Bab 5. 1016 (Ana)

16 14 8
                                    

Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, Sica sangat mirip dengan bibinya Leo. Sejak bertemu Sica, dia selalu mengingatkanku dengan seniorku yang pernah jadi asisten guru mengajar di kelasku, nomor induk 1001. Matanya, suaranya, sifatnya, selalu membuatku teringat pada 1001. Kemiripannya dengan bibinya Leo membuatku sangat penasaran. Siapakah sebenarnya Sica? Apa mungkin hanya kebetulan dia mirip dengan orang lain yang bukan keluarganya?

Semakin besar rasa penasaranku, semakin ingin aku akrab dengannya. Sayangnya dia menolak bujukanku untuk tinggal serumah, dia lebih memilih tinggal bersama paman dan bibinya. Padahal kan kami bisa lebih akrab jika tinggal bersama, baru kali ini ada orang yang terlihat seperti menghindariku, biasanya aku cepat akrab dengan orang lain.

Kalau dilihat-lihat, Sica juga agak mirip dengan Leo. Sepertinya aku saja yang salah, mana mungkin semuanya bisa terlihat mirip. Aku takut membuat mereka risi jika terus memandangi mereka seperti ini, yang ada aku malah dihindari karena dianggap aneh, padahal aku ingin punya banyak teman.

Leo, Sica, bahkan Yudhi memilih tinggal bersama keluarganya. Hanya aku yang ingin tinggal terpisah dari keluarga. Bukannya tidak mau tinggal bersama pamanku, aku hanya ingin belajar mandiri, aku ingin hidup bebas tanpa diatur-atur oleh orang dewasa. Meskipun paman berusaha membujukku, aku tetap pada pendirianku. Lagi pula aku tidak ingin merepotkan mereka, aku ingin tumbuh menjadi gadis yang kuat bukan gadis manja yang selalu berlindung di balik orang dewasa.

Hari pertama di Pulau Impian, kami hanya beristirahat di rumah yang disediakan untuk kami, kini rumah ini menjadi milikku sendiri. Berkenalan dengan teman-teman yang juga korban seleksi alam, tidak begitu akrab karena waktunya yang cukup singkat. Lagi pula kami berempat akan berpisah setelah ini.

Hari kedua, diadakan pesta penyambutan untuk keempat korban seleksi alam yang resmi menjadi penghuni baru Pulau Impian. Pestanya menyenangkan, dan orang-orang yang aku temui juga meninggalkan kesan baik. Sepertinya tempat ini memang tempat idaman semua orang, semoga pilihanku datang ke sini bukanlah hal keliru.

Hari ketiga, tepatnya hari ini, kami berempat kembali dipertemukan. Aku orang ketiga yang datang di ruang pertemuan. Sica dan Leo sudah ada di sini, dan mereka terlihat sudah akrab satu sama lain, tapi saat aku datang, suasananya berubah, mereka agak kaku, tidak ada lagi canda tawa terdengar. Hei, aku tidak ingin menjadi perusak suasana, teruskan saja candaan kalian, anggap aku hanya cicak yang merayap di dinding.

"Wah, anak rajin semua, ya. Masih setengah jam lagi, tapi sudah berkumpul semua," ucap Yudhi mencairkan suasana. Dari ucapannya, sepertinya dia mengira akan menjadi orang pertama yang sampai di sini. Aku bukannya rajin, hanya kesepian sendirian di rumah, makanya ingin cepat-cepat ke sini.

"Apa kabar, Bro," sambut Leo sambil mengarahkan kepalan tangannya ke Yudhi, dibalas kepalan tangan pelan dari Yudhi, mungkin dia tidak ingin membuat tangannya sakit jika tos terlalu keras. Apa perasaanku saja atau mereka sudah akrab? Apa hanya aku yang belum akrab dengan mereka?

"Sica, sudah makan?" Masih ada waktu setengah jam, jadi masih sempat untuk sarapan. Bukannya menjawab, Sica hanya tersenyum, dan dalam sekejap muncul meja kecil dengan makanan dan minuman di atasnya. Oh iya, kami kan sedang berada di pulau ajaib. Tidak perlu repot-repot mencari kantin atau membawa bekal, kami bisa dapat makanan di manapun.

"Kamu belum sarapan, ya?" Sica memberiku sebungkus coklat dan segelas kopi. "Ini coklat terenak yang pernah aku makan. Jangan liat ukurannya, setelah makan ini kamu pasti kekenyangan," jelas Sica tanpa diminta. Ternyata dia anaknya asyik juga.

