18. Adolf Hitler

5.6K 483 4
                                    

"Arrgghh"

Raut panik, marah, takut, mendominasi tubuh pria paruh baya itu. Geraman amarah berkali-kali terdengar, bahkan pecahan vas berserakan dibawah lantai.

Tak lain halnya dengan wanita paruh baya yang tengah meringkuk diatas sofa, terus menangis, meraung, bahkan tatanan rambut yang semula rapi kini hancur lebur.

Ruangan luas yang bernuansa mewah, kini terasa bak kapal pecah. Rasa frustasi terasa melekat pada dinding-dinding ruangan, bahkan perabotan yang apik kini hancur berantakan.

"Bagaimana ini?" tuntut wanita paruh baya itu.

"A-aku tidak tahu, ini diluar kendaliku. Arrgghh....bajingan mana yang melakukan ini padaku.

KENAPA HARUS SEKARANG!!!!" amarah sang Pria dengan menghantam meja besar didepannya.

Wanita itu hanya bisa menangis tersedu, tak bisa berbuat apapun. Apalagi mengetahui suatu fakta, bahwa pria didepannya bermain dengan wanita selain dirinya.

Perempuan mana yang telah memberikan dunia dibuat tega oleh seorang pria yang berkhianat. Kebohongan yang begitu rapi ditutupi, sekarang terkuak menggores hati.

Berita kegagalan sang suami ditambah dengan khianatan yang disembunyi, membuatnya begitu hancur dan penuh rasa sakit. Rasa menyerah begitu mengartikan dirinya saat ini.

"Apakah berhubungan dengan wanita lain, hingga menjadi seorang anak remaja diluar kendalimu? IYA?! Jawab Chandra sialan! TATAP MATAKU!" teriak Erika—istri Chandra Pranaja.

"T-tidak Er, Maaf kan aku. Aku sungguh minta maaf, aku mengaku salah Er." Chandra lantas berlutut.

Seseorang yang dipilih dengan rasa sayang untuk bisa hidup bersama, kini terasa sirna. Segala impian untuk menikmati masa tua bersama kini hanya menjadi bualan semata.

"Kau mengkhianatiku Chan!" suara lemah terdengar dari bibir bergetar Erika.

"Maaf Er, maaf..."

"Kau bukan hanya gagal menjadi seorang dewan, tapi kau juga gagal menjadi seorang SUAMI!!" hardik Erika dengan telunjuk yang mengarah pada hadapan Chandra.

Ditampar sebuah fakta kegagalan, bahkan terkuaknya sesuatu yang Ia sembunyikan. Kini rasa hidup Chandra seperti menyerah, tak ada sedikitpun harapan.

Serangan dari masyarakat tentang kekalahan serta sikap masa lalunya yang begitu menjijikkan, membuat pria paruh baya itu berharap ini semua mimpi.

Mimpi yang tak pernah ia bayangi, kini mendatangi. Mimpi yang begitu Ia takuti, saat ini juga tengah terjadi.

Mengapa dunia seakan begitu kejam diantara keinginan-nya sebagai seorang pemimpin besar? bukankah itu hal mulia.

Rintik air mata dari cintanya sungguh menyesakkan. Di depan matanya, Erika—Sang istri tercinta tengah menangis mendapati pengkhianatan olehnya.

Semua salahannya

Semua bermula darinya

Sosok perempuan yang dulu begitu Ia puja, sekarang menangis dengan rasa sakit didepannya. Harus bagaimana dirinya sekarang, meminta pada Tuhan? Apa masih pantas sebuah permohonan dari pemimpin yang gagal dan suami yang tak berguna? apakah Tuhan akan mendengarkan.

Tapi itu semua tak membuatnya mengerti, kini langkah berat itu berjalan mendekati sebuah lemari. Jemarinya menggapai sebuah botol berukuran kecil, berjalan kembali kearah sang istri.

"Erika, apapun itu percayalah aku tetap mencintaimu. Kau tetap seutuhnya bagiku" tutur Chandra lembut.

"Tapi kau mengkhianatiku mas" Erika tak kalah rapuh.

