29. How's ur day, Ael?

4.6K 377 1
                                    

Kini terhitung hari ke-3 Rafarael—atau yang biasa kita panggil dengan Ael, tertidur lelap. Setelah penanganan yang memakan waktu lama, dokter mengatakan bahwa putra Aldi itu koma.

Pada awalnya Rafa kritis hingga beberapa waktu, namun anak itu tiba-tiba kejang dan setelahnya dinyatakan koma. Aldi? pria paruh baya itu seketika meluruh kelantai, sedangkan Jonathan sudah menangis dalam rengkuhan Januarta.

Januarta mengerti hanya dirinya satu-satunya yang menjadi penguat sekarang, sedih tentu saja tapi untuk hilang kendali dirinya harus menyingkirkan terlebih dahulu.

Hingga pagi ini, Aldi senantiasa duduk pada kursi disamping ranjang sang putra. Melihat begitu banyak benda asing yang Aldi tak tahu apa itu, menempel pada tubuh ringkih Rafa.

Aldi menggenggam erat tangan Rafa yang terbebas dari infus, beruntungnya bahwa putranya diperbolehkan untuk dijenguk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aldi menggenggam erat tangan Rafa yang terbebas dari infus, beruntungnya bahwa putranya diperbolehkan untuk dijenguk.

"Ael sayang, Ael denger Daddy hm?" tanya Aldi, meski mengerti bahwa yang Ia ajak bicara tak akan merespon apapun. Bahkan kedipan mata saja tak Aldi dapatkan.

"Ael sudah tiga hari tidur terus, tidak rindu Daddy? Daddy rindu sekali dengan Ael. Disana bertemu Mommy ya sayang? katakan pada Mommy kalau Daddy sangat rindu dengan Mommy.

Tapi Daddy minta tolong. Beritahu Mommy untuk memulangkan Ael, tolong jangan ajak putra Daddy ini ya?

Daddy sangat sayang dengan bungsu Daddy yang satu ini, jadi jangan tidur terlalu lama ya sayang?" lirih Aldi di akhir kalimat.

Aldi tak kuasa membendung air matanya, hal ini selalu saja terjadi semenjak kegiatan rutin untuk mengajak berbicara putra bungsunya. Konyol jika seorang Aldi Januarta mempercayai bahwa seseorang yang koma akan mendengar dan melihat apapun, tapi itulah yang Ia lakukan sekarang.

Percaya bahwa sang putra mendengarkan permohonannya.

Kini kepalanya bersandar pada punggung tangan sang putra, sesekali mencium tangan lemah Rafa. Berkali-kali memohon kesadaran untuk Rafa, namun hingga hari ke-3 tak ada satupun harapannya yang terlaksana.

Aldi merasa gagal, merasa buruk, merasa kecewa. Semua seakan hancur dalam sekejap. Kehadiran sang putra yang baru saja ditemukan, hilang selama 15 tahun tanpa kasih sayang.

Dan Baru saja Aldi ingin membahagiakan sang putra yang jauh dari pelukannya, kini harus melihat anak itu terlelap tak berdaya bersamaan berbagai alat menempel pada tubuhnya.

"Daddy disini sayang, cepatlah bangun."

-----

Hari berganti, kini genap satu minggu keadaan Rafa tak mengalami perkembangan, setiap pemeriksaan ucapan sang dokter selalu sama.

"Maaf untuk saat ini keadaan pasien belum ada perkembangan."

Netra itu setia memejam meski yang disana memohon terbuka. Begitupula dengan Aldi yang senantiasa disamping sang putra, sosok Ayah itu tak beranjak sedikitpun dari ruangan Rafa terkecuali Januarta yang memaksanya makan dan sekedar membersihkan diri.

Beberapa kali Jonathan akan menggantikan sang Ayah meski harus memaksa, atau Januarta yang menggantikan Aldi mengurus perusahaan.

Saat ini kembali pada Aldi yang tetap pada posisi awal, duduk pada kursi samping ranjang, memegang tangan sang putra sesekali mengelusnya.

