti ini?!" tanya Pak Sambas sama paniknya, ketika melihat anak gadis yang nyawanya tampak di ujung tanduk.

"Nggak tahu, Pak. Tiba-tiba ularnya ada di kamar." Kinanti menjawab dengan jujur dan takut.

Pak Sambas tampak diam dulu. Memalingkan kepala ke arah nakas seolah mencari sesuatu. Berkata sambil menatap Gilang dan Maraka yang berjongkok di depannya.

"Kalian punya fanta merah? Atau minuman apapun yang berwarna merah? Bawa sekarang! Di sini ada Pawang Ular, In sha Allah bisa membantu."

"Gue ada!" Gilang yang hendak berdiri seketika tertahan dan tidak bisa bergerak. Oleh cekalan tangan Lana yang seakan meminta lelaki itu tidak pergi meninggalkan.

"Gue titip salam buat Mimi sama Pipi, ya," rintih Lana teramat susah payah. Matanya semakin berkedip sayu dan mati-matian melanjutkan perkataan. "Gue duluan, ya."

Gilang menggeleng kencang. "Nggak, Lan. Lo harus bisa bertahan. Gue yakin, lo pasti bisa."

"Sakit, Lang..." Lana memejam sesak. Memegangi perutnya. "Semuanya sakit." Dia tidak berbohong saat mengatakan itu. Perutnya seperti dilindas tidak ada celah.

Sebab dua detik setelah mereka saling bersitatap, dada Lana terangkat seperti menghirup udara untuk terakhir kalinya. Sebelum mendadak kejang-kejang hebat tanpa henti. Dadanya terangkat setiap detik sekali. Memerah. Bola mata Lana yang pupil hitamnya tambah mengecil itu melotot lebar seperti menandakan ajal yang semakin dekat.

Keadaan semakin diperparah saat Lana diyakini tidak bisa bernapas dengan baik. Mulut gadis itu terbuka, susah payah meraup udara sekitar. Urat-urat lehernya tampak menonjol besar dan berwarna keunguan. Lidahnya bahkan dia julurkan panjang-panjang sebab kerongkongan terasa panas terbakar. Barangkali bisa ular itu sudah menyerangnya tanpa ampun. Puncak dari kepanikan pecah, tat kala busa putih keluar dari mulutnya yang pucat membiru. Busa putih bersimbah banyak sekali. Turun merambat ke lehernya. Membentuk gelembung, membawa sengatan bau yang tidak kuat lama-lama orang hirup. Andai saja diraup, dua gelas pun pasti terisi penuh oleh cairan busa putih itu.

Tiba-tiba Maraka merubah posisi tubuhnya. Lelaki itu mendekatkan bibirnya ke kaki Lana, hanya untuk menghisap luka gigitan ular di sana. Satu kali percobaan dia muntahkan ludahnya. Tepat dipercobaan kedua, Jagatra langsung menahan bahunya.

Tapi Maraka tidak mengindahkan. Semua orang membaca kalau sang ketua tengah mengkhawatirkan Lana dengan begitu hebatnya. Maraka tetap menghisap lebih kuat lagi kaki Lana tanpa rasa jijik sedikit pun. Tidak peduli jika nanti bisanya akan dia telan.

Sayang, mau sekuat apapun usaha Maraka, Lana tidak akan pernah memperhatikan bagaimana perjuangan lelaki itu agar dia tetap berada di dunia. Karena serangan kejang-kejang itu berakhir membuat mata Lana memejam tanpa aba-aba. Tubuhnya yang semula miring, jatuh menjadi lurus dengan sendirinya.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now