05. Ada Apa dengan Ranca Bayah?

7.4K 1.3K 325
                                    

Plak!

Asmara menampar pipinya sendiri saat merasakan gatal ketika darahnya dihisap oleh moncong kecil tajam makhluk bersayap. Denging nyamuk yang berisik di sekitar telinga mengganggu sekaligus menemani gadis itu. Berdiri seorang saja di depan semak belukar yang tingginya sebatas pinggang. Di sampingnya ada batu besar yang tingginya melebihi dirinya sendiri.

"Sa, udah belum? Lama banget!" seru gadis itu mengeluh kedua kalinya.

"Bentar, ini sleting gue nyangkut sama celana dalam," balas Issa di belakang sana. Sedang kesusahan menarik resleting jeansnya agar kembali naik ke atas.

"Gatel-gatel nih badan gue."

"Iya-iya ini udah!" Issa akhirnya keluar dari tempat persembunyian. Dengan tampang tidak berdosa, gadis itu mengusapi perut sembari tersenyum lebar. "Gila, lega banget gue. Kayak hidup lagi berat-beratnya dinikahin cowok crazy rich. Plong, seperti iklan adem sari!"

Asmara tidak meladeni ocehan Issa. "Buruan, kita balik ke anak-anak!"

"Lets go!" Seperti halnya sewaktu berangkat, Issa menggandeng tangan Asmara dan melangkah bersama dengan bantuan senter yang Asmara kalungkan di lehernya.

Karena Issa tidak menyukai keheningan, terus saja dia menerabas dengan wajah serius. Seolah-olah pertanyaan ini sangatlaj berbobot.
"Tadi si Wilo nanya ke gue, semisal kita nabok nyamuk yang lagi hamil, apakah kita dikenai pasal berlapis karena membunuh Ibu dan anak?"

"Lo salah orang, gue bukan anak hukum. Tanya aja sama Jagatra."

"Ide bagus tuh! Sekalian modus!" seru Issa.

"Tolonggggggggg..."

Seperti robot yang dikendalikan satu tombol, kaki mereka terhenti seperti menginjak lem perekat paling mujarab. Kelopak mata sedikit lebih lebar. Asmara yang semula fokus ke jalanan perlahan menyerongkan arah kepala. Ke arah Issa yang sudah lebih dulu menatap terkejut. Tanpa sadar genggaman tangan itu semakin mengeras.

Issa menelan ludah susah payah seperti tersangkut di kerongkongan. "Denger gak?"

"Denger apa?" cicit Asmara berbohong gemetaran. Lebih baik dia pura-pura tidak tahu dari pada semakin takut.

"Masa lo nggak denger? Itu---"

"Ampun, Bu! Tolooooong! Jangan lalukan ini!"

Mulut Issa tidak jadi melanjutkan setelah telinganya mendengar lagi suara yang entah bersumber dari mana datangnya. Suara itu kadang mengeras lalu memelan karena terbawa sapuan angin. Namun semakin lama suara yang semula samar-samar tidak jelas itu semakin tertangkap kedengaran diselengi jerit tangis perempuan. Terus menerus berteriak meminta tolong.

"Coba dengerin, itu suara manusia bukan?" tanya Issa menajamkan pendengaran.

"Mana ada manusia?"Asmara yang sedari awal enggan berlama-lama di sini jelas ketar-ketir. "Udah! Ayo cabut!"

"Sabar dulu bisa gak?!" Namun Issa dengan mudah mencekalnya. Demi apapun, Asmara tidak habis pikir dengan Issa yang malah memasang wajah penasaran. "Gue yakin dia lagi butuh pertolongan. Kita harus bantuin, Ra!"

Asmara langsung menyentak agak terpancing emosi. "Bisa diem nggak lo?! Jangan macem-macem!! Kita lagi di mana sekarang?! Ini hutan, Issa!!"

"Justru karena ini hutan, gue takut ada orang yang butuh pertolongan!!"

"Lo ngelunjak tahu gak, Sa?!" Asmara menepis kasar tangan Issa. Habis sudah kesabaran gadis itu. Deru napasnya kencang sekali. Perpaduan antara dingin dan ketakutan. Bahkan saat Asmara menggusar frustasi rambut panjangnya ke belakang, jemarinya masih terus gemetaran.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang