23. Tragedi Tanah Berdarah

10.1K 919 328
                                    

Berkat menghubungi Pak Dahlan--yang sempat menjabat selaku Ketua RT Kampung Kerajan--mereka mendapat sambutan yang tidak disangka-sangka sewaktu tiba di Stasiun Garut. Sampai diajak makan liwet bersama di sebuah warung makan Sunda yang letaknya tidak jauh dari sana.

Rupa-rupanya Pak Dahlan dan sang Istri tidak hanya menyambut mereka, tetapi juga membantu transfortasi dengan membawa tetangganya yang merupakan pemilik kendaraan yang biasa direntalkan.

Apa yang mereka dapatkan dari Pak Dahlan adalah satu dari hasil yang memang pantas untuk mereka rasakan. Sebab di mata kedua orang itu, mereka bukan semata-mata anak muda yang tengah melakukan kewajibannya sebagai mahasiswa. Mereka lebih berharga dari itu.

Berkat mereka, Pak Dahlan dan sang Istri bisa tidur sedikit lebih tenang karena pelaku kejahatan pada putri bungsunya sudah mendapat balasan setimpal. Di dalam benak keduanya, apa yang mereka lakukan sama sekali tidak ada apa-apanya dengan perjuangan mereka.

Sungguh, tidak ada sedikit kebaikan yang akan kembali tanpa membawa kebaikan lainnya.

"Masih jauh?"

Kinanti yang tengah memperhatikan dengan seksama lintasan jalan di ponselnya menjawab. "Sekitar satu jam lagi."

"Bener nih?" tanya Maraka melirik Kinanti jahil. "Kamu udah buat kita nyasar tiga kali loh."

"Bukan aku yang salah, orang kata mapsnya gituh," sahut Kinanti. Satu-satunya jurus kepepet yang kerap cewek gunakan kalau salah membaca peta.

"Pinter banget ngelesnya," puji Maraka gemas, mengacak rambut Kinanti hingga sedikit kusut. "Nggak sia-sia aku tenggelam sampai harus kisseu."

"HEH!!" Mata Kinanti hampir menggelinding saking lebarnya dia melotot.

Kinanti menoleh cepat ke belakang. Jantungnya hampir mencelos takut kalau ada yang mendengar perkataan Maraka. Dewi keberuntungan tampak sedang berpihak begitu baik, keenam temannya ditemukan sedang terpejam. Entah tertidur pulas atau hanya pura-pura, tapi Kinanti berharap semoga satu pun tidak ada yang mendengar.

"Ada yang salah?" Bibir Maraka justru berkedut menahan senyum tidak berdosa. Tidak sadar jika itu semakin menambah Kinanti panas dingin di tempat. Bahkan pipi dan telinganya sampai memerah seperti kepiting rebus. "Bener kan kita pernah kisseu, kamu inget gak?"

Seolah menggoda Kinanti adalah hal yang menyenangkan dan mampu meningkatkan moodnya, Maraka kembali melanjutkan. "Itu first kiss aku tahu, Nan."

"Bangggggg." Berakhir dengan Kinanti yang uring-uringan. Kakinya sampai menjejak alas yang dia pijak. Sumpah demi apapun Kinanti malu sekali. "Harus banget bahas itu sekarang? Kalau temen-temen denger gimanaaa?"

Lagi-lagi Maraka hanya bisa terkekeh kesenangan. Kinanti yang semua orang tahu dia begitu anggun dan tidak neko-neko ternyata berani mengungkap sisi manjanya kepada Maraka. Bukankah ini pertanda baik? Maraka percaya itu.

"Gemes gininya cukup sama aku aja ya?" ujar lelaki itu lembut, mencubit pelan pipi Kinanti sampai gadis itu tertawa lagi. Demi apapun, menghangat hati Maraka melihat itu.

"Makasih ya," ucap lelaki itu tanpa permulaan. Saat pemandangan asri berupa tebing dan kebun hijau di sisi kanan dan kirinya seolah mengejar mereka.

"Tiba-tiba banget nih." Kinanti sedikit kebingungan. "Makasih buat apa?"

"Buat kamu yang udah mau lahir ke dunia ini. Kamu yang udah bertahan sampai detik ini. Kamu yang udah mau ngasih kesempatan untuk aku deket sama kamu." Satu tangannya Maraka gunakan memutar setir mobil, sisanya dia satukan dengan tangan Kinanti yang menganggur.

"Aku emang gak bisa genggam kamu selamanya kayak gini, tapi aku nggak mau kamu pergi terlalu jauh. Aku harap, ketika kamu ngerasa lelah dengan sakit yang kamu punya, aku bisa jadi satu alasan buat kamu bisa bertahan."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 29, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now