13. Hari Baik Namun Buruk

6.6K 1.1K 302
                                    

"Res, gue tahu maksud lo nyuruh gue introspeksi itu kemana arahnya."

Kebisuan panjang di antara  perjalanan yang sudah melewati waktu tengah malam itu terusik. Oleh pernyataan Gilang yang berjalan tidak terlalu cepat sebagai orang kedua setelah Dewa. Jika Ares menimpali dengan memukul pipi karena dihinggapi kunang-kunang, maka Wilona memerintahkan dirinya untuk diam menyimak. Kondisi gadis itu jauh lebih baik dan bugar setelah meminum air kelapa gading. Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Wilona memperhatikan langkah kecil yang dia pijak hati-hati atas bantuan cahaya senter yang difokuskan Ares dari belakang.

"Apa emang?" respon Dewa terdengar mendahului.

"Ternyata bukan soal matiin laba-laba yang dilarang kepercayaan lo," ucap Gilang. Yang sebelumnya sudah menduga ke arah sana. "Tapi karena gue belum sedekah pas abis nabrak kucing waktu itu."

Dewa ikut tersadar dan berhenti sejenak. Menoleh ke belakang sampai sinar headlampnya menyorot wajah Wilona hingga misuh-misuh. "Pas kejadian Bang Maraka pernah bilang itu. Tapi besoknya malah nggak dilakuin mungkin kelupaan."

Jika perjalanan berangkat trek didominasi oleh yang menanjak, maka sekarang pola tanah menurun tidak ada habisnya. Tingkat kemiringan yang curam membuat ujung kaki lebih giat menahan beban tubuh.

Penggunaan senter diubah menjadi zigzag karena sudah ada baterai yang padam. Minimnya penerangan membuat langkah terurai harus lebih banyak perhitungan. Tak jarang mereka saling memegangi untuk bisa mencapai turunan yang sangat menukik tajam. Beberapa kali terjerembab tak bisa melangkah karena sepatu menginjak genangan lumpur yang berasal dari mata air atau gugusan batu.

Perbekalan air yang semakin menipis adalah hal lain yang menguji mental.  Setiap kali haus menyerang, mereka hanya mengandalkan tetesan embun yang menempel di dedaunan yang sekiranya aman terhindar dari racun. Setetes demi setetes mereka kumpulkan sambil terus menghapus jarak yang entah kapan sampainya. Saling berbagi air sebanyak tutup botol yang kian menjadi satu-satunya pelepas dahaga.

Gilang menghela napas sembari berjalan dengan posisi berkacak pinggang. "Kalau Mbah Linggih nggak minta kita ambil jalan yang berbeda sama yang pas berangkat, kita udah sampai kayaknya."

"Mang ea?" sahut Dewa, kalau sedang capek, dia memang suka lebih menyebalkan.

"Bener nggak sih jalan pulang ke sini?" Wilona yang wajahnya memerah campur keringat mulai meragukan. "Makin lama jalannya makin lika-liku kayak usaha gue biar nikah sama bias."

"Kita kan mau ke bawah, ikutin aja jalan yang turun," kata Dewa coba percaya diri sendiri.

Di belakang Gilang menimpali. "Kalau jalan yang lurus belum tentu benar, jalan yang turun juga belum tentu akhirnya ke bawah. Bisa aja mentok ke jurang."

Wilona mendukung menyetujui. Kakinya sudah pegal-pegal. "Mending kita istirahat dulu entar lagi juga pagi, biar enak kalau ada matahari. Semua jalan kelihatan."

"Jangan di sini," sela Dewa melihat serius lingkungan sekitar. "Jalan setapak kecil yang kanan kiri rindang sama daun biasanya jalan lintas satwa. Lo mau ketemu roar?"

Menghela napas berat, Ares tidak mengeluarkan pendapat apa-apa di antara percekcokan itu. Tidak kurang dari tiga puluh menit kali ini mereka dihadapkan dengan terowongan semak belukar sekaligus berduri yang tingginya hanya sebatas pinggang. Benar apa kata Wilona, semakin dalam trek semakin luar biasa.

Untuk melewati itu, tidak bisa berjalan normal seperti sebelumnya, melainkan harus berjalan jongkok seperti bebek dengan penuh kehati-hatian. Sebab bergeser sedikit saja, entah itu ke atas atau ke samping, sudah pasti mereka akan tertusuk duri yang berwarna kehitaman. Belum lagi alas tanah yang mereka lalui juga becek berair hingga tanah itu menempel ke sekujur pakaian dan merubah warna asal. Mengotori wajah dan leher mereka. Pergerakan merangkak tangan dan kaki terasa berat karena tanah yang menempel.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now