"Sudah satu minggu sayang, kok Ael masih betah bobo? Ael gak mau lihat Daddy disini ya?" ucap Aldi lembut, seraya mengelus surai Rafa.

"Ael tau? Dimas sekarang lagi di Singapore, kemaren Papa Bagas pamit ke Daddy-"

Derap langkah sepatu terdengar, setelahnya ruang pintu ruang rawat itu berbunyi—tanda seseorang membukanya. Langkah pria itu mendekat kearah sosok pria yang tengah diduk pada kursi samping brankar.

Dilihatnya disana, seorang pria tengah memegang tangan kecil sosok anak laki-laki yang tengah terbaring lemah, bersamaan berbagai alat yang menempel pada tubuh mungilnya.

"Al" sapanya.

Yang disapa 'Al' itu mengadah, mencari tau siapa yang memanggilnya. Ah itu temannya, Bagas.

"Aku dengar dari Ryan bahwa Rafa koma." Ryan adalah dokter yang dari awal menangani Rafa.

"Hm." Jawab Aldi dengan kembali memusatkan pandangan pada sang Putra.

"Aku tau ini pasti berat untukmu, tapi percayalah pada putramu. Dia pasti kembali pada Ayahnya" tutur Bagas lembut.

"Semoga"

"Ah ya, bagaimana dengan putramu. Maaf tak sempat melihat, terlalu kalut dengan keadaan Ael." tanya Aldi.

Bagas menghembuskan nafas kasar, mengundang raut tanya yang besar pada benak Aldi.

"Trauma-" Aldi lantas terkejut mendengar jawaban lirih dari Bagas.

"Traumanya kembali lagi, bahkan saat dia bangun melihatku saja ketakutan. Dan aku takut itu, Al." Keluh Bagas. Raut frustasi begitu ketara dari wajahnya, pria anak satu itu benar-benar terlihat sangat kacau.

"Evelyn meminta untuk membawanya ke Singapore, temannya adalah psikolog yang memang menangani perkara trauma. Jadi aku akan kesana."

"Jadi kau kesini berpamitan?" tanya Aldi.

"Ya, dan aku akan menyerahkan Ryan sebagai penangan Rafa. Aku kenal dengannya dan dia adalah dokter yang hebat, jadi kau jangan khawatir."

"Ael sih gak bangun, jadi gabisa lihat Dimas dulu. Ael dan Dimas lagi sama-sama berjuang, pasti capek ya kalian?" monolog Aldi.

"Tapi Daddy mohon berjuangnya jangan terlalu lama ya sayang? Daddy sangat khawatir disini. Daddy, Abang, dan Opa sangat rindu Ael disini, jadi putra Daddy tolong cepat bangun ya?"

Sekali lagi air mata Aldi berlomba-lomba keluar, membasahi pipi sang Tuan. Tangan yang menggenggam sebuah telapak nampak ringkih itu bergetar, memperlihatkan seberapa tersiksa tangis sang Ayah.

Putranya, Rafaraelnya—tak bangun meski Aldi menyuarakan kerinduan seminggu penuh ini. Amarah dan kebencian Aldi semakin memuncak mengingat sosok yang membuat putranya seperti ini.

Namun yang sial lagi, Ardika Pranaja itu ditemukan tewas dengan jatuhnya helikopter yang ditumpangi. Entah siapa yang membunuhnya, sepertinya memiliki dendam yang sama.

Saat akan berniat membalas dendam, Januarta lebih dulu mengatakan bahwa jasat Ardika terbakar bersamaan dengan meledaknya helikopter. Dan mengatakan bahwa ada seseorang lain yang memang sama memiliki dendam kepada putra Chandra itu.

Aldi marah? tentu saja. Pelampiasan manalagi yang harus Aldi lakukan untuk membalas perbuatan pada putranya. Rafaraelnya terbaring tak berdaya, bersama alat asing yang mengerikan. Tak ada lagi harapan yang bisa diminta Aldi selain kesadaran sang putra.

Semoga saja harapan Aldi terkabul, entah kembali pada pelukannya, atau malah memilih dekapan yang maha kuasa.

Selamat berjuang Rafarael.

-----

TBC

RAFARAEL [END]Where stories live. Discover now