"Serius, aku baru mencobanya saat sarapan," lanjutnya saat melihat aku hanya termenung melihat coklat itu. Ukurannya sangat kecil, seukuran permen, tapi katanya bisa membuat kenyang, dia tidak sedang menjahiliku kan?

Benar saja, aku langsung kenyang meski hanya makan satu bungkus coklat kecil ini, dan rasanya sangat luar biasa, sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bukan berniat lebay, tapi memang seenak itu. Dari kemarin aku hanya makan roti, memang rasanya lebih enak dari roti pada umumnya, tapi aku rasa mulai sekarang aku harus banyak mencoba makanan lain, siapa tahu aku akan menemukan makanan yang lebih enak dari coklat ini.

"Selamat pagi. Senang bisa bertemu kalian hari ini." Seorang lelaki dewasa yang mengenakan pakaian formal menghampiri kami. Usianya mungkin sekitar 40 tahun ke atas. Aku agak merasa bersalah karena mengenakan pakaian santai, beruntunglah pakaian kami bisa berubah dalam sekejap menyesuaikan keinginan kami.

"Hari ini saya akan mengajak kalian berkeliling Pulau Impian, sekaligus menjadi pemandu kalian. Anggap saja sedang berwisata. Oh iya, sebelumnya perkenalkan nama saya Rio. Coba tebak umur saya berapa?"

"45," jawabku cepat. Beliau menggeleng. Sama sepertiku, teman-temanku juga mengira umurnya berkisar 40-50 tahun, tapi ternyata jawaban kami salah semua. Jawabannya justru sangat di luar dugaan.

"98. Apa saya tidak terlihat setua itu di mata kalian?" Tadinya kami kira beliau hanya bercanda, tapi setelah melihat kartu identitasnya, barulah kami percaya. Sepertinya para penghuni asli pulau ini sangat awet muda. Oh iya, sebelumnya kami sudah diberitahu bahwa selain para korban seleksi alam, pulau ini juga memiliki penghuni asli. Para penghuni asli adalah keturunan langsung dari para ilmuwan yang membuat pulau ini. Yah, pulau ini adalah pulau buatan.

Entah faktor genetik atau apa, para penghuni asli Pulau Impian terlihat sangat awet muda. Sedangkan para korban seleksi alam tetap terlihat seperti umurnya pada umumnya. Hal itu adalah salah satu cara membedakan penghuni asli dan penghuni luar alias para korban seleksi alam.

***

Tidak cukup waktu sehari untuk berkeliling Pulau Impian. Kami hanya mendatangi tempat-tempat penting. Karena area pemukiman terpisah dengan tempat lainnya, semuanya tertata rapi sesuai fungsinya. Area pemukiman, area sekolah, area pekerjaan, area hiburan, semuanya punya wilayah masing-masing. Dan dugaanku benar tentang alat transportasi di pulau ini, Awan ajaib ini adalah satu-satunya alat transportasi kami.

Hari ini kami diminta berkumpul kembali di aula pertemuan. Katanya kami akan diberi tugas sesuai kemampuan. Berbeda halnya dengan para mata-mata yang mendapat tugas keren, para korban seleksi alam mendapat tugas sesuai bidang yang kami kuasai terlebih dahulu, jika cocok, maka kami akan tetap melakukan tugas itu, jika kurang cocok, maka kami boleh meneruskan tugas keluarga.

"Leo harusnya jadi pengawas untuk para murid baru di Pulau Surga, tapi karena ada hal yang lebih serius, kamu akan diberikan tugas lapangan menyelidiki kematian calon murid Wonderland Academy." Beruntung, Leo bisa berkeliaran di luar sana. Tugas lapangan adalah tugas yang paling diidamkan, tapi tentu saja hanya para pengintai yang cocok dengan tugas itu. Satu hal lagi yang aku tahu, ternyata selama ini Pulau Surga diawasi dari sini. Bukan hanya mata-mata yang mereka andalkan untuk mengawasi dari dalam.

"Yudhi akan menggantikan tugas Leo untuk mengawasi para murid baru. Sedangkan Sica dan Ana, saya minta kalian bekerjasama membuat produk makanan baru, nanti saya kenalkan kalian dengan pembimbing yang ahli dalam bidang mengolah makanan sehat."

Kukira maksud hidup nyaman di pulau ini adalah makan dan tidur sepuasnya. Ternyata mendapat pekerjaan dengan mudah adalah salah satu arti sesungguhnya dari hidup nyaman. Setidaknya hidup kami terjamin. Diberi tempat tinggal, pekerjaan, dan segala fasilitas canggih yang sangat memudahkan segala hal.

SELEKSI ALAM 2 [END ✓]Where stories live. Discover now