"Aku akui salah Er, aku hanya terlingkup nafsu. Aku begitu merindukan sosokmu, aku hanya butuh pelampiasan. Aku tetap mengingat wajah cantikmu malam itu Er, percayalah padaku-

Kau tiada dua Erika" final Chandra dengan diakhiri sebuah ciuman lembut pada ranum Erika.

"Aku percaya padamu Mas, tapi...pu-publik terlanjur menilai itu semua. Ak-aku tak sanggup menghadapinya" netra Erika nampak begiti frustasi sekarang.

"Ikutlah bersamaku Er, ayo bangun surga bersama." Chandra seraya menunjukkan sebuah botol dihadapan Erika, wanita itu tau perihal isi dalam botol kecil itu.

"Tunjukkan aku duniamu, sayangku" senyum terpantri jelas pada raut Erika.

Kedua pasangan itu memilih jalan dalam penyelesaian masalah mereka, memilih rela melepas semua demi berakhir akan sebuah kesakitan.

Pergi meninggalkan banyak harapan dan impian, bahkan melupakan hal yang seharusnya dituntaskan. Merasa lupa akan tanggung jawab yang masih banyak kurangnya, semoga keduanya diberikan jalan termudah dari apa yang diperbuat.

Selamat jalan Chandra Pranaja dan Erika.

-----


"Sialan, semudah itu lari dari masalah. Dasar bajingan!" Bagas terdengar marah.

"Hahaha, jangan marah Gas. it's so funny"

"Pengecut sekali bunuh diri bersama istrinya, dan kabur dari masalah." Bagas kembali berdecih marah.

"Hahaha, dewan sialan ini pasti terinspirasi dari Adolf Hitler. Tapi sayangnya tua sialan itu tak sehebat Hitler, dasar payah." Aldi meremehkan.

Adolf Hitler? Seorang politisi Jerman pada Perang Dunia II, sorang pemimpin nazi yang dikenal sangat diktaktor dan ingin mengusai dunia dibawah pemerintahannya.

Berbagai negara menjadi jajahannya, melawan negara-negara adikuasa hanya untuk kepuasan kekuasaan. Hingga ambisi yang terlalu menguasai dirinya membuatnya kalah bersama Eropa.

Hingga kegagalan membuatnya mengambil keputusan, yaitu bunuh diri bersama sang istri. Menembak dirinya tepat pada kepala di tanggal 30 April 1945, san sang istri—Eva Braun dengan menegak sianida tepat setelah 36 menjadi sepasang suami-istri.

"Percuma rencana penembakan kemarin Al."

"Benar saja, padahal aku sudah menyiapkan banyak bodyguard." Aldi membuang nafas berat.

"Huh, tapi cukup syukur karena aku bisa menghabiskan waktu dengan istri tercintaku." Ucap Bagas dengan nada mengejek, sedangkan Aldi hanya berdecih sebagai jawaban.

"Aku berniat mengajak Ael untuk ke mansion Ayah," ujar Aldi dengan meneguk minuman didepannya.

"Ah itu ide yang bagus, selama ini Ia belum tahu kan?" Aldi mengangguk.

"Ajaklah, anak itu pasti sebelumnya tak pernah keluar negeri. Selama Dimas mengenalnya juga anak itu seperti tak banyak tahu mengenai hal-hal mewah." Lanjut Bagas.

"Kau benar, aku rasanya gagal menjadi seorang Ayah." raut sendu terpancar pada Aldi, dan Bagas melihat itu.

"Tidak Al, Rafa pasti bangga denganmu. Anak itu sangat polos dan baik-

Aku akan kembali." Bagas beranjak dari ruangan besar milik Aldi, sebelum menepuk pelan bahu sahabatnya itu.

Aldi lantas mengikuti, berniat mengantar Bagas keluar dan melihat kedua putranya.

Setelah kepergian Bagas, dapat Ia lihat kedua putranya tengah tertidur diruang keluarga. Dengan Jonathan bersandar pada sofa dan Rafa bersandar pada dada bidang sang Kakak. Dan jangan lupakan televisi yang masih menyala.

Pemandangan ini sungguh membuatnya tersentuh, kedua putranya baik-baik saja dengan damai didepan-nya.

Semoga ini bertahan, selamanya.

-----

Maaf yaa kalo chapter ini terkesan drama bgt, thankyouuu.

TBC

RAFARAEL [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora