28. Don't go Ael

4.4K 359 2
                                    

Beberapa waktu setelah kedatangan Bagas di rumah sakit disusul oleh Aldi, ayah dari Rafa itu dengan segera membawa brankar berisi putranya berlari kearah ruangan.

"Bagas!! Bagas!!" panggil Aldi kesetanan meminta pertolongan pada Bagas.

"Tuan Bagas sedang dalam ruangan, menangani putranya Tuan." ucap salah satu suster disana.

Ah Aldi begitu melupakan posisi Bagas yang kini telah sama dengannya, sahabatnya itu pasti sedang menangani putranya sendiri.

"Tolong selamatkan putraku." lirih Aldi melihat salah satu Pria berjas putih mendekati brankar Rafa.

Dokter itu segera mengangguk dan membawa tubuh Rafa kedalam. Seketika tubuh Aldi meluruh kelantai, melihat ketidakberdayaan dirinya hanya untuk menyelamatkan putranya membuatnya merasa gagal.

Gagal dalam menjadi seorang ayah, gagal menjadi superhero seperti yang pernah dikatakan putranya. Dirinya hanya merasa gagal, gagal, dan gagal.

Beberapa saat dokter yang membawa Rafa dalam ruangan keluar, Aldi sontak mendekat pada pria berjas putuh didepannya.

"B-bagaimana putraku?" tanya Aldi cemas. Melihat raut tidak mengenakan dari dokter didepannya membuat Aldi sedikit takut.

"Tenggelam pada dasarnya sangat memicu pada paru-paru, putra Anda sepertinya tenggelam sekitar 2 menit dan itu sudah cukup buruk untuk anak seusianya. Oleh karena kita menganjurkan untuk melakukan penanganan lebih lanjut terlebih lagi oksigen seperti menolak masuk pada tubuh putra Anda."

Deg

"L-lakukan apapun untuk putraku." setelah mendapat izin dari Aldi, dokter itu mengangguk dan kembali masuk kedalam ruang oprasi.

Lampu ruangan tanda didalam seseorang tengah bergelut hebat untuk tetap bertahan didunia membuat Aldi tak kuasa menahan air mata, apalagi mengingat yang tengah bergelut itu ialah putranya.

Aldi duduk pada kursi tunggu didepan, seraya menelungkupkan kepala pada tangannya. Ketakutan yang Bagas rasakan sama halnya dengan yang Aldi rasakan.

Terus merapal pada Tuhan agar putranya selamat, agar putranya baik-baik saja, atau bahkan agar dirinya diberi kesempatan untuk terus memberi kebahagiaan pada Rafa.

Tangannya gemetar bersamaan memori yang melekat saat tangan besarnya membawa sang putra keatas kolam. Tangan terikat, mata terpejam, tubuh mendingin, bahkan mengingatnya saja membuat Aldi begitu frustasi.

Rasa marah, sedih, bingung, khawatir—itu yang menggambarkan Aldi saat ini. Marah pada penyebab putranya seperti ini, sedih mengingat tubuh putranya yang mendingin, bingung dengan rasa ketidakberdayaan atas menolong Rafa, dan khawatir akan keadaan sang putra didalam sana.

-----

Mentari mulai kembali memancarkan sinarnya, bersamaan dengan seseorang yang telah terbaring perlahan membuka netranya.

Bagas dan Evelyn yang senantiasa menunggu kesadaran sang putra lantas tersenyum lega. Ibu dari Dimas itu langsung saja pergi kerumah sakit bersama Jonathan, setelah mendapat kabar bahwa penemuan putranya berakhir pada rumah sakit.

Tentu saja hal itu membuatnya panik dan khawatir, terlebih lagi suaminya itu mengatakan bahwa putranya ditemukan dengan tak sadarkan diri. Secepat mungkin dirinya melesat kearah rumah sakit.

"Eugghh" Dimas menggeliat pelan. Mengundang atensi kedua orang tua didalan ruangan itu.

"Dimas," sapa Bagas lembut.

Alih-alih respon baik yang Bagas dan Evelyn dapatkan, tubuh bergetar dengan mata bergerak acak yang mereka dapatkan. Sentuhan lembut dari sang ibu ditepis kasar oleh Dimas.

"Gel-lap...t-takut...suara.....gamau..."

Rancauan-rancauan jelas terus saja tergumam dari ranum Dimas, netra anak itu terpancar jelas akan ketakutan.

"Dimas hei..Papa disini, ada Papa disini sayang, Papa dan Mama." Bagas berusaha menangkan.

"Tidak ada gelap sayang, ini lampunya terang, Mama disini. Lihat Mama sayang..." Evelyn berusaha menangkan Dimas, air matanya tak berhenti jeluar melihat ketidakberdayaan sang putra.

Rasanya begitu dejavu mengingat memori seperti ini, ini kedua kali sang putra mengalami hal yang memicu traumanya.

"Bagas! lakukan sesuatu!!" hardik Evelyn yang melihat Bagas tampak gemetar.

Bagas yang tersadar segera menekan tombol emergency, dirinya cukup berotak untuk tidak meninjaklanjuti sang putra dengan tangannya sendiri. Kecemasan dan ketakutannya dapat semakin membahayakan sang putra.

Sekejap beberapa orang berpakaian sama dengan Bagas memasuki ruangan, melihat kondisi putra temannya didepannya membuat dokter itu tanggap. Salah satu cara cepat untuk menenangkan anak itu adalah bius.

"Aku melihat tidak ada yang buruk pada tubuhnya, organnya juga baik-baik saja-"

Bagas dan Evelyn sedikit lega mendengar kabar sang putra dari pria didepannya.

"Tapi yang jadi masalah disini adalah psikisnya, putramu trauma akan peristiwa kemarin. Dan aku mendunga anakmu pernah mengalami ini sebelumnya." ujar teman Bagas itu.

Bagas mengangguk samar, memang benar. Ini adalah kali kedua putranya mengalami peristiwa penculikan, apalagi kelemahan dalam trauma anak itu kembali lagi.

"Sebaiknya putramu akan lebih baik ditangani psikolog, aku mengerti kau juga dokter. Tapi mereka lebih ahli dan mendalam perihal ini, Gas." nasihat sang dokter.

"Aku setuju Mas, dan temanku seorang psikolog yang menangani khusus trauma di singapore. Kita harus menyembuhkan Dimas, aku mau anakku hidup bebas Mas." pinta Evelyn dengan isak tangis yang tak kunjung berhenti.

"Itu adalah saran yang bagus." jawab dokter itu.

Bagas menghembuskan nafasnya kasar setelah kepergian teman dokternya, tak lupa dirinya mengucap terimakasih.

Bagas kembali menengok pada Dimas, putranya memejamkan mata setelah obat bius yang diberikan. Dirinya begitu sedih melihat putranya ketakutan, bahkan untuk merespon dirinya dan sang istri saja Dimas begitu enggan.

Tubuh lemah dengan mata terpejam itu direngkuh perlahan oleh Bagas, mengecup sayang pelipis sang putra dengan bisikan yang berharap dapat memberi kekuatan.

"Jangan takut, Papa selalu disamping Dimas."

Evelyn mengelus punggung bergetar sang suami, melihat kedua pria yang amat dicintainya saling tak berdaya membuatnya terpukul. Ini bak mimpi buruk bagi Evelyn.

"Aku akan mengurus kepindahan kita Ev, dan berpamitan juga pada Aldi-" Ah, Evelyn sampai lupa dengan Aldi.

"Jaga Dimas, aku akan segera kembali." Pamit Bagas melesat pergi, sebelum mengecup kembali kening Dimas dan memeluk Evelyn meski sebentar.

Evelyn tersenyum hingga punggung sang suami menghilang dari balik pintu. Ibu anak itu menatap kembali raut pucat sang putra, mengelus surai Dimas dengan sayang.

"Kita lewati bersama ya sayang, maaf Mama membiarkanmu terluka lagi. Mama janji akan menemani Dimas sampai sembuh, sampai Dimas berani masuk rumah hantu lagi dengan Mama dan Papa. Dimas juga harus janji dengan Mama bahwa Dimas berani dan mau untuk sembuh.

Kita lawan gelap bersama ya sayang? Mama akan mengenalkan Dimas kalau gelap itu bukan untuk ditakutkan, tapi untuk rasa aman dan menenangkan. Dimas akan Mama kenalkan dengan banyak dunia selain gelap, jadi Mama mohon untuk Dimas terus disini dengan semuanya, jangan kalah dengan dunia yaa...Mama sayang Dimas."

-----


TBC

RAFARAEL [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora